Peristiwa Cikeusik yang membuat kita miris, mau tidak mau membuat kita merenung kembali arti “Bhineka Tunggal Ika” dari dasar negara kita. Perlu diketahui bahwa bangsa Indonesia, sejak awal mula para founding father kita telah berikrar bertanah air satu, berbahasa satu seperti yang disimbolikan ketika Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, selain itu juga mengakui Bhineka Tunggal Ika. Jadi sejak mula dibangun atas asas pluralisme yang sangat kental, kuat, kokoh. Hanya kelihatannya ‘Pluralisme’ ini masih “belum” banyak diperdebatkan dalam ranah kajian-kajian ilmiah oleh para pakar dan elite agamawan, sehingga kerapkali terjadi peruncingan ketegangan. Perlu diketahui bahwa pluralisme sangat natural dipraktekkan oleh segenap komponen bangsa di tingkat kultural, sejak dahulu kala sebelum negara Kesatuan RI terbentuk. Rakyat di level kultural sangat biasa dan alami membangun basis kehidupan dengan berlandaskan pluralisme.
Bahkan kultur bangsa Indonesia sebenarnya telah terbangun dengan basis agama-agama yang pluralistik. Dan sebelumnya juga telah mesra dengan paham tradisionalistik primitif keagamaan, animisme, dan dinamisme. Kita telah mengenal peradaban yang bersinggungan dengan agama-agama yang dibawa oleh para kaum pedatang dari Asia Barat, Selatan serta Timur. Seperti apa yang dikatakan Nurcholis Madjid dalam bukunya “Cita-cita Politik Islam Era Reformasi” (1999), antara lain mengatakan wawasan kultural bangsa yang bersumberkan agama. Pertama, agama Buddha yang menjadi agama Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, dengan kuasa maritimnya telah meninggalkan bekas yang amat penting, yakni proto bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa pergaulan yaitu lingua franca kawasan Asia Tenggara.Kedua, agama Hindu, yang melalui masyarakat telah melandasi suatu pola budaya kosmopolitan. Sifat kemaritiman Majapahit telah menciptakan suatu universum yang jangkauannya kurang lebih sama atau sebanding dengan Indonesia modern kini. Dan, ketiga, agama Islam. Sifat dan budaya Islam yang bersumberkan kosmopolitanisme pola ekonomi dagang ternyata sangat sesuai dengan suasana sosio-kultural Asia Tenggara, khususnya kawasan Melayu. Kesesuaian itu menghasilkan proses Islamisasi dunia Melayu sedemikian cepat, sehingga agama Buddha dan Hindu terdesak. Sejarah bangsa Indonesia dari awal mula telah membuktikan bahwa keragaman agama justru menjadi perekat tali persaudaraan kebangsaan yang sangat kuat. Tetapi, saat ini dapat kita saksikan bahwa agama justru menjadi biang perpecahan yang mengancam integrasi bangsa. Kapan hal itu persisnya mulai terjadi? Kata Fajar Kumianto seorang Alumus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam Harian SH (Mei 2006). Jawabannya adalah saat agama-agama telah kehilangan kreativitasnya. Hal ini terjadi karena agama telah tercabut dari akar-akar pluralistiknya yang natural, ini terjadi bukanlah tidak beralasan. Tapi sebab utama karena agama telah bersinggungan dengan politik atau kekuasaan negara.
Agama-agama makin tersekat dalam kotak-kotak yang sangat eksklusif, bahkan terlihat seperti disengaja dibangun oleh pihak-pihak tertentu. Wacana-wacana agama yang mulanya adem-adem dalam suasana sangat toleran, berubah memanas akibat adanya pihak yang “memanas-manasi” oknum-oknum yang mengaku sebagai “pembela sejati” agama-agama. Mereka meneriakan keagungan Tuhan melebihi “keagungan Tuhan” itu sendiri, agar dianggap bahwa mereka mengangungkan Tuhan. Padahal sebenarnya justru yang sebaliknya. “Keagungan Tuhan” diletakkan dalam konteks kekerasan, tindakan-tindakan anarkis, teror dan intimidasi terhadap agama lain. Ini bisa terjadi jika agama-agama terlalu jauh diintervensi negara. Sehingga negara telah menciptakan kelanggengan eksklusivitas agama-agama, yang pada perkembangannya seperti menabur benih-benih konflik horizontal yang berpotensi melahirkan disintegasi bangsa, dan membangun basis-basis sentimentil dan radikalisme agama-agama yang makin lama akan makin menguat. Bila ini terjadi maka agama-agama akan terformat menjadi blok-blok yang dapat dengan mudah disulut setiap saat dengan isu-isu sensitif.
Selanjutnya Fajar Kumianto mengatakan jika dalam konteks yang sudah sedemikian parah ini, untuk menyerukan kembali "pembebasan" agama-agama dari intervensi negara merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar. Agama-agama harus bangkit melawan "penindasan" negara untuk menemukan kembali inklusivitasnya.Jika inklusivitas ini telah kembali direngkuh, kebebasan yang merupakan jantung dari pesan-pesan agama akan kembali ke pangkuan. Agama-agama, pada gilirannya akan kembali menemukan ruhnya yang sejati, yakni pluralistik yang natural seperti awal mula bangsa ini terbangun.Pembangunan bangsa akan terasa absurd jika tidak memanfaatkan bangun-bangun pluralistik agama-agama yang ada. Tetapi, agama-agama yang ada juga tidak akan menemukan momentum "kesatuannya" jika tidak ditopang perekat bersama bernama pluralisme. Perekat itu adalah paham kebersamaan yang memberikan kontribusi yang luas kepada semua agama untuk ikut berperan aktif dalam kehidupan sosial membangun bangsa. Peran itu tentu saja tanpa tersekat-sekat oleh pandangan teologis dan keyakinan masing-masing agama yang berbeda. Berbeda hanya dalam keyakinan, tetapi sama dalam semua peran. Begitu kira-kira ruh pluralisme sejati. Negara, sekali lagi, mesti memosisikan diri secara proporsional terhadap agama-agama yang ada. Intervensi yang sudah "kelewat" batas itu, mesti sedikit demi sedikit dieliminasi, untuk kemudian dihilangkan sama sekali. Biarkan agama-agama merefleksikan sendiri ruh-ruhnya yang alamiah dan sejati tanpa diatur negara. Karena dengan demikianlah agama-agama itu akan mampu menjadi basis yang kokoh guna membangun bangsa yang sejatinya pluralistik ini.
Ibn F Muchhammad Dukseno seorang rohanianwan, dalam tulisannya di Harian Sinar Harapan “ Andai Tak Ada ketegangan Antar Umat Beragama” (Harian SH tgl. 10-06-2008) mengatakan Orang perlu tempat untuk belajar menghormati orang lain yang berbeda dengan dirinya sekaligus belajar untuk tidak memaksakan kehendak diri atau kelompoknya. Apalagi menjatuhkan hukuman kepada orang lain atau kelompok lain dengan ukuran yang mereka buat dan telah mereka sepakati sebagai satu-satunya kebenaran yang tidak boleh dibantah atau dipertanyakan. Kembali orang harus diingatkan bahwa Sang Pencipta semesta justru yang menghendaki adanya keunikan setiap ciptaan-Nya. Dalam hal ini, orang perlu menemukan heart of religion dari agama yang dianutnya supaya tidak hanyut dan terpaku pada simbol-simbol atau atribut-atribut yang kebetulan dibawa agamanya. Heart of religion ini yang bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Orang tidak sekadar toleransi, yang secara kasar bisa kita artikan tidak saling mengganggu, tetapi akan sampai kepada suatu usaha bersama menjawab keprihatinan dalam kehidupan ini. “Bhineka Tunggal Ika isinya tidak hanya tentang kesatuan suku, budaya, dan bahasa, namun ada harapan besar supaya orang menemukan aspek kesatuan yang hakiki antarwarga negara yang anggotanya beragam. Kesatuan hakiki itu bisa terjadi jika heart of religion ditemukan dalam setiap warga negara”.
Semangat demikian mengingatkan kita pada istilah yang sangat populer bagi yang mencintai perdamaian yang dikemukan oleh orang bijak Tiongkok yaitu ‘Mendambakan persamaan dalam ketidak samaan’ (求同存异qiu tong cun yi ) atau sama dengan Dasar Negara Kita Pancasila “ Bhineka Tunggal Ika”. Setiap orang boleh mempunyai pandangannya sendiri-sendiri, boleh mempunyai sikapnya sendiri, boleh memiliki pikirannya sendiri, boleh mempunyai cara-caranya sendiri, tapi janganlah ‘Maunya Menang Sendiri’ ( Terribly conceited / 惟我独尊 wei wo du zun). Harus mau menerima orang lain atau golongan orang lain untuk mempunyai pendapat dan pikirannya sendiri yang berbeda dengan kita. Orang perlu untuk belajar menghormati orang lain yang berbeda dengan dirinya, sekaligus belajar untuk tidak memaksakan kehendak diri atau kelompoknya. Apalagi menjatuhkan hukuman kepada orang lain atau kelompok lain dengan ukuran yang mereka buat dan telah mereka sepakati sebagai satu-satunya kebenaran yang tidak boleh dibantah atau dipertanyakan.
Kita perlu menciptakan ‘Damai dan Harmoni’, tapi apa itu ‘Damai/ Harmoni’ itu ? Rumusan dari ‘Damai/Harmoni’ adalah ‘Bermacam-macam yang berbeda menjadi satu kesatuan’(多样统一duo yang tong yi). Jadi ‘Damai/Harmoni’ itu memerlu dua persyaratan yaitu ‘Terdiri dari banyak macam yang berbeda’ dan ‘ Menjadi satu kesatuan’. Kita harus dapat mengharmonikan sudut pandang dan perhatian yang berbeda-beda, pemikiran yang tidak sama, cara berpikir yang tidak sama, pendirian atas sosial masyarakat yang tidak sama, menjadi suatu kesatuan yang harmonis, sehingga mencapai dunia yang kita idamkan yaitu ‘Perdamaian Dunia’( 天下太平tian xia tai pin), Negara dengan ‘Good Government’, Aman dan Sentosa. Sama-sama berusaha mencari jalan untuk kemajuan dan perkembangan masyarakat yang kita dambakan ini, yaitu masyarakat yang harmoni (和谐社会he xie she hui).
Bahan : Cuplikan dari Naskah penulis ‘Kong Hu Cu “ & “ Serba Serbi Tentang Agama”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H