Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Kiranya Peran RRT dalam Dua Dekade yang Akan Datang di Dunia dan Siapa dan Apa Peran Intelektual Dalam Negerinya ( 18 )

5 Agustus 2014   01:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:25 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pan Wei  dan Shang Yin

Pan Wei seorang professor ilmu politik di Fakultas Studi Internasional Universitas Beijing. Pernah bekerja sebagai seorang peneliti di Institut Ekonomi Dunia dan Politik di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok (CASS), pernah mengajar di Universitas California, Berkeley AS, dan menjadi dosen tamu di Menlo College dan di Graduate School of International Studies di Universitas Denver. AS.

Seorang yang dikategorikan berpandangan “neo-konservatif” yang telah lama terkenal  pandangannya tentang nilai-nilai tradisional Tiongkok seperti Meritokrasi dan Konghucu/kongfusianisme, dan merupakan lawan kuat tehadap demokrasi Barat. Makalah tulisannya yang berpengaruh pada “Rule of Law” yang disandingkan dengan meritokrasi budaya Tiongkok dengan mayoritarianisme politik elektoral dan usulannya untuk Tiongkok melakukan model sistim politik seperti di Singapura. Sejak tahun 2007 Pan Wei telah memimpin sebuah proyek besar untuk mendefinisikan “Model Tiongkok”, dan menolak cara-cara Barat yang membingkai dengan dikotomi antara negara dan masyarakat sipil, demokrasi dan otokrasi, negara dan pasar.

Shang Yin adalah asisten professor di Universitas Beijing yang bekerjasama dengan Panwei.  Shang Yin menerima gelar BA dalam studi internasional dan MA dalam kerjasama internasional dari Universitas Beijing, selama belajar di dua institusi ini menerima penghargaan University Fellowship for Excellent Student. Kemudian meraih gelar PhD dalam ilmu politik dari Harvard University. Ketika di Harvard sempat menjadi Presiden dari Harvard Chinese Students and Scholars Association. Pernah menjadi asisten peneliti di Harvard university dan Columbia Unversity.

Kutipan Esai dibawah ini adalah pandangan Pan Wei dan laporan Shang Yin yang menekankan stabilitas Tiongkok pada pelestrarian, yang telah menarik perhatian Komite Tetap Politbiro Partai (PKT). Yang membahas tentang krisis nilai-nilai bagi Tiongkok dan nostalgia dengan “masyarakat alami/tradisionil”. Pandangan ini telah menggemakan kaum neokonservatif AS seperti Allan Bloom*1 dan pemikir komunitarian seperti Charles Taylor*2.

Mayoritas rakyat Tiongkok umumnya memiliki rasa cinta dan percaya yang mendalam terhadap negaranya, partai dan pemerintah. Tapi terakhir ini karena rumor yang melibatkan partai dan pemerintah menyebar sangat cepat, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemeritah menjadi isu yang besar. Hal tersebut akan menjadi sulit untuk menemukan dipemerintahan di negara lain di dunia yang pejabatnya begitu berkulaitas dan mau bekerja keras. Dibawah kepemimpinan partai (PKT) Tiongkok telah berubah dari negara pertanian terbesar di dunia menjadi negara industri terbesar di dunia. Kondisi kehidupan masyarakat telah dengan cepat membaik, modernisasi infrastruktur telah dibangun, kesenjangan dengan negara-negara maju makin dipersempit. Namun kenapa kepercayaan dan simpati masyarakat terhadap partai bisa makin ter-erosi?

Paradoks bagi Tiongkok bahwa pemerintah telah dapat memecahkan banyak masalah besar negara, tapi masih kewalahan dengan masalah “sepele” yang mempengaruhi kehidupan rakyat jelata, khususnya untuk berbagai kasus “ketidak adilan” di masyarakat lokal atau daerah. Sebuah birokrasi pemerintah bisa menangani isu-isu utama dan besar pembangunan ekonomi, tetapi tidak berdaya untuk menyelesaikan masalah “kecil” untuk rakyatnya. Seperti misalnya infrastruktur, hal itu bisa dengan cepat kehilangan dukungan rakyatnya. Sementara itu komunitas lingkungan yang terbaik ditempatkan untuk memecahkan masalah yang telah hancur bersama dengan moralitasnya. Akibatnya kini di Tiongkok terjadi krisis nilai.

Pedekatan Barat Terhadap Stabilitas Pelestarian

Kaum terpelajar yang terpengaruh konsep tentang Demokrasi Barat, Kebebasan dan Rule of Law memberi empat penjelasan tentang penurunan stabilitas sosial di Tiongkok. Yang pertama “Teori Zona Laut Dalam/Deep-Water zone teory” yang menegaskan bahwa terjadinya masyarakat tidak stabil ketika ekonomi (yang diukur dalam PDB per kapita) berkembang diluar titik tertentu dan memasuki “zona bahaya” atau “zona laut dalam”. Pada tahap ini kepentingan menyimpang tajam dan konflik sosial meletus. Salah satu solusi dengan membentuk suatu mayoritas langsung dengan sistim pemilu melalui reformasi politik.  Solusi lain dengan terus membuat “kue besar” atau dengan kata lain berfokus pada mempertahankan pertumbuhan, sehingga pendapatan per kapita terus meningkat hingga pada lapisan rakyat termiskin.

Namun “Teori Zona Laut Dalam” mengadung cacat karena adanya friksi murni untuk mengklaim adanya hubungan tak terhindarkan antara tingkat PDB per kapita dan perbedaan kepentingan. Di seluruh dunia ada dua macam negara yang stabil dan yang tidak stabil dengan berbagai tingkat PDB per kapita. Hal ini menjadi omong kosong untuk menyatakan bahwa pemilihan yang universal yang diperlukan untuk menjaga stabilitas, pada kenyataanya mereka sering menciptakan ketidak stabilan. Polarisasi menyebabkan kontraksi kelas menengah dan bahkan dapat membuat kerusuhan sosial di negara-negara maju yang memiliki rezim yang “sudah matang”. Sebagai contoh pada tahun 2011 terjadinya “Musim Semi di Arab/Arab Spring” berubah menjadi “Musim panas Eropa/European Summer” dan “American Autumn/Musim Gugur Amerika”, saat itu baik permerintah Inggris dan Amerika menggunakan kekerasan dalam membersihkan (mengatasi) kerusuhan dan menjaga stabiltasnya.

Yang kedua menjelaskan penurunan stabilitas sosial dengan “Teori Korupsi”, yang memberi pendapat bahwa ketidak stabilan sosial di Tiongkok merupakan hasil dari konflik antara pejabat yang korup dan rakyat. Argumentasinya adalah kekuasaan dan kekayaan menciptakan arogansi, korupsi berkembang biak, akibatnya membangkitkan kemarahan rakyat. Solusinya dengan “pemerintahan yang kecil” dan “masyarakat yang besar”. Tapi tidak ada negara di dunia yang mengikuti cara Inggris ini yang dilakukan pada abad ke-18, Bahkan Inggris dan Amerika membentuk “”pemerintahan besar” (mana bisa dikatakan “pemerintah kecil” jika kebutuhan pengeluarannya lebih dari setengah PDB nasional) dan menolak dogma bahwa pemerintah (sosialis Tiongkok) buruk dan kapitalisme yang baik. Pada kenyataannya politisi Inggris dan Amerika telah menyia-nyiakan pendapatan pajak yang dipungut dari rakyat untuk membeli suara, dan meninggalkan hutang yang besar kepada generasi berikutnya.

Yang ketiga menjelaskan penurunan stabilitas sosial dengan “Teori Kesenjangan Kekayaan” atau “Teori Ketidak Setaraan” . Pendekatan untuk masalah ini dipandang dari sudut lain dan berpendapat bahwa ketidak stabilan di Tiongkok disebabkan oleh ketimpangan daripada kemauan. Pelebaran kesenjangan sosial disebabkan oleh lima aspek utama yaitu kehidupan, perumahan/papan, perawatan kesehatan, pendidikan, perawatan anak, dan pensiun yang menjadi sarang ketidak stabilan sosial dan korupsi. Solusinya dengan cara progresif membangun kembali sistem keamanan yang komprehensif atas dasar masyarakat yang relatif makmur. Dalam 30 tahun terakhir Tiongkok memiliki kebijakan yang di dukung mayoritas rakyat Tiongkok, berusahalah untuk melakukan hal ini. Namun penyebab utama terjadinya “insiden protes massa” yang sering terjadi bukan dikarenakan kebencian terhadap orang kaya. Kebanyakan konflik sosial berasal dari masalah “sepele” yang dilakukan pemerintah dalam distribusi yang tidak adil dalam memberi kompensasi dan subsidi.

Yang keempat menjelaskan penurunan stabiltas sosial dengan “Teori Gaya Kerja”, yang melihat sumber ketidak stabilan sosial disebabkan “birokratisme”. Dengan berargumenatasi birokrasi mungkin tidak bisa dihindari, tetapi birokratisme bisa. Birokratisme dapat menyebabkan mempersulit, menimbulkan kemalasan, membuat peraturan tersembunyi atau dengan kata lain Korupsi. Akibatnya pejabat pemerintah mengabaikan hal-hal yang sepele yaitu “keadilan” dalam kehidupan masyarakarat sehari-hari, yang terus menumpuk dan akhirnya mengubah menjadi ketegangan antara masyarakat dan pemerintah yang menimbulkan insiden protes bebsar-besaran. Solusinya dengan mengubah cara berpikir  dan cara kerja para kader: mereka dibutuhkan untuk memperkuat keyakinan ideologis untuk amanah untuk “melayani rakyat”, harus telaten, teliti dan merakyat dalam bekerja pada umumnya, dan menyelesaikan hal kecil pada khususnya. Membangun berbagai institusi dan sistim, serta melakukan mekanisme yang berkelanjutan untuk mengkonsolidasikan transformasi ini sebagai “gaya kerja” mereka.

Namun walaupun “gaya kerja” baik tapi cepat atau lambat akan terkikis oleh “Birokratisasi”. Sistim birokrasi, aspek-aspek khusus kehidupan sehari-hari rakyat biasa harus tetap dianggap seolah “sepele” (diperhatikan) sedangkan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi adalah “masalah besar” yang penting untuk peremajaan nasional (national rejuvenation). Pejabat akar rumput yang harus mengurus dan memperhatikan “masalah besar” dan memenuhi tugas top-down yang diberikan kepada mereka oleh atasannya, tidak bisa pada saat yang sama menangani masalah-masalah tertentu dalam kehidupan rakyat. Meskipun bagi pemimpin yang kuat dan karismatik sekalipun untuk menyuruh bawahan untuk bekerja sama satu sama lain untuk berurusan dengan “masalah sepele” untuk siang dan malam. “Gaya Kerja” yang baik ini tidak akan bertahan lama untuk yang bersangkutan. Dalam situasi demikian juga akan sulit untuk menemukan komunitas warga lokal yang bersedia dan mampu untuk berpartisipasi.

Akhirnya tidak mudah untuk meningkatkan “Gaya Kerja” dilevel bawah birokrasi. Dibawah sistim birokrasi ini, mereka terlalu banyak bekerja dan tidak punya waktu luang untuk pergi dari satu pintu ke pintu lainnya untuk menangani masalah tertentu atau membaca dokumen yang berkaitan dengan kasus-kasus individu. Karena itu seringkali mereka mencoba untuk memecahkan konflik dengan uang. Dibawah laporan konstans dari media yang tak henti-hentinya menyerukan melanjutkan “pelembagaan, standarisasi dan proseduralisasi”, kader akar rumput merasa menjadi makin diawasi dan dievaluasi. Tapi akhirnya mereka hilang antusiasmenya dan menjadi kurang mau berinisiatif disebabkan oleh terus didorong oleh masyarakat.

Stabilitas Sosial Melalui Kominitas Alami/Tradisional

Jika sistim birokrasi yang berhubungan dengan “masalah besar” adalah Yin, dan organisasi masyarakat untuk masalah lingkungan yang menangani masalah “sepele” adalah Yang. Namun komunitas alami (kumpulan tradisional) yang telah ada ribuan tahun di Tiongkok telah secara bertahap hancur, pertama oleh Maoisme dan kemudian oleh pasar. Jika anda tidak memiliki komunitas, anda tidak memiliki rasa idenditas komunitas yang didasari moralitas. Dengan demikian sebagai rasa bermasyarakat juga telah runtuh, yang mana rasa  bermasyarakat juga sirna. Dengan demikian penghancuran komunitas alami/tradisionil menciptakan krisis nilai di Tiongkok. Seiring dengan birokratiasi partai dan pemerintah telah mengakibatkan pemisahan dan bahkan timbul antagonisme antara Yin dan Yang. Ini bukan salah satu dari empat penjelasan yang diberikan oleh para pakar Barat yang berpengaruh, tapi itu adalah akar penyebab ketidak stabilan sosial.

Masayarakat yang telah berubah menjadi egois “individu” tak dapat lagi menata dirinya untuk memecahkan masalah. Karena simpul dari konflik tidak dapat dilepaskan ikatannya dalam komunitas alami itu sendiri, sehingga individu harus memohon penanganan kepada pemerintah. Jadi ratusan juta orang beralih untuk minta birokrasi untuk mengajukan “keadilan”, tapi jika individu datang dengan tidak tertib dan tidak berdaya melawan birokrasi yang terorganisir dan yang tidak membantu, maka hal itu akan menghasilkan kekecewaan dan keluhan yang poluler. Apabila pemimpin desa tidak dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri, konflik diserahkan pemerintah lokal dan bahkan ke pemerintah pusat. Oleh karena itu masalah individu tumbuh menjadi masalah sosial dan konflik masyarakat menjadi konflik sosial.

Selain itu ada lingkaran setan antara upaya pemerintah untuk merampingkan pemerintah dan untuk menjaga pengeluaran untuk stabilitas pelestarian agar masih dibawah kontrol. Sebagai de facto instansi pemerintah, bagian akar rumput pemerintah yaitu menajemen sosial lembaga tingkat jalanan (RT/RW & Lurah) dan tingkat kota, banyak jumlahnya, biaya banyak dan tidak mudah dikelola. Tapi karena mereka makin disederhanakan, sehingga menjadi makin lebih sulit bagi mereka untuk menangani urusan sepele rakyat. ketika konflik menumpuk pemerintah berada dibawah tekanan intensif dan karenanya meningkatkan tenaga kerja dan pengeluaran untuk stabilitas pelestarian. Selain itu sebagai bagian akar rumput menerima lebih banyak pesanan dari atas, dan akibatnya menjadi lebih birokrasi, kesenjangan antara mereka dengan rakyatnya makin melebar dan frustasi meningkat.

Pengalaman Insiden Wuxi

Pengalaman Wuxi merupakan contoh yang baik tentang bagaimana komunitas alami (tradisional) dapat tercipta dalam rangka untuk melibatkan masyarakat untuk memecahkan masalah “sepele” dan juga menghubungkan kembali partai (PKT) dan rakyat serta meningkatkan stabilitas sosial. Sebuah desa yang terletak timur-laut kotamadya Chongqing, Wuxi telah lama dihantui oleh masalah petisi dan insiden massa, tapi dalam beberapa tahun terakhir telah berhasil  membangun kembali hubungan komunitas alami dan organ birokrasi melalui lingkungan dan komite desa, yang secara hukum dianggap sebagai “organisasi otonom dari masyarakat”. Dalam hal ini komite bertindak sebagai perantara antara komunitas alami dan lembaga tingkat jalanan dan tingkat kota untuk pengelolaan sosial, dengan kata lain tingkat terendah birokrasi.

Sifat organisasi masyarakat alami (tradisional) ini untuk membantu orang menangani masalah “sepele” mereka untuk menegakkan “keadilan” dalam kehidupan masyarakat. Mereka itu berbeda dengan organisasi kolosal “masyarakat adminstrasi”, karena orang-orang ini sudah kenal satu sama lain sehingga akan dapat membantu diri mereka sendiri dan mengatur diri mereka sendiri. Warga di masyarakat alami tahu apa kebutuhan nyata mereka, memahami esensi dari “keadilan”, dan dapat mencari solusi terbaik untuk membantu satu sama lain. Saling membantu secara timbal balik dan tidak berasal dari asumsi yang berdarah dingin dengan “ketamakan kepentingan individu”, melainkan dengan perawatan moralitas bersama, rasa hormat, dan dukungan dalam lingkungan individu.

Dalam komunitas alami (tradisional), pemimpinnya membangun prestise (kehormatan) mereka dengan sukarela melayani kepentingan masyarakat dan dengan mempertahankan “keadilan” dalam kehidupan masyarakat, bukan dengan bekerja untuk lembaga birokrasi atau dibayar pemerintah. Dengan cara demikian bagi warga-warga yang tidak berdaya dapat mengatur dan menyelesaikan masalah “sepele”, dan mempertahankan haknya. Mendukung komunitas alami merupakan cara untuk mendorong orang untuk mengambil kendali nasib mereka dan menghormati martabat mereka untuk masalah “otonomi”. Masalah pemeliharaan stabilitas atau pelestarian stabilitas tidak akan pernah terpecahkan kecuali kita mendorong dan membantu untuk mengatur diri mereka sendiri.

Pengalaman Wuxi (巫溪县) merupakan contoh dari versi baru “garis massa”( 群众路线) Maois yang menekankan pada “partisipasi” (参与 ) daripada pada “mencakup”( 覆盖 ). Ini telah mencapai empat keberhasilan: sudah lebih mudah bagi warga/rakyat untuk menangani masalah “sepele”, “gaya kerja ditingkat akar rumput telah diperbaiki, moralitas sosial telah dihidupkan kembali, partai dan pemerintah kembali mendapat kepercayaan publik. Semua ini telah membuat masalah “besar” lebih mudah diselesaikan juga. Singkat kata pengalaman Wuxi tidak hanya menghasilkan resep yang effektif untuk masalah stabilitas pelestarian, tetapi juga telah memberi inspirasi untuk meningkatkan sistim dasar negara yang berkelanjutan, serta perdamaian dan stabilitas untuk jangka panjang.

( Bersambung...... Makalah & Wawancara Pan Wei tentang demokrasi, meritokrasi yang dikemukakann di London)



Referensi & catatan kaki :

-*1 Allan Bloom atau Allan David Bloom lahir 14 Sept 1930, di Indianapolis,Idiana, AS, meninggal 7 Okt 1992, di Chicago, Illiona. AS. Seorang filsuf dan penulis AS terbaik. Para inteltual menganggap sebagai orang yang telah keluar ke panggung pentas yang gelap dan masuk dalam sorotan cahaya yang terang dan besar.

Bukunya “The Closing of the American Mind : How Higher Education Has Failed Democrocy and Improverished the Souls of Today’s Students” (1987) telah menjadi best-seller yang isinya “provokatif”, yang telah disalah pahami selama 25 tahun setelah perang kebudayaan pada tahun 1980-an.

Terkenal juga dengan volume ilmiahnya dengan esai interpretif dan terjemahan karya Jean-Jacques Rouseau dan Plato.

Menerima gelar PhD 1955 dari Universitas Chicago, dibawah pengawasan/bimbingan filsuf politik kelahiran Jerman Leo Strauss, seorang pemuja klasik Barat dan pendukung prinsip filosofis “Kebenaran Transskultural/Transcultural Truth”.

Terbitannya sangat disambut baik oleh kalagan intelektual, seperti Shakespear’s Politics, terjemahan untuk Plato’s Republic (1968).

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/69980/Allan-Bloom

-*2.Charles Taylor atau Charles Margrave Taylor lahir 5 Nop 1931, seorang filsuf Montreal Kanada, terkenal karena kontribusinya dalam filsafat politik, ilmu sosial, sejarahdan sejarah intelektual. Karya tulisnya mendapat Hadiah bergengsi Kyoto (Kyoto Prize) dan Hadiah Templeton (Templeton Prize).

Taylor seorang komunitarian, berpandangan bahwa suatu kesalahan untuk percaya bahwa budaya keaslian hanya “cermin untuk memanjakan diri”, sebaliknya ia menginginkan kita melihat adanya moral ideal dibalik ide keaslian. Moral ideal menyediakan standar yang menunjukkan bagaimana mereka harus berjuang untuk mewujudkannya. Jika kita mengabaikan moral aspek moral keaslian, maka kita tidak dapat berdebat untuk atau terhadap moral ideal tertentu, karena konsep keaslian akan tergelincir menjadi semacam relativisme.

http://www.cram.com/flashcards/key-concepts-of-charles-taylors-philosophy-459399

http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Taylor_(philosopher)

-http://www.thebeijingcenter.org/programs/semester-abroad/academics/faculty/political-science/

-http://www.thebeijingcenter.org/people/pan-wei/

-http://www.thebeijingcenter.org/people/shang-ying/

-China 3.0 Mark Leonard

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun