Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bagaimana Kiranya Peran RRT dalam Dua Dekade yang Akan Datang di Dunia dan Siapa dan Apa Peran Intelektual dalam Negerinya (3)

21 Juni 2014   22:20 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:53 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan Pemikir dan Eksprimen Pembangunan

Memang selama 30 tahunan para pimpinan negara ini terlihat selalu kuatir tentang persoalan kemiskinan dan perkembangan perekonomian mereka. Namun setelah terlihat keberhasilan pembangunan ekonominya, mereka kini menguatirkan tentang masalah kemakmuran, kesejahteraan dan masalah pemasaran. Seperti diketahui pada 1979 Deng Xiaoping menegaskan bahwa tujuan dari modernisasi Tiongkok adalah menuju “masyarakat sosial sejahtera yang moderat” (moderately well-off society/小康社会), dan selama satu dekade lebih rakyat Tiongkok hidup dalam konsep utopia ini. Tapi sejak krisis moneter dunia, pemerintah mulai kuatir akan legitimasi dari lahirnya kapitalis kecil yang makin membesar ini.

Tapi sejak tahun 2008 seperti daerah Guangdong yang makmur dengan segera menghadapi kekacauan karena permintaan import dari negara Barat terus menurun dengan tajam. Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap ketenaga kerjaan, harga tanah dan nilai tukar mata uang. Sedang stimulus secara masif hanya akan menanggulangi dalam jangka pendek, tapi untuk jangka panjang akan mempengaruhi keseimbangan.

Dalam keadaan kritis demikian beberapa pakar memberikan pandangannya, seperti Justin Yifu Lin (林毅夫) berpendapat bahwa Tiongkok akan ketinggalan dua dekade jika berkembang berdasarkan cara tradisionil yang ada. Pada saat yang sama Yu Yongding (余永定) merasa lebih optimistik dibanding dengan pendapat pakar lainnya, menurut analisisnya Tiongkok secara jangka panjang masih harus menghadapi tantangan. Namun tidak demikian menurut Lin, dia masih ingat pada masa revolusi kebudayaan, Tiongkok mengalami kemerosotan yang tajam bahkan terasa berjungkir balik. Suatu saat ini dia berada di sekolah yang terkenal, dimenit berikutnya harus berada di bengkel besi industri berat.

Para pemikir Tiongkok yang lain seperti Wang Shaoguang (王绍光) dan Sun Liping ( 孙立平 ) lebih melihat segi menarik dari krisis ini, dan dapat memahami keadaan ini. Mereka bukannya mempelajari pengalaman jatuhnya rezim komunis negara lain, melainkan justru balik menemukan karya klasik dari J.K. Galbraith yang membahas tentang ‘masyarakat makmur’ dan mengadaptasi kritiknya terhadap spiral yang terjadi di AS yang terus terjadi ketidak adilan pada abad keduapuluhan yang lalu, dan dia memperkirakan Tiongkok juga akan dilanda keadaan konsumtif yang demikian juga. Wang berpendapat dengan teori Galbraith akan mudah untuk mengenali gejala masyarakat makmur Tiongkok hari ini.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kepemimpinan Tiongkok dengan segala obsesinya telah menghabiskan satu generasi untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan segalanya. Tapi akibatnya terjadi ketimpangan yang merajarela bagi sosialisme Tiongkok, yang menghancurkan politik “Mangkok nasi besi” (keadilan merata untuk sandang pangan) pelindungan sosial. Tiongkok telah berubah dari negara “sama rata sama rasa” yang paling berkeadilan di dunia menjadi bangsa yang kesenjangan kaya dan miskin melebihi dari AS sekarang. Selain itu lonjakan yang menyolok dari konsumsi swasta, dengan mengorbankan investasi barang yang berbasiskan untuk publik atau untuk kesehatan serta pendidik publik.

Seperti diketahui selama ini Tiongkok telah dapat mengekspor barang dengan murah, ini terjadi karena adanya sistim hukou (户口)/kependudukan yang mengikat hak sosial pada tempat kelahiran bagi setiap insan, ini menyebabkan kurang menguntungkan bagi pekerja migran yang datang ke kota-kota. Akibatnya terjadi di Kota Guangzhou kota terbesar di Provinsi Guangdong seperti apa yang terjadi di Arab Saudi, dimana GDP per kapita setara dengan negara berpengahasilan menengah, namun para pakar akademisi memperkirakan hanya 3 juta dari 15 juta penduduknya yang terdaftar sebagai hukou di kota ini. Sehingga hanya 3 juta yang berhak untuk bisa mendapatkan jatah perumahan, pendidikan atau kesehatan dari pemerintah dan mendapatkan gaji standard yang ditetapkan pemerintah. Hal demikian terjadi seperti di Arab Saidi buruh migran murah tertarik dengan keyaaan minyak, tapi di Guangdong buruh murah merupakan produk sampingan yang juga menjadi kekayaannya. Tapi reformasi untuk kondisi ini masih sangat lamban sekali.

Dengan tidak adanya perlindungan kesejahtaraan kepada sebagian besar pekerja ini, dengan sendirinya membantu memperkuat bagi investasi infrastuktur dalam negeri dengan modal murah. Dengan tidak adanya dukungan sistim pensiunan dari negara dan jaminan pendidikan dan kesejahteraan ini menyebabkan menghemat hampir setengah dari pendapatan mereka terhadap nasib sial pekerja.

Selain itu Bank-bank BUMN juga memberi kredit dengan suku bunga rendah. Ini mengakibatkan sejumlah besar modal yang tersedia tersedot oleh kapitalis dan kroninya untuk berinvestasi spekulatif, yang juga membengkakkan GDP. Yang terjadi lahan-lahan menjadi banyak berdiri gedung-gedung tinggi, pabrik yang mangkrak dan hotel-hotel yang kosong atau langka pengunjung.

Salah satu perdebatan yang terjadi tentang bagaimana menghindari perangkap kemakmuran dalam kesenjangan sosial ekonomi, misalnya Zhang Weiying (张维迎) yang membentuk suatu kelompok yang berpandangan kanan baru yang pro-pasar. Mereka ini yang melopori reformasi ekonomi secara bertahap dari 1980an hingga 1990an, dan kini mereka menginginkan negara untuk menyelesaikan pekerjaan ini dan sekaligus memprivatisasi ekonomi.

Zhang yang dicap sebagai seorang ekonom neoliberal ‘kanan baru’ yang pernah mengikuti pendidikan di Inggris ini menjadi pionir dalam reformasi ekonomi secara bertahap pada tahun 1980an dan 1990an, dan kini mereka menginginkan menuntaskan misinya dan memprivatisasi ekonomi yang tersisa. Mereka berpendapat bahwa solusi untuk menyelesaikan krisis adalah dengan memulai mencari solusi hambatan dalam privatisasi sektor negara untuk meliberalisasi sistim keuangan, terutama memberi hak yang sama bagi sektor swasta dalam melakukan pembiayaan, memprivatisasi tanah dan mengakhiri pemilikan kolektif.

Dilain pihak ada perdebatan yang berpendapat lain dari golongan pemikir ‘New Left’ seperti Wang Hui, Cui Zhiyuan dan Wang Shaoguang, yang mengusulkan suatu model lain sejak pembangunan 1990an. Wang mengacu pada penemuannya dalam karya klasik dari J.K Galbraith tentang ‘masyarakat makmur’ yang menyebabkan terjadi ketidak setaraan dan ini bisa terjadi juga pada Tiongkok.

Mereka mengatakan bahwa antusias Tiongkok untuk pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran telah menciptakan (bubble) ekonomi berbuih, dan menyebabkan jutaan orang terjebak dalam kemiskinan, solusi seharusnya terletak pada perencanaan bukanlah harus dengan privatisasi. Sejak 1990an mereka sudah memberi usulan yang menentang atas usulan sistim ortodok dari golongan neolib dan mengusulkan untuk kembali kepada kepemilikan negara.Ketidak setaraan/kesengjangan sosial yang telah merajarela di Tiongkok dan telah menghancurkan ‘mangkok beras besi’ dalam proteksi sosial. Tiongkok telah menjadi negara yang tadinya paling ‘setara/adil’ di dunia menjadi negara yang jurang pemisah antara kaya dan miskin lebih lebar dari AS. Gelombang konsumsi dan proyek swasta meningkat dengan menyolok dengan mengorbankan investasi untuk kewajiban negara kepada rakyatnya seperti perawatan kesehatan, pensiun dan pendidikan yang terjangkau rakyat pada umumnya.

Golongan ini tidak seperti Maoist refuseniks (pengikut membabi-buta Maoist yang mengikuti apa yang dikatakannya), melainkan masih mencakup ekonomi pasar, mereka menguatirkan akan timbulnya ketidak setaraan. Karena mereka mengiramodel reformasi pembangunan ekonomi Tiongkok selama ini lebih menekankan pada gajih, yang berujung pada subsidi ekspor, yang memberi ekses pada layanan sosial, reformasi tentang sistim hukou, akibatnya berakhir pada ‘krisis keuangan’ dikarenakan suku bunga rendah yang artifisial. Mereka lebih menekankan pada pelayanan kesehatan murah, mengsosialisasikan kapital dan reformasi hak milik untuk memberi kesempatan pekerja otoritas dalam perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja dan tentang perbangunan hijau (green delvelopment绿色发展).

Usulan New Left ini bergema bertepatan dengan terjadinya krisis global, bintangnya mulai bersinar dan berkembang hingga sampai terjadinya skandal Bo Xilai. Pada 1990an mereka coba mencari tokoh berpengaruh untuk mendukung idee mereka; untuk tujuan ini mereka mencari pada tokoh dan pimpinan daerah pedalaman yang masih memegang jiwa kolektif sebagai gacoannya. Bakhan tahun lalu Li Keqiang PM Tiongkok telah memberi laporan pendahuluan sebanyak 468 halaman tentang seruan tentang “perubahan mendasar” untuk model pembangunan Tiongkok dalam menuju ke pasar hingga tahun 2030, dan diterbitkan oleh Bank Dunia-Komisi Reformasi & Pembangunan Nasional

Pada 1996 Cui Zhiyuan mempublikasikan ulasan tentang Nanjie (南街村) sebuah desa di Provinsi Henan, yang dilaporkan sebagai desa dengan konsep kolektivism Maoist, desa dibangun dengan model ‘komunisme utopia sosialistik’. Pada 1991 desa ini dilaporkan sebagai desa yang makmur, 1992 GDP dari desa ini melebihi 100 juta Yuan(mata uang Tiongkok) dan menjadi terkenal sebagai “desa millioner”. Pimpinan desa menjadi ketua pembangunan desa yang tidak memperkenankan usaha pribadi dan melarang adanya karaoke dan usaha hiburan lainnya. Setiap pagi diadakan upacara kenaikan bendera, menyanyikan lagu revolusi, barulah para PNS masuk kerja, demikian juga pulang kerja di akhiri dengan upacara serupa. Para karyawan mendapat gaji tetap Y 150 – 200. Rakyat desa mendapat pelayanan kesehatan dan pengobatan, sekolah, sandang pangan gratis. Pesta pernikahan diadakan secara massal dengan biaya desa, kedua mempelai mendapat hadiah buku “Koleksi Pikiran Mao’. Namun akhirnya keberhasilan ini diketahui hanyalah semu, karena sebagian besar dibiayai dengan kredit bank yang akhirnya terjadi default, kredit bank tidak terbayar. Dan ternyata usaha desa secara rahasia 60% dimiliki oleh swasta. Jadi Nanjie pada 1980an menjalankan konsep kolektivitisasi dalam pembangunan pertanian, sedang disebagian besar Tiongkok sedang mengenalkan reformasi pasar sesuai dengan seruan Deng Xiaoping. Sedang mereka tetap menjalankan konsep egalitarian Maoist, bahkan menjadi atraksi tourisme pada kala itu.

Cui Zhiyuan (崔之元) lahir 1963 di Beijing (Ayahnya seorang insinyur nuklir di Provinsi Zhichuan), seorang professor di Universitas Qinghua-Beijing untuk School of Public Policy & Management (清华大学管理学院教授). Pernah diundang menjadi dosen di fakultas hukum Universitas Cornel-AS. Pada 1995 mendapatkan gelar Doktor untuk Ilmu Politik, pernah mengajar Ilmu Politik di Massachusett Institute dan di Centre for Advance Study di Berlin Jerman, sebagai peneliti di Harvard Law School terutama untuk penelitian bidang ekonomi politik dan filsafat politik. Menerbitkan buku “Invisible Hand Paradigm Paradox/Paradigma Paradoks Yang Tak Terlihat” (Economic Science Press/Press Ilmu Ekonomi/经济科学出版社) ; “Institutional Innovation and the second emancipation” (Oxford University Press) dan karya tulis lainnya dalam Inggris dan Mandarin.

Gagasan Cui tetap mengacu pada model Chongqing, walaupun telah diadakan perbaikan-perbaikan setelah terjadinya skandal Bo. Dia ber-argumen bahwa Model Shenzhen adalah untuk era 1990an dan Pudong untuk era 2000an, tapi model Chongqing menjadi model untuk perkembangan Tiongkok yang akan datang. Dia mengklaim bahwa pembangunan daerah lain Tiongkok harus meniru langkah-langkah innovatif Chongqing untuk mengurangi jurang antara pembangunan perkotaan dan pedesaan melalui reformasi sistim hukou yang ketat dan skema pertukaran tanah yang memberi petani akses terhadap modal. Yang terpenting menurut visi Cui adalah ekonomi campuran yang tergantung pada konsumsi domestik, dan memberi penjelasan tentang perekonomian campuran antara swasta dan publik.

Cui memberi penjelasan dalam esainya, mengapa banyak intelektual Tiongkok banyak yang yakin akan ide “Model Chongqing” sebelum adanya skandal Bo yang dramatik, mereka mendasarkan pada sebuah makalah akademik “Partial Intimidations of the Coming Whole: The Chongqing Expriment In Light of The Theories of Henry George, James Meade dan Antonio Gramci” (Modern China, November 201137: 664-660), yang secara luas dibahas dalam dunia akademisi dan partai (PKT). Cui menjelaskan Chongqing sebagai model untuk pembangunan dapat mengakhiri Tiongkok dari ketergantungan pada ekspor dan tabungan (bank); yang dengan demikian dapat mempersempit jurang pertumbuhan antara kota dan pedesaan, serta penggunaan kepemilikan publik (negara) dan perencanaan negara untuk merangsang bisnis swasta.

Permasalahan pendekatan Neolib dan Newleft telah merangsang permintaan disatu sisi dan reformasi di sisi lainnya. Selama ini mereka dipusingkan dengan kepentingan besar ini, dimana yang selama dua dekade lalu kepentingan ini telah diambil alih oleh kapitalis dan kroninya.

Namun menurut sosialog Sun Liping (孙立平) yang juga pernah menjadi mentor dari Xi Jingpin (presiden Tiongkok) saat mendapatkan gelar Doktor di Universitas Qinghua, menjelaskan bagaimana peran negara dalam bidang perekonomian telah menciptakan kelompok berkepentingan baru yang memusuhi reformasi, itu menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok ini telah mendominasi pemilikan tanah, pertambangan, sumber daya keuangan, infrastuktur dasar nasional, pembangunan perkotaan, proyek-proyek publik, pengembangan air pedesaan dan energy, listrik, telekomunikasi, manufaktur dan industri penting lainnya. Kelompok ini telah diuntungkan dari kebangkitan ekonomi yang abu-abu ini, serta terjadinya korupsi dimana-mana. Jadi lawan terbesar bagi ‘kiri baru’ dan ‘kanan baru’ bukan antar mereka tapi adalah manfaat dari sistim yang telah berkembang ini. Dan bagaimana mereka harus memecahkan pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan yang makin banyak dalam masalah politik yang timbul ini.

Sebelum 1989, mayoritas intelektual Tiongkok percaya bahwa negara harus menuju seperti model negara Barat, menganut pemilu multi partai, pemisahan kekuasaan dari partai dan negara, pembagian kekuasaan. Tetapi setelah terjadinya Peristiwa Tian Anmen dan kolaps/jatuh serta terpecahnya negara Uni Soviet, maka Tiongkok menghindari reformasi politik yang demikian, mereka takut hal ini akan membuat negara Tiongkok jadi bubar.

Tetapi Sun Liping dalam laporannya di Qinghua University berpendapat bahwa obsesikemenangan untuk stabilitas ada pada diri sendiri : “Hasil akhir dari keinginan pelestarian stabilitas yang kaku dan proyek pelestarian stabilitas yang besar sebenarnya yang menyebabkan pendorong ketegangan sosial.”

Cui Zhiyuan dalam “ The Chongqing expriment : the way forward for China?”( 重庆试验:未来路向中国? Eksprimen Chongqing: Jalan Untuk Masa Depan Tiongkok?)

Menuliskan: Jika kota Shenzheng merupakan simbol dari pembangunan Tiongkok tahun 1980an dan Pudong (bagian pusat kota Shanghai baru yang menjadi metro politan) menjadi simbol dari tahun 1990an, banyak orang kini melihat Chongqing sebuah kota yang terletak dipedalaman bagian barat Tiongkok dengan populasi yang 33 jutaan sebagai perwujudan dari pertumbuhan dari Tiongkok pada dekade pertama abad ke21.

Niall Fergusson sejarawan ekonomi Harvard yang menciptakan istilah “Chimerica” mengatakan : Tidak lama setelah terjadinya krisis perkreditan di Barat: Saya mengadakan kunjungan ke tempat dimana merupakan negara bertabungan terbesar di Timur, yang berbelanja secara royal. Dimana tidak ada tempat yang dapat menandingi perwujudan ekspansi ekonomi yang sangat tinggi dari Tiongkok daripada kota Chongqing yang terletak jauh di tepi sungai Yangzhe ini, kota ini menjadi kota tercepat perkembangannya di dunia saat ini. Saya melihat beberapa prestasi spektakuler dalam pembangunan dalam kunjungan saya sebelumnya, tapi ini bahkan melebihi dari Shanghai dan Shenzheng. (speech on “Chimerica” at the Carnegie Council, 20 November 2009 : http://www.youtube.com/watch?v=-DeQYWro8YU)

Setelah kunjungannya ke Chongqing ini, Fergusson mengubah pendapatnya tentang “Chimerica”. Awalnya dia membayangkan tentang pembagian kerja dimana Tiongkok “yang menabung” dan Amerika “yang mengkonsumsi”, dia kira Tiongkok tidak memiliki pasar domestik cukup besar karena itu harus bergantung kepada pertumbuhan yang dipicu ekspor. Tetapi setelah melihat pembangunan yang spektakuler di kota Chongqing, dia melihat realita yang menunjukkan pasar besar domestik Tiongkok yang dengan sendirinya juga mementahkan dan mengakhiri istilah “Chimerica”.

Dengan demikian Furgusson harus mengakui bahwa Chongqing sebagai antitesis dari pandangan dia tentang “Chimerica”, karena model Chongqing telah dipilih oleh pemerintah Tiongkok pada 2007 sebagai “zona ekprimental nasional untuk mengintegrasikan perkembangan perkotaan dan pedesaan”. Kunci intergrasi ini untuk merangsang permintaan domestik Tiongkok.Bila penduduk perkotaan saja mengkonsumsi enam kali lebih banyak dari pedesaan, maka itu dapat mengubah pola pertumbuhan Tiongkok dari yang berbasis ekspor ke pasar domestik.

Pada bulan Maret 2011, Kongres Rakyat Tiongkok secara resmi mengumumkan “12 Tahun Repelita” dan mengubah pola pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang menjadi pilar baru dari kebijaksanaan ekonomi sosial Tiongkok. Setelah pengumuman ini media dalam dan luar negeri menjadi hangat mendiskusikan “Pengalaman Chongqing” dan “Model Chongqing”.   ( Bersambung.... )

Sumber :China 3.0 by Mark Leonard – European Council On foreign Relations – ECFR November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun