Mohon tunggu...
Tri Makno
Tri Makno Mohon Tunggu... profesional -

laki-laki yang mencoba tidak ingkar janji

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pengalamanku Semanggi 13 November 1998

13 November 2014   19:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:53 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah nyata yang diceritakan ulang sebatas ingatan.
Kami berangkat dari Semarang hari Selasa dengan bus rombongan HMI Universitas Diponegoro. Teman-teman kost Bukit Agung F-51 menitip pesan, bokong gedung DPR/MPR. Saya bukan anggota HMI, tapi atas rekomendasi teman kost saja saya ikut serta. Sebagai anak Poltek UNDIP, tidak ada yang saya kenal, hanya dua orang adik angkatan dari Poltek juga yang saya tahu. Kami berangkat dengan informasi yang simpang siur. Informasi tercepat hanya dari TV, yang menjelaskan adanya Sidang Istimewa MPR, bagaimana sikap kami, belum jelas.
Tiba di Jakarta hari Rabu pagi. Langsung merapat ke masjid Istiglal. Di sana kami disambut tentara, yang menanyakan rombongan dari mana? Kami jawab HMI UNDIP. Eh, tentaranya balik nanya. UNDIP itu mana ya? Oh, ternyata kampus kami tidak cukup dikenal.... padahal UNDIP tengah naik daun setelah Prof Muladi menjadi menteri yang banyak menjadi narasumber hukum di TV.
Di Istiglal samar-samar kami dengar tentang PAMSWAKARSA, katanya ada bentrok antara mahasiswa dengan meraka, sudah jatuh korban jiwa, ada yang meninggal di pancoran katanya. Kami dari daerah agak buta dengan situasi Jakarta, mahasiswa jakarta banyak yang menolak SI sementara secara resmi HMI bersikap netral atau mendukung SI. Siangnya kekompakan rombongan mengundur. Ketua rombongan memutuskan untuk merapak ke Kantor Pusat sementara saya dan dua teman adik kelas memutuskan jalan sendiri, menginap di tempat saudara.
Hari kamis kamis kami bersilang pendapat. Adik angkatanku merapat ke rekan-rekan HMI lainya, sementara saya yang merasa sudah tidak punya agenda merencanakan pulang lewat Stasiun Senin. Sembari menunggu sore, saya jalan-jalan di sekitaran salemba. Di depan kampus Teologi, saya melihat ada banyak mahasiswa tengah mempersiapkan demonstrasi, iseng-iseng saya mendekat, dan menanyakan, ada apa dan bagaimana ? mereka akan demontrasi menentang Sidang Istimewa MPR, mereka sampaikan argumentasinya, dan saya tertarik dengan demonstrasi di Jakarta. OK, saya gabung.
Kamis lewat tengah hari, kami merapat di jalan Salemba, dengan Poster FORUM BERSAMA. Di Salemba, kemudian merapat banyak organisasi lainya, seperti KAMRED, FAMRED, FKSMJ, FOTKOT, dan lain-lainya, banyak. Aku berkenalan dengan mereka, salah satu yang teringat bernama Budi, anak Trisakti. Dan beruntunglah, jaket almamater UNDIP sewarna dengan Tri Sakti, kehadiranku tidak mencolok. Aku berjalan paling depan, membawa poster FORUM BERSAMA (FORBES).
Dan berjalanlah kami, ke gedung DPR/MPR. Lewat mana saja, saya tidak tahu, pokoknya ikut jalan. Sepanjang jalan yang kami lewati sudah sepi, tanpa kendaraan. Kami memasuki jalan tol dengan gagah perkasa, sepanjang jalan dan selebar jalan tol itu penuh dengan mahasiswa, tiba-tiba di depan terdengar suara tembakan dar..der...dor..... bubar semua barisan. Saya yang berada di tengah menjadi paling depan. Dengan masih bingung dan kikuk, mencoba ikut berpaling, dan menyingkir. Apa daya, tangan Budi menghampiri lenganku. ‘Ayo kita buat barisan’ katanya. Tangan bergandengan tangan, membentuk pagar betis. Dengan gugup antara takut dan gengsi, antara lari dan berdiri, dengan pucat, aku ikuti.... kami menjadi barisan pertama !!!! dengan pengalaman pertama bertemu aparat dengan bunyi tembakan dan pentungan !!! saya pucat, tapi tetap berjalan. Pengalaman Latihan Dasar Kemiliteran pra masuk POLTEK dan atlit karate, tidak membantu. Sipil tetaplah sipil, mendengar suara tembakan tetap bergidik.
Helikopter meraung-raung di udara, dengan bergetar saya berjalan barisan pagar betis terdepan. Beruntunglah, mengambil jarak 5 meter dari pagar betis Polisi, korlap-korlap masing-masing organisasi berkumpul. Pembawa bendera dan poster mangambil alih barisan terdepan. Dan berorasilah meraka. Saya berjarak dengan aparat, menjauh menjadi sekitar 10 meter.
Sedikit lewat magrib, terdengar ultimatum dari barisan Polisi, atas nama bla... bla... bla... kemudian di hitung, satu, dua, tiga dan cetok....cetok...cetok.... dar... der... dor.... suara pentungan rotan dan tembakan terdengar, berebutlah kami lari kebelakang. Dengar suara dor, reflek saya tiarap beberapa saat diam, saat tengadah, jalanan penuh dengan sepatu !!!!
Barisan bubar, di pintu tol, seseorang meminta tolong dicarikan sepatu yang terinjak dan tertinggal di jalan, dalam remang-remang akhirnya kami temukan. Malam itu kami menginap di Gedung Mulia, gedung baru yang belum berpenghuni. Di sana saya bertemu lagi dengan budi, dan beberapa teman lainya. Berbagai cerita, dan memberiku cindra mata gas air mata yang masih aktif. Dia rebut saat kemelut tadi, ada juga yang dapat HT, bahkan tameng polisi. Oh, ternyata mahasiswa jakarta sudah cukup kenal dan hapal dengan suasana tadi sore. Konsumsi berdatangan, nasi Warteg, paling istimewa nasi padang, beberapa ada yang basi. Sekilas saya melihat Ratna Sarumpeat berjalan di loby gedung, dan samar-samar tersiar berita kami di kepung PAMSWAKARSA. Ada keresahan di beberapa wanita, dan semangat berkobar di mahasiswa laki-laki, saya kut berjaga mengawasi sekitar gedung.
Jumat 13 November 1998. Pagi hari, kami keluar dari Gedung Mulia, ada aksi di seberang gedung, saya merapat kesana. Beberapa orang bergantian orasi. Ada yang lucu, ada yang marah, ada yang berbicara tanpa tahu artinya, ya, ini panggung gratis di tonton teman-teman sendiri. Yang masih saya ingat bertul orasi seorang mahasiswa yang menentang otonomi daerah, karena katanya, di Washington jalanya jelek, banyak berlobang, karena tidak di sokong dana dari daerah. Yaelah mas.... di sini, tanpa otonomi daerah, Semarang tercinta kami, ternyata hanya pojokan jakarta. Yah, begitulan.... aksi masiswa juga kadang hanya sekedar gaya.
Selepas jumatan, kami merapat ke Atmajaya. Tragedi semanggi di mulai.
Dari awal demonstrasi, orator sudah teriak, sekarang tanggal 13, kita cari siapa yang sial, mereka atau kita !!!!
Sekitaran pukul 3 sore, saya tengah membaca tabloid olah raga terbaru yang dibaca giliran, barisan terdepan berhadapan langsung dengan aparat dan tiba-tiba tepat di depan tulisan UNIVERSITAS ATMAJAYA menggelegar letusan sangat keras DUAR!!!!! Suaranya membahana, membuat perih di mata dan panas di kulit, katanya itu bukan gas air mata. Tunggang-langgang kami berlari. Saya masih buta situasi berlari kesebelah kampus, yang saat itu tertutupi seng, sial !!! ternyata dibalik pagar seng lapangan luas banget, kayakanya tempat parkir. Tidak ada tempat tertutup untuk menutupi diri dari sniper di gedung BRI II. Berlari terus saya, melewati tanah kosong itu, sampai tak kuat dan terduduk. Setelah tenang saya berdiri, dan mendekat lagi ke pagar kampus atmajaya. Persisi di depan pagar ada genangan darah, dan bendera merah puth. Masuk kampus, saya dengar yel-yel pembunuh.. pembunuh... pembunuh.... melihat genangan darah yang di tutupi batu saya ikut bergiding dan meneriaki meraka PEMBUNUH !!!!
Udara menjadi pengab. Saya bermaksud istirahat di belakang, tampat paramedis dan konsumsi berkumpul. Apa daya, saat lewat sebauah tangan menggandeng lagi untuk membuat pagar betis, mengiringi mayat mahasiswa yang meninggal. Siapa dan bagaimana saya tidak tahu, tapi lagu gugur bunga yang begema munusuk-nusuk. Saya menangis..... baru kali ini terasa, begitu sebuah perjuangan. Sungguh kami tidak rela melepas rekan kami.
Keadaan kembali tenang, dan barisan merapat kembali, bergabung pula dengan warga yang ikut simpati. Lamat-lamat ada berita barisan lain di serang lagi sama PAMSWAKARSA, tapi di halau warga. Dari arah belakang datang truk-truk tentara, aku pikir tentara ini menyongong maut, lama mereka berhenti, kemudian bergerak lagi. Ternyata marinir. Aku nggak habis pikir, kenapa marinir boleh lewat, setelah jatuh korban jiwa....
Selepas magrib, barisan menjadi terang. Kami, bertahan di dalam kampus Atmajaya, dan Polisi di luar kampus. Saling maju saling serang. Konsumsi mulai berdatangan dengan kualitas yang lebih baik. Kami sudah mulai bisa memilih, mau makan nasi padang, pecel lele, bahkan sate, atau sea foot. Ada juga roti-roti, yang saya tidak tahu dan tidak kenal.
Di parkiran aku hanya menonton. Sekilas ada yang nyetuk, eh, kita pakai bom molotov aja, pakai bensin yang ada di mobil. Dengan botol dari kantin dan bensin dari mobil yang terparkir dibuatlah bom molotov. Dengan bom molotov, sepasukan Brimob yang membentuk formasi dengan tameng seperti formasi pasikan romawi, dibuat bubar. Aku yang menonton dari agak jauh mendekat, ternyata asik juga main kucing-kucingan dengan aparat. Gas air mata menjadi familiar... dengan kain bawah kami masih bisa bernafas. Polanya, mahasiswa keluar gerbang, dengan lemparan-lemparan batu atau satu dua molotov, kemudian aparat mengejar, memaksa mahasiswa masuk kampus kembali diselingi tembakan gas air mata, saya asik menonton dari balik pagar, sembari mencari cendra mata selongsong gas air mata, sampai kejadian entah kenapa aparat marah, dan mereka mengejar mahasiswa sampai merapat ke pagar sembari menembak. Aku yang berada di balik pagar gugup..... kondisi gelap, berbahaya juga saya masih berada di pagar, sementara aparat juga merapat ke pagar. Saya berlari meraih perlindungan di balik pos satpam yang juga telah berkumpul mahasiswa lain saling tumpuk berlingung. Aku datang terakhir, bertiarap menindih teman yang telah tiarap, sekonyong orang depan teriak, ini kepalanya kena !!!! tepat orang yang aku tindih, aku angkat bahunya, dan betul !!!!! dahinya berlubang. Ngeri............
Seketika aku angkat, bareng dengan Sri Mulyono namanya, yang meneriaki kepalanya kena, dengan histeris dan berteriak “KEPALANYA KENA !!!!” kami bawa berlari dan merapat ke paramedis. Begitu tubuh itu berganti tangan, badan terasa lemas... doa terus menerus terpanjat. Kaget, takut, gugup, ambang situasi lain yang tidak dikenal. Saya dibaringkan bersebelahan dengan teman yang bereng menggotong tubuh tadi. Kami berkenalan, namanya Sri Mulyono, anak Elektra ITS Surabaya. Kami berbincang sekenanya sekedar melepas syok. Dia menghadiahi sapu tangan.
Satu jam, kaki terasa berat diangkat. Masih jelas tergambar hingga saat ini, dahi yang berlubang, dengan bercak-bercak tulang disekitar lubang. Selepas itu, saya menahan diri, hanya duduk dibelakang, dekat konsumsi, berkenalan dengan beberapa kawan, juga anak Tri Sakti yang bernama Mei, yang bapaknya malah ikut Sidang Istimewa DPR/MPR.
Sabtu pagi, suasana kembali normal. Sayang di depan kampus ada insiden, seorang polisi yang tengah lewat dengan sepeda motor, dihajar massa, saya nggak tahu benar apa yang terjadi, tampaknya masih ada kemarahan dari warga. Malamnya saya menginap di tempat pak lik, baru minggu sore pulang lewat stasiun Senin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun