Usulan Dan Pandangan Kaum Intelektual Untuk Politik Luar Negeri, Tokoh-tokohnya antara lain :
Internationlis : Globalis : Wang Yizhou ( 王逸舟 ) ;
Nasionalis : Neo-Comms : Yan Xuetong ( 阎学通 ).
Defensif Realis : Wang Jisi ( 王缉思 )
Defensif Realis : Wang Jisi ( 王缉思 )
Wang Jisi dikenal sebagai “think tank terpercaya/otak” dari mantan Presiden Hu Jintao untuk kebijakan luar negeri dan juga bekas teman kuliah di Unversitas. Menghadapi meningkatnya tekanan untuk lebih tegas dalam kebijakan luar negeri, Wang telah lama mengajurkan agar berhati-hati dan berpenampilan (sikap) moderat, serta menyerang gagasan “meningkatkan damai” dengan alasan bahwa hal itu justru akan memprovokasi kecurigaan. Walau Wang adalah seorang realis yang berkomitmen tapi berhubungan dengan hubungan Sino-AS prihatin untuk menghindari agar tidak konfrontasi langsung. Dia berada diantara yang pertama di Tiongkok yang mengajurkan ide yang dicanangkan Deng Xiaoping untuk “menjaga low profil” perlu diteruskan. Sejalan dengan pendekatan ini, dia menciptakan ide “Kesederhanaa dan Kehati-hatian” sebagai strategi baru untuk diplomasi Tiongkok, yang banyak dikutip dalam makalah yang diterbitkan di journal Studi Internasional Tiongkok pada Pebruari 2011.
Wang lahir Nopember 1948 di Quangzhou, lulus SMA 1968, dari 1968-1975 turba ke desa Mongolia Dalam, sebagai garda pelajar masuk desa, 1975 turba ke desa di Provinsi Henan sebagai Pemuda masuk desa. 1976 – 1978 sebagai pekerja di pembangkit tenaga air untuk proyek di Sahnnmenxia, Henan. 1978 masuk Universitas Beijing Fakultas Politik Internasional. 1983 setelah meraih gelar master dalam politik di Departemen Internasional Universitas Beijing, selanjut menjadi dosen, profesor dan wakil dekan. September1991 ditransfer sebagai Wakil Direktur Studi Amerika Akademi Ilmu Sosial dan Ilmu Pengetahuan, 2005 Maret sebagai pendiri dan direktur untuk bidang penelitian. Maret 2005 s/d Januari 2014 sebagai Dekan Institut Hubungan Internasional Universita Beijing. Januari 2014 pensiunan dari Dekan Fakultas Hubungan Internasional Universitas Beijing ( masuk masa pensiun).
Karier di Luar Negeri :
1982-1983 menjadi dosen di St. Antony College, Oxford University ; 1984-1985 & 1990-1991 sebagai sarjana tamu Universitas Michigan, & Universitas California, Berkeley East Asian Institute.; Agustus – desember 2001 Visiting Professor urusan Asia di Universitas California Clermont Mckenna; Januari –Pebruari 2002 sebagai Profesor di Pertahanan Nasional dan Studi Strategis Rajaratman, Singapura; Asia-Pacific Reasearch Center, Universitas Stanford ; Brooking Institution di Northeast untuk Proyek Keamanan Asia; sebagai konsultan dari berbagai Unit Institute on Global Conflict and Cooperation di California.
Tahun 2012 terpilih sebagai 100 orang pemikir dengan ranking ke 73 untuk “Foreign Policy”.
Tulisan dibawah ini dikutip dari kata pengatar edisi 2012 dari Ulasan Strategi Internasional Tahunan Tiongkok (中国国际战略评论2012) , buku terbitan tahunan ini telah diedit oleh Wang sejak ditulis tahun 2008, dengan mengumpulkan bahan-bahan dari kontribusi pejabat senior, pakar dan intelektual dari belahan dunia. Esai dapat dilihat sebagai jawaban atasan perdebatan terakhir tentang apakah Tiongkok harus mengadopsi garis keras (agresif) untuk mencerminkan pergeseran struktur kekuasaan dari Amerika Serikat ke Tiongkok sejak mulai terjadinya krisis keuangan global.
Ulasan Strategi Internasional Tahunan Tiongkok (中国国际战略评论2012)
Thaun 2008 keris keuangan di AS telah memicu krisis keuangan global paling serius sejak 1930-an dan menyebabkan gelembong ekonomi di banyak negara. Eropa masih terperosok dalam krisis utang. Tahun 2011 dengan terjadinya gempa bumi Fukushima dan kecelakaan pembangkit nuklir , mejadi pukulan berat bagi eknomi Jepang yang ekonominya lagi suram. Kini banyak orang tertarik untuk membicarakan multipolar untuk “pasca-Amerika”, seolah-olah kabut “dunia unipolar” telah lenyap menguap keudara.
Pada tahun 2011, Osama bin Laden tewas di Pakistan dan Mouammar Gaddafi tewas di Libya, Namun masih ada beberapa perayaan di Barat yaitu tentang Pemberontakan di Dunia Arab yang dimulai pada awal tahun 2011. Pada saat yang sama media juga berfokus dengan munculnya BRICS*1 , yang makin hari makin berkembang kearah kerjasama dan koordinasi dalam masalah global. Kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok yang terus tumbuh, yang akan membawa BRICS menjadi lebih kuat. Selain itu, Indonesia, Turki, Vietnam, dan banyak negara-negara berkembang lainnya mengalami booming ekonomi. Terjadinya integrasi Amerika Latin juga telah memasuki babak baru. Dengan meningkatnya kekuatan negara-negara berkembang akan membawa konflik yang lebih besar dengan tatanan politik dan ekonomi internasional yang ada, yang akan menjadi tantangan berat pada kepepimpinan Barat.
Dalam membahas tren distribusi kekuatan global, ada beberapa pembicaraan tentang “Kebangkitan Timur” dan “Penurunan Barat” . Salah satunya dengan diharapkan Tiongkok yang akan berada dalam tekanan Barat dan menarik dukungan dari negara-negara berkembang – dengan menemukan dirinya dilingkungan yang harus meningkatkan strategis internasional. Bahkan bagaimanpun ada perasaan yang meluas di kalangan rakyat Tiongkok bahwa Tiongkok menghadapai lingkungan internasional yang suram. Mengapa bisa timbul suatu yang kontras antara “keseimbangan kekuatan global yang menguntungkan” di sisi lain ? Mengapa dengan terus bangkitnya kekuatan Tiongkok tidak membawa kebaikan lingkungan eksternal ?
Kebijakan Luar Negeri Dan Harapan Publik Tiongkok
Pertama dan yang terpenting, krisis keuangan global tidak hanya melanda ekonomi Barat tetapi telah merusak kekuatan yang baru tumbuh. Dalam era globalisasi, negara di seluruh dunia terikat menjadi satu bersama-sama dalam keadaan baik maupun buruk. Dengan menyusutnya Pasar Barat dan turunnya kreditibiltas lembaga keuangan ditambah lagi kesulitan ekspor Tiongkok dan investasi juga berdampak berat pada perekonomian domestik Tiongkok. Dengan demikian, tidak ada hubungan kausal antara “penurunan ekonomi Barat” dan “kebangkitan Timur”. Secara keseluruhan, prospek ekonomi Tiongkok janganlah dilihat pesimistis untuk beberapa tahun ke depan.
Kedua, strategi cendrung berfokus pada negara-negara (lebih ke negara berkekuatan besar) sebagai titik awal untuk mempelajari hubungan kekuasaan antara negara-negara besar. Tapi kerangka analisis ini cendrung mengabaikan tren global yang ada dalam atau di luar batas-batas nasional. Misalnya, pertumbuhan penduduk global sudah sangat tidak seimbang : yang paling akut masalah lanjut usia di negara-negara maju dan Tiongkok; sebaliknya di Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika penduduknya terus bertambah. Akibatnya, hal itu akan sulit membalikkan tren migrasi global dan konflik antara imigran baru dan penduduk asli akan terus meningkat, bahkan hal ini bisa memicu sengketa politik. Urbaniasi massal yang menyebabkan kemacetan dalam pelayanan kesehatan masyarakat, keamanan, pendidikan, transportasi, perlindungan lingkungan, pasokan air dan listrik. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin terus melebar sebagai hasil globalisasi. Ekologis lingkungan global terus memburuk, dengan bantuan teknologi baru dan khususnya media online, individu dan kelompok-kelompok kecil menantang negara dan masyarakat internasional, meskipun Tiongkok menganut dan menempuh jalannya sendiri pembangunannya, dan negara-negara lain mengikuti model lain untuk pertumbuhannya, konsep kebebasan pribadi, kesetaraan, HAM dan demokrasi menyebar di seluruh dunia. Tantangan-tantangan ini tidak dapat diabaikan dalam lingkungan strategis internasional Tiongkok.
Ketiga, meskipun benar bhawa kekuatan BRICS meningkat telah sampai ke batas tertentu yang meringankan tekanan Barat terhadap Tiongkok, tatapi masih ada perbedaaan besar antara Tiongkok dan sebagian besar negara-negara berkembang di tingkat kepentingan nasional dan ideologi. Ada perselisihan antara Tiongkok dan negara tetangga untuk batas wilayah dan isu-isu pelik seperti masalah penjualan senjata kepada Taiwan oleh AS, kekuatiran tentang Tiber dan Xinjiang, HAM, agama dan nilai tukar mata uang Renminbi. Tiongkok sering berjuang untuk mendapatkan dukungan eksplisit dari negara-negara ini, dan beberapa dari mereka bahkan menentangnya. Jadi “naiknya secara kolektif” dari negara-negara berkembang hanya memiliki effek terbatas dalam meningkatkan Posisi Internasional Tiongkok demikian juga untuk meningkatkan citra eksternal dan situasi/lingkungan politik.
Ke-empat, dengan makin majunya Tiongkok, semakin menghadapi meningkatkan “dilema keamanan”. Dalam perjanlanan membangun kekuatan militer demi keamanan sendiri, AS dan negara-negara tetangga yang meragukan niat pembanguan Tiongkok dengan damai juga mengambil langkah-langkah pencegahan yang diarahkan terhadap Tiongkok, dan bahkan mengkoordinasikan strateginya menuju Tiongkok. Akibatnya, masyarakat Tiongkok sekarang merasa lebih aman dan tidak was-was serta merasa jadi “korban komplek” dibanding ketika Tiongkok masih lemah. Rakyat Tiongkok bertanya-tanya bagaimana Tiongkok bisa lebih kuat, namun kurang aman. Dua jawaban yang paling umum yang bisa diberikan tidak hanya di media massa, tetapi juga oleh para ahli dan intelektual bahwa pengeluaran untuk pertahanan masih tidak cukup, dan kebijakan terhadap negara-negara dan AS masih terlalu lemah. “dilema keamanan” ini akan sulit untuk dipecahkan dalam waktu dekat. Kekuatan yang sebenarnya, intrumen kebijakan dan perencanaan strategis untuk hubungan luar negeri Tiongkok akan terus tertinggal dibelakang harapan publik domestik.
Faktor Negatif Internal
Secara obyektif, kebijakan luar negeri Tiongkok sudah lebih proaktif bebarapa tahun terakhir ini daripada sebelumnya, dan pada intinya lebih menekankan pada prinsip menjaga kepentingan nasional yang makin lebih, sehingga masyarakat internasional makin mempercayai. Investasi Tiongkok ke luar negeri dan perdagangan luar negeri juga dipandang lebih meluas, baik dari segi kuantitas dan kualitas, warga Tiongkok dan kegiatan bisnis kini telah meninggalkan jejak dihampir setiap sudut dunia. Pemerintah Tiongkok juga meningkatkan investasi keuangan dan intelektual dalam membangun kekuatan lunak budaya bangsanya. Petinggi Tiongkok dan diplomasi publik makin hari makin memegang inisiatif untuk sejumlah perlindungan kepentingan luar negeri Tiongkok, yang meningkat secara signifikans.
Namun secara keseluruhan citra Tiongkok di dunia luar masih tidak memuaskan. Alasan utama terletak pada berbagai peristiwa negatif dan faktor ketidak stabilan di Tiongkok, unutk itu sebenarnya hanya beberapa insiden kekerasan serius yang terjadi di Tibet dan Xinjiang sejak 2008, insiden massa dipicu oleh masalah konflik sosial internal, kekuatiran yang berkaitan dengan kualitas produksi, kemananan pangan, moral publik, ekologi lingkungan, korupsi meluas, pelanggaran displin berulang yang dilakukan pejabat senior, dan pengaruh beberapa warga Tiongkok yang mencari “suaka” di kedutaan asing atau konsulat.
Hal ini semua akan memakan sumber daya yang cukup banyak untuk mengatasi semua masalah tersebut. Dalam pandangan beberapa instansi pemerintah, semua masalah internal tersebut sedikit banyak adanya keterlibatnya campur tangan dan pengaruh asing yang bermusuhan dengan Tiongkok. Terlepas apapun penyebabnya, masalah tersebut telah merusak reputasi dan kepentingan Tiongkok. Dalam rangka mengembangkan kebijakan luar negeri yang lebih trampil, Tiongkok harus mengembangkan koordinasi antar lembaga, untuk meningkatkan efisiensi dan transpanransi dalam pemerintahan, membangun sistim akunbilitas yang lebih baik, menghukum koruptor, dan meningkatkan kualitas budaya warga, namun hal ini hasilnya tidak bisa instan seperti mendorong pertumbuhan ekonomi.
Jika analisis diatas dasarnya benar, Tiongkok akan menghadapi tantangan global yang lebih serius di tahun-tahun yang akan datang. Meskipun penting untuk memperkuat diplomasi, pertahanan nasional dan propanganda di luar negeri dan melakukan kegiatan ekonomi di luar negeri, kunci untuk keberhasilan Tiongkok dalam mengatasi tantangan global juga tergantung pada apakah bisa mempercepat laju reformasi domestik dan benar-benar menangani politik internal, ekonomi dan isu-isu sosial. Yang menjadi krusial, publik Tiongkok harus mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif dan obyektif untuk situasi internal dan eksternal antar hubungan mereka.
( Bersambung ................. )
Referensi & Catatan :
*1BRICS = singkatan dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan, lima negara yang pertumbuhan ekonominya pesat. Akronim ini dicetuskan pertama oelah Goldman Sach pada 2011. Gabungan dari 5 negara ini akan mengalahkan negara-negara terkaya dunia.
BRICS menyatakan posisinya antara lain akan mencakup berbagai isu global :
Reformasi Institusi keuangan seperti IMF dan Bank Dunia agar aspirasi negara-negara berkembang lebih ketampung.
Perlunya diversifikasi sistim moneter internasional, tidak terfokus pada US Dollar saja untuk mata uang internasional.
Agar PBB memainkan peran lebih penting dalam diplomasi multilateral.
Peran lebih besar untuk India dan Brazil di PBB, agar bisa menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
-http://baike.baidu.com/view/1305255.htm 王缉思
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H