Mohon tunggu...
Makhsun Bustomy
Makhsun Bustomy Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Social Worker yang bekerja di Setting Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Praktik Gelap Pencarian Sumbangan Mengikis Modal Sosial

18 September 2011   08:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika kita disodori list atau permintaan sumbangan di bis, rumah atau kantor, pernahkah membayangkan ke mana donasi bermuara? Ihwal menyumbang atau tidak barangkali masalah pribadi yang keputusannya bergantung pada motif individu. Seraya meyakini ajaran agama, ada yang mengutamakan keikhlasan, perkara disalahgunakan itu urusan orang lain. Ada pula yang sangsi, tetapi tetap menyumbang karena tidak bisa menolak, tidak mau bertele-tele menemui peminta sumbangan, atau tidak enak dengan lingkungan.

Potensi amal orang Indonesia memang patut dibanggakan. Menurut PIRAC mengutip dari majalah Times, (20 Juli 2002), rate of giving ( tingkat kedermawanan) kita tertinggi dibandingkan negara-negara di Asia maupun Amerika, Jerman dan Perancis. Hal ini berangkat dari tradisi dan ajaran agama. Banyak aktivitas muslim yang bersifat personal berdasarkan kedermawanan ini, misalnya tradisi berzakat, infak, dan sadaqah. Tentu saja tradisi serupa terdapat dalam ajaran agama lain dalam implementasi yang beragam.

Penumpang Gelap Sumbangan Sosial

Barangkali “potensi pasar” itulah yang dibaca dan kemudian ditelikung oleh orang atau kelompok tertentu sebagai lahan untuk mecari keuntungan. Setidaknya ada tiga kategori pencari dana sosial. Pertama, pengelola danayang telah sesuai dengan perijinan dan regulasi dan bertanggung jawab terhadap hasil pengumpulannya. Kedua, mereka yang sebenarnya bertanggung jawab bahkan transparan tetapi tidak mengantongi izin sumbangan karena tidak memahami prosedur perizinannya atau mengetahui tetapi enggan mengurus perizinan dengan berbagai alasan. Ketiga, mereka yang menggali dana dengan ilegal dan digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tidak sesuai peruntukkannya. Kategori terakhir ini lazim beroperasi dengan mengeksploitasi anak, penyandang cacat, mencatut nama-nama orang penting atau instansi tertentu. Mereka itu pantas kita sebut penumpang gelap pengumpulan dana sosial dari masyarakat yang mengunakan dalih kegiatan yang sosial, keagamaan, pendidikan, dan pesantren. Tak jarang disertai dengan penipuan, pemaksaan dan tekanan.

Erosi Modal Sosial

Kajian Departemen Sosial RI benarnya telah mencatat maraknya bisnis kotak amal. Di Tegal Kantor Kesos baru-baru ini juga “menangkap basah” seorangseorang pelajar di manfaatkan oleh sindikat tertentu untuk menggali dana dengan dalih keperluan beasiswa mereka. Potret tersebut menggambarkan persoalannya sekarang bukan ikhlas atau tidak saja. Melainkan apakah penyelenggaraan sumbangan itu telah transparan, akuntabel dan sesuai peruntukannya ? Jangan-jangan kedermawanan masyarakat yang tanpa pertimbangan rasional telah ikut menyuburkan praktek gelap tersebut. Sehingga niat baik kita justru menjadi arus balik yang dapat mengancam tata sosial masyarakat.

Semula di awal tulisan ini kita mengira menyumbang merupakan masalah pribadi. Sekarang dapat disepakati sebagai Masalah Sosial. Jika tidak disikapi, kondisi ini pada masa datang potensial dalam menimbulkan dampak sosial yang jauh dari yang kita bayangkan. Salah satu dampak yang mungkin adalah penurunan kepercayaan masyarakat secara tajam terhadap kegiatan penggalangan dana baik yang legal atau ilegal dan tumbuhnya apatisme terhadap penyelanggaraan pengggalangan dana. Setidaknya sinyal ini pada tingkat lokal, tercermin dari surat aduan Ikatan Persaudaraan Haji kepada Walikota Tegal yang mengungkapkan keprihatinan terhadap maraknya permintaan sumbangan dari luar Kota Tegal yang diragukan keabsahannya.

Sehingga kedermawanan dan empati yang begitu mentradisi dan berpijak pada ajaran moral agama yang semula menjadi bagian dari modal sosial pelan-pelan terkikis. Proses saling membantu dan kerjasama dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memanfaatkan dan merugikan orang lain. Hal ini bisa mengarah pada keadaan apa yang disebut oleh Francis Fukuyama dalam The Great Disruption, Human Nature and the Reconstituition of Social Order, 1999 sebagai Erosi Modal Sosial yang ditandai dengan menipisnya kepercayaan pada orang lain, kecurigaan dan ketidakjujuran, serta pelanggaran hukum yang merebak.

Membangun Kultur Menyumbang yang Modern

Sebenarnya pemerintah telah menyediakan intsrumen yang mengatur tentang pengelolaan sumbangan sosial. Hal ini diatur dalam Undang−Undang nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diperkuat dengan PP nomor 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Peraturan setingkat menteri lainnya juga ditetapkan adalah Keputusan Menteri Sosial RI nomor 1/HUK/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan untuk Korban Bencana. Instrumen ini mendorong terciptanya tertib administrasi dan pengawasan agar kegiatan pengumpulan sumbangan itu tidak menimbulkan kegelisahan masyarakat.

Ditinjau dari aspek transparansi dan akuntabilitas, regulasi dibuat untuk memastikan bahwa kegiatan penggalangan dana benar−benar dilakukan dengan transparan dan profesional. Pemerintah ingin menjamin dana sosial disalurkan sesuai dengan tujuan penyelenggaraannya dan tidak disalahgunakan oleh pengelolanya.

Tapi agaknya aturan-aturan ini menjadi kisah regulasi yang gagal. Gagal dalam hal penerapan dan materinya yang sepertinya sudah out of date. Meskpun pengajuan izin sesuai aturan bersifat gratis dan relatif tidak memerlukanwaktu panjang, fakta di lapangan hanya sebagian kecil yang mempunyai izin pengumpulan sumbangan. Bukan hanya pelanggaran praktek-praktek penarikan sumbangan ilegal di daerah atau tingkat lokal yang menjamur, tetapi para pengelola sumbangan tingka nasional pun ramai-ramai menabrak rambu-rambu tersebut. Tanpa mengantongi ijin mereka tetap dapat menggali dana dan tetap dipercaya masyarakat Sebagai contoh media-media TV dan cetak bersekala nasional pun tidak berzin dalam penggalangan dana.

Kelemahannya dasarnya adalah adalah tidak berjalannya sistem sanksi yang ditetapkan oleh aturan tersebut. Disamping itu, sanksinya pun teramat ringan hanya maksimal 3 bulan kurungan atau denda Rp. 10.000. Selain itu, jangka waktu peijinannya yang hanya 3 bulan yang dirasakan kurang efektif.

Aturan-aturan tersebut belum mengatur tentang hak donatur. Jika kita mendambakan tata penyelenggaraan filantropi yang profesional maka tidak hanya mengatur kewajiban penyelanggara tetapi juga hak-hak para donatur penyumbang. Sebagai komparasi, Di Amerika, misalnya, Donor Bill of Rights yang dirumuskan oleh National Society of Fund Raising Executives merumuskan hak-hak donatur yang rinci dan terukur seperti hak untuk mengetahui misi, tujuan dan kemampuan organisasi, mengetahui dewan pengurus organisasi, hak menerima laporan keuangan, hak mendapat kepastian bahwa sumbangan dibelanjakan untuk hal-hal yang telah disepakat. Donatur juga berhak bertanya dan menerima jawaban secara cepat, tepat, dan jujur. Hal lainnya adalah hak agar nama donatur tidak diumumkan secara terbuka dan hak mendapat pengakuan dan penghargaan yang layak.

Oleh karena kedermawanan berkaitan dengan tradisi, maka jika ingin membangun kultur penggalangan dana yang tranparan, akuntabel dan profesional selain perlu penegakkan aturan, tetapi lebih jauh lagi sudah waktunya Pemerintah Pusat kita meninjau perlunya revisi terhadap regulasi tersebut.

Sosialisasi dan pendidikan budaya tranparansi dan akuntabilitas dalam penggalangan dana selayaknya selain ditujukan pada organisasi sosial, yayasan, ormas juga masyarakat sebagai sasaran yang akan penarikan sumbangan perlu mempunyai pengethuan untuk mengidentifikasi kegiatan yang patut disumbang atau tidak.

Sebuah ungkapan mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik, maka maka dalam konteks lebih luas, penerapan akuntabiltas dan tranparansi dan profesionalisme penggalangan sumbangan, membutuhkan maka guru yang terbaik Yakni teladan yang baik dari pemerintah dalam menyelanggarakan kegiatan pembangunan dengan dana-dana yang nota bene berasal dari rakyat dengan cara yang seirama dengan tuntutan good govermenment yakni transparan dan akuntabel.

Sebagai penutup, jika anda ingin menyumbang, yang pertama tentu pastikan anda ikhlas. Kedua, yakinkan diri anda bahwa donasi anda akan dikelola dengan tanggungjawab dan bermuara pada kebaikan dan kesejahteraan. Wallahu a’lam bi Shuduur..

Penulis adalah

alumni sebuah pendidikan Pekerjaan Sosial Depsos RI

bekerja di Bidang Pemberdayaan dan Pengembangan Kesos Kota Tegal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun