Menemukan Oase Toleransi di Pesanggrahan; Edisi Menjelajahi Kawasan Pesanggrahan
Pesanggrahan, di kenal sebagai tempat wisata hitam. Di sisi yang lain, Islam Ramah hadir di tengah-tengahnya dan menjadi oase yang menyejukkan dan mendamaikan kerukunan keberagaman masyarakat. Muhammad Farhan (39) adalah pelaku sejarah berkembangnya Islam Ramah di Pesanggrahan.
Foto: Ust. Farhan (kiri) dan Makhfud
Kali pertama menginjakkan kaki di kawasan pesanggrahan terasa agak merinding (22/03/2014). Terus bertanya-tanya, inikah tempat wisata hitam? Nyatanya inilah tempat wisata hitam. Setiap mata memandang, hanya ada sekumpulan laki-laki yang terpisah di berbagai tempat yang terus menawarkan villa dan fasilitasnya tentunya. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ada seorang ustadz/ustadzah yang hidup di kawasan tersebut? Ternyata ada. Keberadaan ustadz tersebut menjadi sebuah Oase di tengah-tengah gemerlap kehidupan hitam. Hanya satu nama yang dikenal, yaitu Ustadz Farhan.
Muhammad Farhan, itulah nama yang diberikan oleh orang tuanya. Lahir di desa Glagahsari Sukorejo tepat pada tanggal 12 Mei 1975. Wiwik Astutik adalah bidadarinya yang berasal dari desa tretes. Sudah melakukan regenerasi keturunan bernama Muhammad Azam Kasafani dan Muhammad Adam Maulana. Bertempat tinggal di kontrakan beralamatkan Jln. Pesanggrahan RT 10 RW 06 Desa Tretes Kec. Prigen. Selama 14 tahun mengabdikan dirinya sebagai pengajar private atau rumah ke rumah, tepatnya mulai tahun 1999. Sebelumnya pernah mengabdi di penaggungan selama 1 tahun, kemudian di Mbar Sari selama 1 tahun juga. Tretes menjadi tempat terakhir beliau berdakwa dan menemukan bidadarinya tersebut. Akan tetapi, sesekali juga blusukan di sekitar kawasan tretes. Seperti pecalukan, leduk, dan prigen.
Ust. Sa’dullah Sukorejo, menjadi guru beliau sewaktu kecil. Selanjutnya nyantri di Pondok Pesantren Tajul Muslimin (Mahkota Orang Islam) Sukorejo. Diasuh oleh KH. Misbah Mustofa. “KH. Misbah Mustofa adalah adik KH. Bisri Mustofa dan merupakan paman dari KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Sedangkan guru KH. Misbah adalah Mbah Kholil Rembang,” Ucap alumnus SMP Ma’arif Sukorejo. Selain itu, Ust. Farhan pernah berguru pada Abuya Dimyati Banten selama 1 bulan. Ilmu-ilmu yang di dapat itu menjadi bekal Beliau mengajar ilmu agama Islam di kawasan wisata hitam.
Dakwah Beliau menggunakan dua cara, yaitu dengan mengumpulkan orang-orang yang berminat belajar agama di bantu H. Toyo (pegawai pemkot). Kemudian dengan cara face to face atau rumah ke rumah. Bila di tanya berapa muridnya? “Muridnya seluruh kampung tretes,” ujar Ust. Yang pernah di beri HP oleh Habib Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba abud Ngelawang. Selain itu, keikhlasan adalah modal utama berdakwa. “Tidak ada tarif yang ingin belajar, seikhlasnya serta kemauan orang yang belajar agama,” ujar Ust. Farhan. Secara kurikulum, pembelajaran berkisar pada membaca al-Qur’an, praktik sholat, dan praktik tradisi-tradisi Islam seperti selametan desa, khitan, upacara pemakaman, dan lain sebagainya. Beliau mengajar mulai tidak ada yang bisa mengaji dan belum bisa sholat sampai mayoritas masyarakat mampu belajar membaca al-Qur’an dan menunaikan sholat.
Dakwah melalui tradisi, itulah sekilas gerakan pengembangan Islam yang dilakukan Beliau. Selain itu, sikap inklusif dan toleran menjadi pendekatan dakwahnya. “Sifat Huznudzon, kalau sudah begitu maka semua baik. Bila su’udzon, yang ini jelek, ini apik, ya tidak mlaku dakwahnya.” Selanjutnya, “Yang penting, kemauan yang baik, baik itu kristen, katolik, dan germo, semuanya saya rangkul. Yang penting belajar, urusan yang lain (maksudnya pekerjaan hitam dan keragaman keyakinan) urusannya dengan Tuhan,” Ujar salah satu pengepul hasil pertanian skala kecil di tretes. Berbicara soal hambatan dakwah, “Alhamdulillah tidak ada, terus melampah (berjalan.red), hambatan tergantung kita menyikapinya,” ujar ust. Farhan. Motivasi Beliau sederhana, “mengajarkan ngaji dan sholat”. “Saya ketika melihat TV, banyak anak kecil sudah bisa ngaji. Saya nagis karena saya tidak bisa. Alhamdulillah kemudian datang ust. Farhan. Alhamdulillah dengan waktu 4 tahunan saya sudah bisa ngaji dan hatam al-Qur’an yang awalnya nol potol,” Ujar Bapak Sunarso, murid Ust. Farhan yang menjadi murid ketika berumur 37 tahun.
Lantas apa pekerjaan Beliau? “Serabutan mas. Saya jual madu, jual barang bekas atau rongsokan, dan pengepul buah-buah dari hasil pertanian skala kecil”. Hidup sederhana itulah gaya hidup Beliau. Pesan terakhir Beliau, “klo belajar nyantri aja sampai alim tanpa belajar di masyarakat akan kesulitan, maka kudu cepet-cepet dipraktekkan.” Selanjutnya yang berhubungan dengan sikap toleran, “manusia kudu belajar, ka nada salah benar, ya harus belajar. Baik yang seneng atau tidak dengan saya, saya rangkul.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H