Kala petala segala petala langit telah hitam. Kambing segala kambing mengembik. Angin berhembus kencang. Maka saya selalu menghadap laptop jika lagi membawanya. Atau meraih secarik kertas dan sebatang pena. Lalu saya duduk di sudut ruangan atau di tempat yang nyaman. Dan... "Dhrum..!" Rintik-rintik hujan turun membombardir atap bangunan. Di saat inilah pikiran saya mulai merangsang.
Saya selalu menunggu hujan. Karena bagi saya hujan itu menurunkan inspirasi. Apa itu bersumber dari air laut yang kemudian naik ke awan lalu turun ke bumi. Apa itu bersumber dari tempias-tempias hujan yang mengguyur. Atau saya temannya hujan. Entah. Tapi, saya menganggap hujan itu sebuah nikmat Tuhan. Saya cinta hujan.
Mengapa hujan begitu berarti bagi saya yang menyukai dunia tulis menulis? Karena jika dicermati, meski hujan itu terdengar bising, tapi nuansanya hening. Guyuran hujan itu riuh, tapi menumbuhkan rasa semangat baru untuk menuangkan setiap ide yang saya "petik" dari celah rintikan hujan hingga menjadi sebuah tulisan menarik. Bukan tanpa alasan saya bilang demikian. Ada beberapa karyaku yang kutulis saat hujan dimuat media lokal kemudian hari. Entah kebetulan entah kelayakan. Seperti cerpen saya berjudul "Hujan Kedua" yang dimuat Harian Aceh, dan beberapa karya lainnya. Dan saya yakin, tulisan yang saya tulis saat hujan layak dimuatkan. Heheh.
Namun, pada dasarnya untuk mendapatkan ide sebuah tulisan, tak perlulah menunggu hujan. Kapanpun ide itu bisa dipetik asalkan Anda peka terhadap lingkungan sekitar Anda. Dan beranilah mencoba jika mau menajdi penulis. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H