Masalah kesehatan di Indonesia semakin menjadi jadi. Ribuan pasien harus rela mengantri di Rumah Sakit sejak matahari belum terbit dengan antrian berjubel, tempat seadanya, meski dalam keadaan pedih, sakit, lelah letih dengan penyakit jantung, kanker, patah tulang dan penyakit kronis lainnya.
Dalam kasus kasus tertentu, akibat keterbatasan alat pasien harus dirujuk ke rumah sakit rujukan Provinsi dan Nasional, pasien harus menempuh ratusan kilo perjalanan dengan uang seadanya, uang habis untuk makan dan transportasi, sementara mereka tidak bisa bekerja. Ditambah lagi apabila mereka membutuhkan operasi elektif, mereka harus menunggu hingga berbulan bulan lamanya
Tak heran, kurangnya rumah sakit, tenaga kesehatan dan fasilitas ini membuat sering terjadi kasus pasien khususnya BPJS yang kehabisan kamar untuk perawatannya. Yang lebih tragis lagi ketika pasien dalam kondisi gawat darurat dan membutuhkan ruang Intensif (ICU), rata rata rumah sakit tipe C hanya memiliki 3-5 bed untuk ICU sehingga tidak jarang kita mendengar pasien harus keliling rumah sakit kesana kemari akibat kamar ICU penuh dan tidak bisa diterima di rumah sakit tersebut. Hal ini diakibatkan karena rumah sakit tidak mampu menyediakan ICU yang banyak mengingat biayanya milyaran. Ditambah lagi belum tentu BPJS mengcover perawatan ICU tersebut.
Mereka adalah korban carut marut sistem kesehatan di Indonesia, sementara itu di puskesmas tak jarang obat obatan stoknya habis, pasien hanya bisa mendapatkan obat obatan seadanya. Jangankan obat, puskesmas juga seringkali kekurangan dokter sehingga dalam satu hari satu dokter harus melayani puluhan bahkan ratusan pasien, tak heran satu pasien waktu periksanya dicukupkan hanya dua menit saja. Hal ini diperparah dengan kurangnya alat dan fasilitas seperti mesin rekam jantung, fasilitas lab, tidak nyamannya puskesmas yang mengakibatkan keterlambatan diagnosis sehingga penyakit menjadi makin parah.
Disaat semua masalah kesehatan itu makin carut marut, pendidikan kesehatan pun juga diterjang ribuan masalah. Dunia pendidikan yang semestinya menjadi ladang pembentukan karakter bangsa sudah tercemar dengan komersialisasi dan budaya hedonis dengan biaya ratusan juta. Bukan rahasia lagi kalau kuliah di FK memakan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah. Hal ini membuat masyarakat yang kurang mampu sulit untuk menjadi Dokter. Masyarakat di pedalaman Indonesia yang sejatinya butuh dokter tidak akan mampu lagi membiayai putra daerah mereka untuk dicetak menjadi dokter. Hal ini diperparah dengan makin maraknya kampus FK abal abal yang belum lulus akreditasi namun nekat untuk membuka FK, semata mata demi kepentingan mengeruk untung sebesar besarnya, bukan demi meratakan penyebaran dokter di Indonesia.
Disaat masyarakat butuh jumlah dokter yang cukup, masyarakat semakin dirugikan dengan wacana diwajibkannya dokter untuk mengambil pendidikan layanan primer. Bayangkan, untuk mencetak dokter puskesmas saja kini bisa mencapai 8-11 TAHUN!! dengan 4 tahun fase preklinik, 2 tahun koas , 1 tahun internship dan 2-3 tahun lagi untuk pendidikan dokter layanan primer, ditambah lagi masa tunggu antar fase tersebut yang bisa mencapai 3-12 bulan. Pendidikan lanjutan ini tentunya juga makin memakan biaya lagi yang tentunya tidak murah. Tak heran anak FK sekarang sering bingung ketika ditanya “ Kapan lulus?”, “Kapan kerja?”,” Kapan bisa mandiri secara finansial?”. “Mau sampai kapan merepotkan orang tua?”.
Sementara bagi dokter dokter yang rela dikirim ke pedalaman, mereka seringkali tidak mendapatkan perlndungan dan penghargaan yang cukup. Masih ingatkan kasus dokter Andra yang diduga meninggal akibat infeksi Malaria di kepulauan Aru?. Dokter Dhanny yang meninggal saat beliau menjalani PTT dan rela menelusuri pegunungan-pegunungan Papua? masih banyak yang lainnya. Tak jarang di beberapa kasus gaji dokter di pedalaman tersebut terlambat dibayarkan.
Disaat kita disibukkan dengan kondisi carut marut tersebut, Dokter asing mulai masuk di kota kota besar di Indonesia dan mendirikan praktek illegal. Aparat keamanan pun sering tidak responsif dengan kondisi ini sehingga banyak praktek illegal tersebut yang telah berjalan bertahun tahun di Mall-Mall besar di Indonesia.
Oleh karena itu, Kami dari Aliansi Anak Muda IDI menuntut
- Perbaikan dan Harominsasi Kebijakan terkait program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan khususnya terkait aspek pembiayaan serta pengawasannya. Perlu sinkronisasi antara BPJS dengan standar profesi dan otonomi daerah
- Dukungan sarana prasarana pelayanan yang masih minim terutama untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Hal ini dibuktikan laporan anggota lDl terkait minimnya obat serta sarana penunjang lain yang sangat dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien.
- Dukurigan pembiayaan kesehatan yang masih di bawah standar pembiayaan profesi. Hal ini sangat merugikan masyarakat penerima layanan terutama di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKTRL) khususnya untuk pasien ICU dan pasien lain yang membutuhkan penanganan ketat.
- Hapuskan pajak alat kesehatan yang nilainnya terlalu tinggi dan terlalu mewah sehingga mengakibatkan beban biaya di fasilitas kesehatan yang tinggi
- Tolak prodi DLP yang memperlama lulusan dokter di Indonesia dan merendahkan kompetensi dokter umum di layanan primer
- Dorong kebijakan yang berpihak pada kesehatan masyarakat Indonesia dan Dokter Indonesia khususnya di era MEA
Mari seluruh rakyat Indonesia kita selamatkan kesehatan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H