Analis ada yang melihat “gelombang pengungsi’ sekarang ini memiliki dua makna. Yang pertama, pukulan terhadap ekonomi Eropa, dan yang kedua adalah pukulan bagi struktur sosial Eropa. Karena majoritas pengungsi ini Muslim dari daerah yang dilanda perang, dengan penyebaran masyarakat Muslim maka akan timbul potensi konflik dengan Kristen, dan ini akan meningkatkan keparahan. Yang selanjutnya konflik pada akhirnya bisa berlanjut menjadi konflik peradaban, yang menyebabkan kekacauan dalam negeri. Jadi masalah gelombang pengungsi ini tidak hanya mengkhawatirkan ekonomi saja.
Di kota kecil Heidenau, Jerman Timur, yang mejadi tempat menetap suaka sementara bagi imigran gelap/ilegal. Dalam beberapa minggu terakhir ini, beberapa kelompok eksklusivis datang kesini untuk protes, sehingga terjadi konflik dengan polisi. Pada 23 Agustus 2015, beberapa kelompok anti-eksklusivis juga datang ke sini dan terjadilah perkelahian antara mereka dan eksklusivis.
Pada 24 Agustus 2015, di sebuah kota kecil dekat Stuttgart, Jerman, eksklusivis membakar sebuah bangunan yang awalnya disediakan untuk tempat penampungan bagi imigran gelap/ilegal. Tapi bangunan itu masih kosong, jadi tidak ada yang terluka dan korban.
Dan Prancis yang secara terbuka telah mengeritik Hungaria, sebenarnya telah merasakan serangan ekstrimis terhadap markas “Charlie Hebdo” pada 7 Januari 2015, sebuah tragedi yang menyebabkan kematian 12 orang.
Pad 24 Agustus 2015, saat konferensi pers bersama Hollande, Kanselir Jerman Merkel mengutuk kekerasaan, dan perilaku eksklusivis yang terjadi baru-baru ini. Dengan mangatakan ; “Ada ekstrimis yang menyebarkan sentimen anti asing tersebut. Ekstrimis sayap kanan dan neo-Nazi yang hanya ingin menyebarkan informasi palsu, dan ini sungguh menjijikan. Dan juga memalukan beberapa warga, bahkan ada beberapa keluarga dengan anak-anaknya mendukung pemikiran demikian.”
Menghadapi segala macam tekanan berbentuk demikian, sebenarnya kehidupan pengungsi akan tidak mudah dan nyaman. Bahkan jika mereka bisa menetap-pun, hidup mereka hampir tidak dapat dianggap bermanfaat.
Di St. Albans, sebuah kota kecil 32 km dari London, pengungsi Syria, Khatib sudah tinggal disini selama setahun. Di wanwancarai seorang wartawan TV dengan menceritakan kisah hidupnya selama mengungsi.
Khatib menuturkan bahwa untuk mendapatkan perkerjaan yang stabil sangat susah, Namun Khatib yang 32 tahun ini sebenarnya seorang pengacara di negara asalnya Syria. Dia sebelumnya sedang belajar pada tingkat master bidang hukum. Sebagai seorang master di negaranya akan mudah mendapatkan pekerjaan apapun.
Untuk melanjutkan tingkat masternya di Inggris sungguh mahal harus membayar uang kuliah 13,000 pound, yang jelas bagi Khatib tidak sanggup membayarnya. Bahkan jika dia bisa berhasil lulus, tapi dengan status dia sekarang untuk mendapatkan perkerjaan di bidang hukum di Inggris sungguh sangat tipis kesempatannya. Kata dia lebih lanjut.