Pertama, beberapa mineral yang dibutuhkan untuk mengembangkan industri "net-zero" tersedia dalam jumlah terbatas, dan beberapa lainnya sulit untuk ditambang meskipun permintaannya tinggi.
Menurut Badan Energi Internasional, total permintaan mineral yang digunakan untuk memproduksi teknologi rendah karbon diperkirakan meningkat empat kali lipat pada tahun 2040/1, dengan asumsi tujuan Perjanjian Paris tercapai.
Ambil contoh lithium, permintaan lithium diperkirakan akan meningkat empat kali lipat antara tahun 2025 dan 2032/5, dan para ilmuwan masih terpecah mengenai apakah cadangan yang ada cukup untuk memenuhi permintaan baterai yang terus meningkat.
Kesulitan besar pertama timbul dari tingginya konsentrasi pasokan bijih di tangan sejumlah kecil produsen. Pada tahun 2023, 91% litium diproduksi hanya oleh tiga negara (Australia, Chili, dan Tiongkok), dan pada tahun 2020, lebih dari 52% produksi kobalt berasal dari Republik Demokratik Kongo. Ketergantungan Eropa pada gas Rusia adalah contoh bagus mengenai sejauh mana ketergantungan pada satu mitra membuat negara-negara pengimpor sangat rentan terhadap perubahan harga komoditas. Baca:
Kisah Upaya BYD dan Tiongkok dalam Mendapatkan Litium untuk Baterai
Baterai EV Lithium-ion Kemungkinan Besar Akan Digantikan Baterai EV Natrium-ion
Selain itu, tambang baru dapat ditambang selama 20 tahun, sehingga menambah kendala pasokan. Terakhir, hambatan lingkungan (kekhawatiran terhadap rusaknya keanekaragaman hayati) juga mempengaruhi pasokan mineral ini.
Konsentrasi pasokan dan keterbatasan teknologi pertambangan membuat pasokan menjadi sangat inelastis. Kombinasi rendahnya pasokan dan tingginya permintaan menciptakan inflasi di pasar-pasar ini. Harga lithium telah meningkat enam kali lipat sejak 2009.
Sebelum pandemi dan krisis energi pasca perang Rusia di Ukraina, harga litium telah meningkat sebesar 43% sejak tahun 2009. Evolusi harga tembaga juga mencerminkan kemungkinan ketegangan pada logam ini yang penting bagi transisi energi.