Mohon tunggu...
Makhruzi Rahman
Makhruzi Rahman Mohon Tunggu... -

Anak Medan nyasar di UIN Jakarta tepatnya di Ciputat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sepahit Kopi Hitam

12 April 2011   17:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:52 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ada kebenaran yang kita harus ketahui, walau pahit.”

Pukul 17.00

Aku duduk di pojokan ruangan. Tak seberapa besarnya. Tidak kecil juga. Cukup menampung sepuluh orang, jika dalam keadaan duduk pastinya. Jendela yang terbuka membuat semilir angin dari luar masuk kedalam ruangan itu. sejuk juga. Yang disayangkan, aroma sampah menumpangi angin yang masuk kedalam.

Alunan musik orkestranya Mozart dengan Cannon in D membuat suasana lebih cair. Tapi tidak menghilangkan bau. Disela sela musik Mozart, aku berpikir apa yang dipikirkannya hingga bisa menciptakan sesuatu yang besar seperti ini? Tuhan menganugrahinya.

Pintu dibanting. Sesosok anak manusia masuk dengan raut wajah gersang. Dia kaum hawa. Aku yang tadinya berpikir seperti apakah otak Mozart saat itu? tiba tiba terjadi tidak kesinambungan antara masuknya sosok tadi dengan otak Mozart itu.

“Ternyata kita belum mengetahui apa yang kita ketahui, bahkan yang membuat kita merasa nyaman selama ini” katanya. “Ada apa?” jawabku. “Tidak, aku berpikir bagaimana nantinya jika kita terus tidak tahu dan terus berada di dalam lubang yang namanya kebutaan terhadap sesuatu, hingga akhirnya itu membuat kita terjebak di dalam lubang tersebut, sesak rasanya?” tanggapnya. Aku masih berpikir tentang Mozart. Ia menambahkan, “itu hanya persepsi ku tentang selama ini yang kita jalani,” ia menghela nafas. “uhhh iya,” kataku.

Aku belum menangkap. Aku tak mengerti. Tapi dari raut wajahnya tadi, aku mulai sadar akan apa yang jadi pemicu. Tapi belum pasti itu apa. Hanya asumsi ku saja.

Cahaya matahari mulai lisut. Pikiranku beralih, dari Si Mozart itu, berubah jadi sosok yang membawa perkara itu di ruangan ini. “Baru tahu aku belangnya, punya dua topeng, hitam putih,” ia mengejutkanku. “Apa yang kau maksud?” kataku. “ Topeng topeng itu terus menunjukkan taringnya, dari dulu aku belum menyadarinya,” matanya menerawang jauh ke alam-NYA yang luas. Akumasih terus menerawang, ke dalam pikirannya. Ada yang masih mengganjal bagiku. Aku berusaha untuk tahu.

“Mengapa ya? apa yang membuat kita berbeda dengan yang lain adalah komitmen kita untuk selalu bersama selamanya, seperti puzzle gambar yang harus disusun lengkap, dan tidak boleh ada yang kosong, jika ada satu saja bagian yang hilang dari puzzle terebut, maka itu tidak membentuk sebuah gambar” tambahnya. Aku semakin tidak mengerti. Aku lihat ke wajahnya, pipinya basah. Aku semakin tidak mengerti.

12 jam kemudian

Ia dikabarkan menggantung diri. Aku melihat Headline di koran kota ini pagi ini. “seorang mahasiswi ditemukan tewas bunuh diri di kamar kosnya”. Aku tercekik, mataku perih, bahkan aku tak bisa bernafas sejenak. Pikiranku kembali terbang ke waktu dia dengan raut wajah yang muram dan menangis akhirnya. Apa karena perkara kemarin? Tapi apa? aku tak tahu kenapa. Aku makin kecil. Mengambang ngambang. Berputar putar hingga akhirnya mengecil di tengah. Gelap. Aku pingsan.

5 jam kemudian

Polisi yang memeriksa TKP menemukan secarik kertas hampir sobek di pinggirnya dan noda kopi di tengahnya. Bukan itu saja. Di kertas itu tertulis:

aku menyesal, sesak di dada. Sempat aku tak bernafas beberapa waktu. Bukan mati. Selama ini aku menaruh percaya. Tapi semua hilang, sekejap. Sekejap kilat yang menyambar. Aku remuk. Aku hancur. Mengapa kita? Selama ini? Apa kau bosan? Kenapa pula kau bosan? Apa pula salahku?

Aku tak tahu lagi. Sudah kuanggap dari mozaik hidupku. Yang kuanggap kemudian, jika mozaik itu hilang maka aku akan mati. Apa salahnya kalau kau berterus terang? Aku rasa memang bagaimanapun juga tidak bisa ku menilai. Aku mengerti mengapa orang orang bilang waspada. Awalnya aku tak mengerti. Tapi sekarang,,, aku baru tahu

Maafkan aku, jika aku berperkara dan tak sempat ku meminta maaf. Maka maafkanlah. Aku pergi. Semoga Tuhan mempertemukan kita lagi di alam sana.

Sekali lagi aku membaca kertas yang ditemukan polisi. Aku bisa melihat tulisannya yang setengah luntur tapi masih bisa dibaca. Air matanya, ya air mata yang membuatnya luntur. Sambil menangis ia tulis ini. sempat aku mengutuki, orang yang dimaksudkannya dalam surat itu. tapi siapa?

48 jam kemudian

Aku merokok di depan ruangan tempat terakhir aku bertemu. Asap rokok membentuk sebuah visual yang dimana si Mati ini dibelenggu dengan setan setan rasa bersalahnya, hingga akhirnya terjerumus oleh rasa bersalahnya itu, padahal bukan salahnya. Lagi lagi aku berasumsi. Aku langsung menghapus asap visual itu.

Seorang teman menghampiriku. “Aku yang dimaksudnya di surat itu,” dia menatapku dan memelukku, kemudian menangis. “Aku sudah tahu, tapi kalian sudah seperti saudara sedarah,” tanggapku. “Iya, aku sadar selama ini memakai topeng, topeng yang akhirnya membuat ku jadi terperkara, sungguh maafkan aku, kalau bisa aku juga mau menyusulnya” katanya, sambil menghapus air matanya, terisak isak.

“Jangan, jangan ada lagi yang pergi!” bentakku. “semua kembali kepada hakikat persahabatan yang kau dan dia jalani selama ini, aku sangat senang kau mau mengakui kesalahanmu, kau yang selalu bermuka dua dihadapannya, hingga kau mengkhianatinya, sampai ia mati sakit hati! Sakit hati!”. Belum sempat ia membalas, aku sudah menyerang lagi “Kausudah dianggap saudara! Lebih dari saudara! Cuma kau yang ia punya satu satunya di dunia ini, tidak ada selain kau, aku rasa ia juga punya Tuhan, tapi Tuhan tidak mengkhianatinya, kau berkhianat!” sambil aku menunjuk ke arahnya dengan rokok yang kupegang. Aku terdiam cukup lama.

30 jam kemudian

Seorang anak mengantarkan koran ke tiap tiap rumah, termasuk rumah Indira. Disitu Indira kaget, sesak, gelap, sampai akhirnya pingsan. Di Headline koran tersebut tercetaktulisan “seorang mahasiswa ditemukan tewas gantung diri.”

"aku benci kenyataan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun