Dilemma Keterlibatan Langsung Rusia Di Irak
Setelah pemerintahan Sddam Hussein digulingkan, AS membantu Irak membangun sistem demokrasi dan memberi Irak dana yang luar biasa besar dan bantuan peralatan. AS setelah menarik pasukannya dari Irak masih menyisakan personnel militer sebanyak 3.500 orang.
Namun kedua negara ini tidak dalam satu sekutu yang kuat. Pada tahun 2014, sebuah terbitan Irak “Tommorrow Times” pernah mempublikasikan sebuah artikel yang mengklaim AS seharus yang paling utama bertanggung jawab atas kekacauan Irak, karena AS yang telah mengganggu sistem asli, tetapi kemudian tidak berhasil mengatur dengan sistem yang baru, sehingga menyebabkan kekecauan Irak hari ini.
Banyak komentator dan analis percaya setelah AS melancarkan perang untuk menggulingkan pemerintah Saddam Hussein, setelah itu tidak benar-benar memandang Irak sebagai sekutunya di Timteng.
Selain itu, menurut “Sputnik” Russia, ketika Irak sedang digerogoti oleh ISIS tahun lalu, dengan pertimbangan keamanan, AS menunda pengiriman jet tempur F-16 ke Irak sampai Juli tahun ini, pada saat pengiriman pertama 4 pesawat dari total pesanan yang 36. Saat itu Rusia, buru-buru menawarkan jet tempur Su-25 yang akan digunakan oleh militer Irak untuk mengempur Tikrit dan daerah lainnya.
Menteri Pertahan Irak membuat penyataan pada bulan Januari tahun ini, menyatakan “Pengiriman Su-25 ini telah selesai dalam rangka masyarakat internasional mendukung Irak dalam memerangi terorisme. Dengan kontak antara pemerintah Rusia dan Irak, spesialis penerbangan militer Rusia dengan cepat dan segera telah menyediakan jet-jet tempur ini.”
Pemimpin Organisasi Badr Syiah, Hadi Amiri mengatakan : “Dunia sedang bergerak karena Rusia telah bergabung dalam perjuangan melawan ISIS.”
Namun banyak analis yang masih berpendapat, masih terlalu dini untuk membicarakan lebih mendalam untuk kerjasama Irak dan Rusia.
Hubungan permainan strategis antara AS dan Rusia di Timteng, yang masih harus dipertimbangkan oleh Irak sebagai sekutu AS. Seorang pejabat senior AS mengatakan pada 20 Oktober, para pemimpin Irak telah menerima permintaan AS dan berjanji untuk tidak mengundang Rusia untuk melakukan serangan udara terhadap ISIS di Irak.