Setiap malam Abah duduk di kursi goyang depan kamarku. Sebelah kanannya ada meja bundar. Di atasnya ada secangkir kopi, vas bunga yang sudah kusam bunganya dan selembar foto Emak yang sudah pudar warnanya. Di seberang, ada jendela yang menganga tepat ke bulan setiap jam 12 malam.
Abah dulunya senang sekali ngopi sambil ngunyah goreng ubi dan menghisap sam su di sana. Sesekali sam su diganti dengan lintingan. "Kalau harga padi anjlok, Abah rela begini," ia menggerutu.
Malam ini tak ada sam su di tangan Abah, lintingan juga. Kopi di meja sudah lama dingin, rasanya juga barangkali sudah hambar. Emak yang menyeduhnya, dulu. Kini Emak di syurga entah menyeduhkan kopi buat siapa. Emak adalah wanita paling setia. Bahkan pacarku saja tak sesetia dia.
Sebelum tidur, aku selalu mengucapkan selamat tidur kepada Abah. Paginya, saat bangun tidur, aku baru sadar jika Abah sudah innalillah...
bernarasi, 5 Februari 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H