Mohon tunggu...
Makhfud Syawaludin
Makhfud Syawaludin Mohon Tunggu... Freelancer - Indonesian, Nahdliyin (NU), GUSDURian

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekilas Agama Kuno Kapitayan di Indonesia

30 Juni 2014   23:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:05 6090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Edisi Hataman Atlas Walisongo (Ramadhan 1435 H/2014 M)

Masyarakat kita dulu sudah mengenal konsep ke-Tuhan-an (beragama), yaitu agama Kapitayan, bukan sekedar animisme. Meskipun secara ritual masyarakat awan pemeluk agama Kapitayan seperti ritual dalam kepercayaan animisme. Berbeda dengan rohaniwan Kapitayan yang melakukan ritual sembahyang dengan ketentuan yang sedikit menyerupai gerakan Sholat. Selain itu, bila sudah dianggap saleh akan mendapatkan kekuatan gaib, boleh kita sebut karamah dalam Islam.

Mengutip Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, halaman 13-15.

Agama Kapitayan secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau Awang-Uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra. Orang jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata Awang-uwung bermakna ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi ada. Untuk itu, supaya bisa dikenal dan dapat disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat Ilahiah yang disebut Tu atau To, yang bermakna “daya gaib “ bersifat adikodrati. (Inilah yang menurut saya konsep ke-Tuhan-an).

Tu atau To adalah tunggal dalam Zat. Satu pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ketidakbaikan. Tu yang bersifat kebaikan disebut Tu-han yang sering disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Sedang Tu yang bersifat ketidakbaikan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sanghyang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu, baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang, maupun Sanghyang Manikmaya pada dasarnya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan pancaindra maupun dengan akal pikiran. Sanghyang Tunggal hanya diketahui sifat-Nya saja.

Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat gaib, untuk memujanya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindra dan alam pikiran manusia. Demikianlah, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Sanghyang Taya yang mempribadi, yang disebut Tu atau To itu tersembunyi di dalam segala sesuatu yang yang memiliki nama berkait dengan kata Tu atau To seperti: wa-Tu (batu), Tu-gu, Tu-ngkup (bangunan suci), Tu-ban (air terjun), dan lain-lain (beli dan baca sendiri. hehehe).

Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa Tu-mpeng, Tu-mpi (kue dari tepung), tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti Tu-ngkup, Tu-nda, wa-Tu, Tu-gu, Tu-nggak, Tu-k, Tu-ban, Tu-rumbukan, Tutu-k. Para penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan Tu-ju (tenung) atau keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang Tunggal dengan persembahan khusus yang disebut Tu-mbal. (Alhamdulillah, bila kita mempunyai hajat – keinginan mendadak atau tidak – melakukan tumbal berbentuk sadaqah, shalat-shalat sunnah, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain bukan tumbal yang aneh-aneh. Hehehe.)

Berbeda dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sesaji-sesaji di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembanh Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para rohaniwan Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpang dengan dengan Tutu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.

Dalam bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para rohaniwan Kapitayan mengikuti aturan tertentu: mula-mula, sang rohaniwan yang sembahyang melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tutu-d (hati).  Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang ke-aku-an diri pribadi). Proses Tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo yang relatif lama. Setelah Tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama. Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi Tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama melakukan Tu-lajeg, Tu-ngkul, Tu-lumpak, dan To-ndhem dalam waktu satu jam lebih itu, rohaniwan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yang sudah disemayamkan di dalam Tutu-d (hati). (Sembahyang kita (umat Islam) hanya 5 menit bahkan ada yang 3 menit. Kan ada 5 kali? Semisal 5 menit kali 5 ya tetap 25 menit, masih lebih lama sembahyangnya orang Kapitayan. Seharusnya kita tidak boleh males Sholat Gan J).

Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (Tu-ah) dan yang bersifat negatif (Tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itu digelari sebutan: ra-Tu atau dha-Tu.

Dalam keyakinan Kapitayan, para ra-Tu dan dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh Pi, yakni kekuatan rahasia Ilahiah dari Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-Tu atau dha-Tu, menyebut diri dengan kata ganti diri: Pi-nakahulun. Jika berbicara disebut Pi-dato. Jika mendengar disebut Pi-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut Pi-wulang. Jika memberi petuah disebut Pi-tutur. Jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh. Jika menghukum disebut Pi-dana. Jika memberi keteguhan disebut Pi-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut Pi-tapuja yang lazimnya berupa Pi-nda (kue dari tepung), Pi-nang, Pi-tik, Pi-ndodakakriya (nasi dan air), Pi-sang. Jika memancarkan kekuatan wibawa disebut Pi-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut Pi-tara. Seorang ra-Tu atau dha-Tu adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ra-Tu adalah citra Pribadi Sanghyang Tunggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun