Pada masa kampanye pilpres yang yang lalu, kita pernah telah diramaikan dengan isu Indonesia Bubar 2030 oleh salah satu kontestan pilpres, yang mengutip sebuah karya fiksi ilmiah novel fiksi Ghost Fleet: a Novel of The Next World War, karya pengamat militer, Peter W. Singer dan August Cole sebagai dasar "ramalannya". (www.liputan6.com 23/03/2018).
Namun terjadi sanggahan-sanggahan dari para ahli dalam negeri kita sendiri, dengan berdasarkan keadaan obeyektif yang mendukung sanggahan ini. Jadi memang perlu bagi kita untuk tidak mempercayai teori-teori dari pakar maupun think-tank Barat tentang keruntuhan Indonesia, yang kebanyakan adalah provokatif untuk menakut-nakuti kita, bahkan bertujuan untuk memberi opini untuk memecah belah bangsa dan negara NKRI.
Pandangan Barat tentang teori bubarnya RRT (Tiomgkok) yang dilontarkan oleh ahli-ahli Barat telah berulang kali terjadi, bahkan hingga sekarang pun masih berlangsung. Dalam tulisan ini akan dikemukakan teori dan pandangan Barat tentang kemungkinan akan bubarnya RRT (Tiomgkok) menurut kaca mata mereka dan kenyataan sejarah yang dapat kita lihat bersama sekarang.
Barat telah mengepung Tiongkok dengan sangat hebat dalam beberapa dekade terakhir. Mereka telah berulang kali meramalkan bahwa "Tiongkok akan runtuh."
Bahkan ketika pada tahun 2012 saat akan diadakan Kongres Nasional Tiongkok ke-18, mereka masih mempertanyakan apakah Tiongkok masih bisa mengadakan Kongres Nasional ke-19, sedangkan Kongres Tiongkok ke-18 saat itu pun masih juga belum diselenggarakan.
Memang selama ini pandangan umum baik pakar politik Barat dari arus utama, media profesional, think-tank pemandu ideologi mereka, panduan mereka adalah "The End of History and The Last Man (Kesimpulan Sejarah)" dan "Eurocetrism (Eropa/Barat Sentris)". Jika sistem dan praktek negara lain atau Tiongkok berbeda dengan sistem dan praktek Barat, maka negara tersebut atau Tiongkok bakal menurun dan runtuh.
Jadi jika melihat kembali alasan mengapa AS begitu gusar dan marah kepada Tiongkok hari ini, berapa analis dan pengamat melihat karena sebagian besar "Revolusi Warna (Colour Revolution)" yang mereka provokasikan untuk melawan Tiongkok yang tadinya terlihat nyaris berhasil, namun gagal.
Revolusi Warna, juga dikenal sebagai Revolusi Bunga, mengacu pada serangkaian perubahan rezim yang terjadi di negara-negara CIS (Commonwealth of Independent States dibentuk pada bulan Desember 1991 oleh sebelas negara dari bekas Uni Soviet: Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan, Kirghizstan, Moldavia, Uzbekistan, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina. di Asia Tengah dan Eropa Timur pada 1980-an dan 1990-an), dinamai menurut warna dan dilakukan dengan cara "damai dan tanpa kekerasan". Gerakan, dan setelah berhasilnya gerakan-gerakan tersebut di beberapa negara, mereka juga cenderung disebarkan Barat (terutama AS) ke berbagai tempat antara lain Asia Timur, Timur Tengah, Afrika Utara, serta Amerika Tengah dan Selatan, ini salah satu faktor yang memicu terjadinya Arab Spring. Peserta bertujuan untuk mendukung demokrasi liberal dan nilai-nilai universal, dan biasanya merupakan penentang rezim yang ada. Mereka biasanya menggunakan warna atau bunga khusus sebagai logo mereka.
Di luar dugaan, justru semenjak Kongres Nasional Tiongkok ke-18, momentum pembangunan Tiongkok menjadi semakin baik dan kuat, dan melangkah menuju pusat arena ekonomi dan politik dunia. Oleh karena itu, sebagian besar politisi, think-tank, dan media Barat belum siap secara psikologis untuk menerima kenyataan semacam ini.
Karena itu terjadilah seperti AS saat ini yang kewalahan, merasa tertinggal dan mundur, bingun, mengambil tindakan-tindakan "aneh-aneh" dengan menjatuhkan sanksi terhadap Huawei, Â menutup Institut Kongfusius, mencabut otensitas para sarjana Tiongkok untuk sementara waktu, mengklaim bahwa AS dan Tiongkok bersaing antara ras yang berbeda, menuntut pemisahan ekonomi. Namun fakta tak terbantahkan "Teori Keruntuhan Tiongkok" telah gugur.
Jadi jika kita mengkilas balik pada suatu periode waktu lalu, "Teori Keruntuhan Tiongkok" di Barat selama 30 tahun terakhir ini. Ada analis dan pengamat yang secara kasar membaginya menjadi 4 gelombang.
Gelombang pertama terjadi dari akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Barat pertama kali meramalkan "Tiongkok Runtuh" setelah kekacauan di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989.
Sekitar tahun 1991, Uni Soviet hancur dan Eropa Timur runtuh, dan mereka memprediksikan bahwa Tiongkok akan mengikuti Uni Soviet dan hancur berantakan.
Maka teori yang paling berpengaruh selama periode ini seharusnya adalah "The End of History " yang dikemukakan oleh sarjana AS keturunan Jepang, Francis Fukuyama.
Pada tahun 1989, dia menerbitkan artikel "The End of History " Di majalah "National Interest" AS. Tiga tahun kemudian, berdasarkan artikel ini diterbitkan bukunya yang berjudul "The End of History and the Last Man." Diyakini bahwa masyarakat manusia telah berkembang ke dalam sistem demokrasi liberal Barat dan sejarah ideologi manusia telah berakhir.
Tiga tahun setelahnya , kebetulan terjadi keruntuhan Uni Soviet dan Eropa Timur, dan berakhirnya Perang Dingin AS-Soviet, hal ini seakan menegaskan teori Fukuyama dan membuatnya terkenal.
Pandangannya diterima secara luas, dan memberikan narasi makro. Artinya, sistem politik apa pun yang berbeda dari Barat tidak memiliki masa depan. Banyak artikel dan buku yang meramalkan keruntuhan Tiongkok berulang kali dengan mengutip pandangannya.
Namun dalam perkembangan sejarah berikutnya, terutama dengan kebangkitan Tiongkok yang pesat, kegagalan berulang dari "revolusi warna" dan kemunduran model Barat itu sendiri, membuat "The End of History And The Last Man" Fukuyama semakin menjadi lelucon internasional.
Gelombang kedua adalah dari pertengahan 1990-an hingga sekitar 2001. Sejak sekitar pertengahan 1994, Barat memperhatikan bahwa Deng Xiaoping tidak lagi muncul di depan umum, dan kemudian mulai meramalkan bahwa setelah Deng Xiaoping, Tiongkok mungkin akan terjadi "pertempuran internal dan kekacauan".
Mereka juga memprediksikan bahwa setelah Hong Kong diserahkan kembali kepada Tiongkok tahun 1997, kemakmuran Hong Kong akan hilang selamanya.
Mereka meramalkan bahwa masuknya Tiongkok ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001 akan menyebabkan keruntuhan Tiongkok, dan kemudian krisis keuangan Asia tahun 1997 meletus selama periode ini.
Risiko hard landing dalam ekonomi Tiongkok telah meningkat, dan George Soros mengambil kesempatan untuk menekan dolar Hong Kong. Oleh karena itu, menurut penilaian mereka bahwa "ekonomi Tiongkok akan runtuh" akan berkecamuk kekacauam untuk sementara waktu.
Selama periode waktu itu, yang paling berpengaruh adalah sebuah teori yang ditulis dalam buku "The Coming Collpase of China" yang ditulis oleh orang Amerika keturunan Tiongkok Gordon G. Chang (Zhang Jiadun) pada tahun 2001.
Sebagai penulis "The Coming Collapse of China" sejak 2001 Gordon G. Chang berulang kali mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok pada akhirnya akan runtuh.
Chang mengatakan bahwa Tiongkok adalah "new dot-com bubble", menambahkan bahwa pertumbuhan pesat Tiongkok tidak didukung oleh berbagai faktor internal seperti penurunan pertumbuhan penduduk serta perlambatan penjualan retail.
Dalam wawancara terpisah, dia mengatakan bahwa Tiongkok mencapai 149,2% dari surplus perdagangan saat itu dengan AS itu melalui "berbohong, menipu, dan mencuri" dan jika Tiongkok memutuskan untuk menyadari ancamannya yang telah diungkapkan sejak Agustus 2007 untuk menjual US Treasuries, justru akan merugikan ekonominya sendiri yang mengandalkan ekspor ke AS, Â ekonomi AS akan dirugikan oleh penjualan Treasuries, menyebabkan AS membeli lebih sedikit dari Tiongkok, yang pada gilirannya akan merugikan ekonomi Tiongkok.
Buku itu ada dalam daftar buku terlaris tahunan "New York Times" tahun itu. Gordon G. Chang menegaskan bahwa "Sistem ekonomi Tiongkok saat itu hanya dapat bertahan paling lama lima tahun." Dia memperkirakan bahwa "Tiongkok akan mulai runtuh sebelum Olimpiade Beijing 2008."
Buku itu diterbitkan lagi pada tahun 2002 dalam versi bahasa Mandarin (Taiwan), dan dan Lee Teng-hui (mantan pemimpin otoritas Taiwan) secara pribadi menulis kata-kata yang direkomendasikan untuk itu. Tentu saja, alih-alih Tiongkok runtuh, justru model Barat sendiri yang menghadapi tantangan yang semakin meningkat dan berat.
Seorang pakar Tiongkok Zhang Weiwei pada bulan Desember 1994 menerbitkan sebuah artikel untuk pertama kalinya dalam edisi internasional di "New York Times" yang mengemukakan setelah 100 tahun Deng Xiaoping, pemikiran dan kebiajakannya akan terus berlanjut. Sejak itu dia menjadi garda terdepan dalam perdebatan dalam banyak perdebatan perselisihan pendapat dalam forum internasional tentang wacana konflik Tiongkok dan Barat.
Dari tahun 1996 hingga 2000, Zhang Weiwei menerbitkan dua buku dalam bahasa Inggris "Ideologi dan Reformasi Ekonomi di Zaman Deng Xiaoping", dan yang lainnya adalah "Reformasi Ekonomi Tiongkok dan Pengaruh Politiknya".
Karya Zhang memiliki dampak tertentu di kalangan akademisi Barat. Intinya adalah bahwa Tiongkok telah mengeksplorasi model pembangunannya sendiri. Meskipun menghadapi banyak tantangan, Tiongkok tidak akan runtuh dan bahkan akan naik ke level berikutnya.
Kemudian, Barat dengan kerja sama dari oknum pejabat publik Tiongkok, Gordon G. Chang, yang mencoba menggunakan revolusi internet untuk memperkenalkan "revolusi warna" ke Tiongkok dan terus meniupkan tentang "teori keruntuhan Tiongkok" dengan penasaran.
Di penghujung tahun 2011, Gordon G. Chang menuliskan dalam "China is about to collapse (2012 edition)", "Prediksi terakhir bahwa Partai Komunis Tiongkok akan runtuh pada tahun 2011 tidak terwujud, tetapi prediksi saya pada dasarnya adalah kesalahan satu tahun, dan Tiongkok pasti akan runtuh pada tahun 2012." Tentu saja, Gordon G. Chang telah menjadi bahan tertawaan internasional.
Pada tahun 2006, Zhang Weiwei telah mengunjungi 106 negara dan wilayah, termasuk lebih dari 70 negara berkembang dan semua negara Barat kecuali Islandia. Kemudian Zhang dapat melihat melalui perbandingan internasional yang luas. Ketika dia mempelajari model Barat, terutama "model Amerika", dia mulai lebih banyak menulis dalam bahasa Mandarin tentang banyak masalah Tiongkok sendiri, termasuk "Trilogi Berpikir Tiongkok" . Dia membuat banyak perbandingan antara metode Tiongkok dan Barat.
Pada November 2006, Zhang Weiwei menerbitkan sebuah artikel dalam Edisi Internasional di "New York Times" berjudul "Pesona Model Tiongkok." Dia dengan jelas menyatakan bahwa AS mengekspor model demokrasi dan model ekonomi neoliberal ke dunia, tapi apa hasilnya bagi dunia non-Barat, ternyata membawa banyak bencana.
Zhang Weiwei membuat prediksi yang sepertinya sekarang terlihat relatif maju. Dia mengatakan "Model Amerika diperkirakan kalah bersaing dengan model Tiongkok di pentas internasional." Dia menulis ini dan menerbitkannya pada tahun 2006.
Saat itu, media arus utama di AS masih berani mempublikasikan artikel seperti milik Zhang Weiwei, sekarang mungkin tidak berani.
Gelombang perdebatan "Keruntuhan Tiongkok" masih terus di apreasiasi Fukuyama. Pada tahun 2011 dalam pedebatan antara Fukuyama dan Zhang Weiwei tentang "Model Tiongkok" , Fukuyama masih yakin di Tiongkok masih akan terjadi "Musim Semi Arab", namun Zhang meyakini tidak akan terjadi.
Saat itu Zhang Weiwei memprediksi bahwa "Musim Semi Arab" akan menjadi "Musim Dingin Arab". Ketika dia memperdebatkan sistem politik Amerika, dia juga membuat prediksi dengan mengatakan bahwa sistem politik Amerika adalah produk dari pra-revolusi industri. AS akan memilih presiden yang lebih buruk dari Bush Jr. di masa depan.
Zhang juga menunjukkan bahwa sistem politik di Barat saat ini mungkin hanya sekejap semarak dalam sejarah umat manusia.
Kemudian Zhang menerbitkan buku lagi dengan judul "China Shock: The Rise of a Civilized Country", dan menjadi best seller, sudah sepuluh tahun telah berlalu, dan dia mengatakan: saya melihat kembali buku ini dan semua poin yang dikemukakan telah berdiri kokoh, tanpa harus  mengubah satu kata pun.
Dalam delapan atau sembilan tahun setelah "Musim Semi Arab" pada tahun 2011, beberapa orang di Barat masih sering meramalkan bahwa "Keruntuhan Tiongkok" dan menjadi santapan yang muncul dari waktu ke waktu. Yang lebih terkenal, seperti tulisan yang diterbitkan pakar tentang Tiongkok David Shambaugh (Shen Dawei) di "Wall Street Journal" pada tahun 2015 dengan judul "Keruntuhan Tiongkok Sudah Dekat" dia percaya bahwa "kekuasaan Partai Komunis di Tiongkok telah mulai memasuki masa akhir."
David Shambaugh (Shen Dawei) saat ini adalah Profesor Gaston Sigur untuk Studi Asia, Ilmu Politik & Urusan Internasional, dan Direktur Pendiri Program Kebijakan Tiongkok di Lembaga Urusan Internasional Elliott di Universitas George Washington. Dia juga mantan Rekan Senior Non-Residen di Luar Negeri Program Studi Kebijakan di The Brookings Institution dan Direktur Program Asia di Woodrow Wilson International Center for Scholars. Dia juga bekerja di Departemen Luar Negeri dan Dewan Keamanan Nasional AS. Dia pernah menjabat di Dewan Direktur Komite Nasional AS-China Relations dan merupakan anggota seumur hidup Council on Foreign Relations, US Asia-Pacific Council, dan kebijakan publik serta organisasi ilmiah lainnya. Sebelum bergabung dengan fakultas GW, Profesor Shambaugh adalah Dosen, Dosen Senior, dan Peneliti dalam Politik Tiongkok di Universitas dari London's School of Oriental & African Studies (SOAS) dari 1986-1996, di mana dia juga menjabat sebagai Editor The China Quarterly.
Namun, meskipun artikel-artikel ini diterbitkan secara luas, namun tidak menimbulkan gelombang besar di arena internasional, dengan kata lain, bahkan di Barat, banyak orang yang sepenuhnya meremehkan pandangan ini.
Di penghujung tahun 2018, "New York Times" menerbitkan artikel panjang dengan tajuk "Tiongkok: Negara yang Harus Runtuh Tapi Tidak Runtuh." Artinya, Tiongkok harus runtuh menurut logika politik Barat.
Tapi sejauh ini Tiongkok belum runtuh, jadi artilkel ini sendiri mengungkapkan kekecewaan ekstrim dan ketidak berdayaan Barat.
Belakangan ini dengan merebahnya pandeni Covid-19, maka memicu gelobang baru ke empat dari "Teori Keruntuhan Tiongkok."
Jika kita lihat ke belakang, sekilas "Teori Keruntuhan Tiongkok". Teori itu berkecamuk untuk sementara waktu, tetapi dengan cepat menghilang.
Bisa dikatakan bahwa mulai akhir Januari 2020, termasuk sepanjang Februari, media arus utama Barat telah dibanjiri dengan analisis, komentar, dan pemberitaan yang negatif dan pesimis tentang Tiongkok. Tema dasarnya adalah "Momen Chernobyl" di Tiongkok.
Chernobyl adalah pembangkit nuklir era akhir Uni Soviet yang meledak pada 26 April 1986 yang menyebabkan pencemaran radio aktif hebat. Tidak lama kemudian Uni Soviet runtuh (1991).
Sebagian oknum pejabat publik di Tiongkok sendiri juga mengambil kesempatan untuk membuat gelombang. Melihat ke belakang hari ini, mereka benar-benar dikaburkan  dengan apa yang disebut "demokrasi" di Barat. Sedangkan mereka (Barat) dalam menghadapi pandemi Covid-19 mereka satu per satu telah dikalahkan.
Namun, ada seorang staf media senior Stan Grant di Australia merespons paling cepat 27 Februari. Media Barat bersorak pandemi yang terjadi di Wuhan Tiongkok ini dan menyatakan sebagai "momen Chernobyl Tiongkok" dan menyatakan keprihatinan. Penulis ini menuliskan bahwa "Tiongkok telah berulang kali membuktikan bahwa orang-orang yang menjelekkannya seringkali salah. Krisis ini akan lama sekali. Ini belum berakhir, tetapi Tiongkok tampaknya telah mengendalikan penyebaran pandemi dalam arti tertentu, dan jumlah kasus telah stabil. Akhirnya, Beijing mungkin memberi tahu Anda apa rahasia kesuksesan Tiongkok. "
Tetapi sebaliknya justru pandemi yang melanda Barat dan AS yang akan menjadi "Memen Chernobyl" bagi Barat dan AS.
Ternyata sekarang terbukti ketika pandemi melanda, dan perbandingan dalam merespons dari dua sistem berlangsung setiap hari. Model Tiongkok jelas mengungguli model Barat, dan mitos AS telah berakhir.
Belum lama ini, pada 14 Oktober 2020, kolumnis "The New York Times" Thomas Freeman menulis sebuah artikel yang mengakui bahwa "Covid-19 gagal menjadi 'Chernobyl' Tiongkok tetapi justru menjadi 'Waterloo' Barat." (Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo pada taun1815, kekalahan terakhir Napoleon yang mengakhiri 23 tahun peperangan berulang kali antara Prancis dan kekuatan Eropa lainnya).
Melihat empat gelombang "Teori Keruntuhan Tiongkok", kita dapat melihat dengan kebangkitan Tiongkok, teori ini telah timbul dan terdengar, satu demi satu, tetapi durasi setiap gelombang tampaknya semakin lama semakin pendek, dan mereka yang percaya semakin lama semakin sedikit.
Pada tahap awal, "Teori Keruntuhan Tiongkok" bisa dikatakan menjadi arus utama di kalangan media dan akademis Barat, bisa berlangsung selama beberapa tahun, lalu menjadi semakin pendek dan semakin terpinggirkan. Sekarang dapat dikatakan bahwa telah benar-benar runtuh.
Tentu saja, pandangan seperti ini akan tetap muncul dari waktu ke waktu, dan tampaknya masih berlaku banyak untuk kekuatan "pro-kemerdekaan Hong Kong" dan "pro-kemerdekaan Taiwan". Oleh karena itu, jika kita membaca komentar media Green Camp Taiwan hari ini, kita masih bisa melihat banyak berita-berita negatif tentang Tiongkok daratan.
Mengapa "Teori Keruntuhan Tiongkok" di Barat selama 30 tahun terakhir bisa merajalela untuk sementara waktu. Menurut analis ada tiga alasan utama:
Salah satunya adalah prasangka ideologi Barat; Yang kedua adalah prasangka ilmu sosial Barat; Ketiga adalah prasangka budaya Barat. Atau lebih tepatnya, itu adalah campuran atau kombinasi dari ketiga prasangka ini yang  disebut "New Ignorance atau Ketidak Perdulian Baru ('neo-bodohisme' masa bodohisme)".
Pada tahun 2012, Deron Asimoglu, seorang ekonom di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan James Robinson, seorang ilmuwan politik di Universitas Harvard, menerbitkan sebuah buku berjudul "Why Nations Failed". Mereka percaya bahwa beberapa negara gagal karena sistem mereka ekstraktif, dan beberapa negara berhasil karena sistem mereka inklusif. Mereka percaya bahwa sistem negara-negara Barat bersifat inklusif, sehingga mereka berhasil.
Dia mengemukakan, beberapa negara ekstraktif memang mengalami pertumbuhan ekonomi karena "pengejaran teknologi", seperti yang dicatat oleh Acemoglu dan Robinson dalam buku tersebut. Uni Soviet memiliki tingkat pertumbuhan yang luar biasa - 6 persen setiap tahun - antara tahun 1928 dan 1960, saat mereka berubah dari ekonomi pertanian menjadi ekonomi industri. Tetapi negara itu tidak punya cara untuk mendorong inovasi teknologi lebih lanjut, dan mulai runtuh pada 1980-an.
Negara-negara lain dalam sejarah dunia telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, dan kemudian runtuh. Acemoglu dan Robinson percaya bahwa republik Romawi kuno tumbuh sebagian besar dengan memperluas hak kepada warga negara dan mengembangkan sistem politik yang sebagian inklusif, tetapi ketika Roma menjadi kerajaan otokratis sekitar 30 SM, nasib ekonominya ditentukan. Proses yang sama terjadi di Venesia, pusat kekuatan perdagangan Eropa modern awal di mana kelas elit menghentikan inovasi dalam upaya untuk mempertahankan keuntungan bagi dirinya sendiri.
"Institusi politik sangat konfliktual," kata Acemoglu. "Mereka selalu tertantang. Tidak ada jaminan tidak akan ada langkah mundur, seperti di Roma atau Venesia. Saya pikir sangat penting untuk menyadarinya, karena itu mencegah rasa puas diri. "
Pelajaran lainnya adalah bahwa kemakmuran bergantung pada hak yang diberikan di seluruh masyarakat, tidak hanya untuk sekelompok orang tertentu. "Hak milik sangat penting, tetapi dalam konteks di mana setiap orang memiliki akses ke sana," kata Acemoglu. "Anda tidak boleh berada dalam situasi di mana hanya pemilik budak atau pemilik perkebunan yang memiliki hak properti. Itu tidak cukup."
Sistem negara di bawah kepemimpinan Partai Komunis adalah sistem "ekstraktif", negara seperti itu tidak dapat berhasil. Sekalipun tampaknya sukses dalam jangka pendek namun itu bukanlah kesuksesan sejati, itu pasti hanya jangka pendek, dan pasti akan gagal di masa depan.
Mereka juga menyimpulkan bahwa "Tiongkok di bawah kepemimpinan Partai Komunis adalah contoh pertumbuhan masyarakat di bawah sistem 'ekstraktif'. Kecuali reformasi politik yang menyeluruh diubah menjadi sistem politik yang inklusif, pertumbuhan Tiongkok tidak akan berkelanjutan dan tidak akan bertahan lama." .
Justru dengan sepanjang logika semacam ini, ketika berbicara tentang sistem politik Tiongkok. Barat akan selalu mengajukan beberapa pertanyaan: "Mengapa Tiongkok hanya melakukan reformasi ekonomi dan tidak melakukan reformasi politik? Bagaimana Tiongkok bisa berhasil tanpa reformasi politik? Kapan Tiongkok akan melepaskan sistem  satu partai"  dan seterusnya.
Namun tampaknya pakar ini hanya menganalisa mulai dari "The End of History And Ther Last Man" dan "Eurosentrisme". Mereka tidak perlu melakukan penelitian empiris atau memahami tradisi budaya dan sejarah negara yang berbeda. Selama pendekatan negara berbeda dengan tatanan kelembagaan mereka (Barat), maka dicap terbelakang, reaksioner, dan akan runtuh.
Mentalitas ini telah menyebabkan sistem di Barat menjadi semakin kaku. Banyak elit politik dan intelektual di Barat tidak ingin membuat kemajuan atau reformasi. Hasilnya hanya bisa menjadi fenomena "angsa hitam" satu demi satu, dan orang-orang semakin kecewa. Dalam pencegahan dan pengendalian pandemi belakangan ini, situasi seperti itu berlimpah. Dengan segala hormat, peradaban Barat memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri.
Kekurangan terbesar adalah kecenderungan mendominasi untuk dirinya sendiri. Banyak orang Barat yang benar-benar berpikir bahwa sejarah manusia akan berakhir dengan model Barat. Barat akan benar-benar mendominasi masa depan dunia. Namun apakah memang benar  perkembangan sejarah dunia akan berakhir dengan model politik Barat?
Namun berdasarkan penelitian pakar yang telah mengunjungi ratusan negara di dunia, mereka berkesimpulan negara-negara non-Barat yang meniru model Barat,hampir semuanya gagal. Tapi masih banyak negara yang masih belum menyadari atau terbodohi untuk meniru politik Barat.
Eksplorasi dan pemahaman masyarakat manusia dalam berpolitik masih jauh dari selesai dan akhir, dan Barat masih harus menempuh jalan panjang untuk reformasi politiknya sendiri.
Dunia Barat saat ini telah mengalami krisis demi krisis, termasuk krisis politik yang mendalam. Dari sini, perlu dipikirkan untuk pencerahan dalam sejarah Eropa. Pencerahan menggantikan "neo-bodohisme" (masa bodohisme) dan absolutisme dengan rasionalisme. Secara umum, memang kemajuan sejarah berkat adanya revolusi industri di Barat.
Tapi juga membawa banyak masalah, namun seiring berjalannya waktu, Barat mendorong model politik dan ekonominya sendiri dan wacana ke kemutlakan, membentuk semacam  "neo-bodohisme" kepada dunia.
Dengan segala kekuatan dan gencarnya menjual ke dunia non-Barat, maka tidak mengherankan jika kegagalan ini secara alami bisa diperkirakan.
Kebangkitan Tiongkok telah menyentuh banyak saraf sensitif di dunia, dan telah melampaui kemampuan interpretatif wacana politik Barat di Barat. Tiongkok memainkan peran penting dalam perubahan besar ini. Rakyat Tiongkok, terutama para intelektualnya, tidak dapat lagi mengambil wacana Barat sebagai ajaran satu-satunya, tidak lagi percaya ajaran dengan wacana yang dilontarkan oleh filsuf dan cendikiawan terkenal Barat, dan secara membabi buta menelannya.
Mereka tampaknya berpkir secara mandiri dalam semangat mencari kebenaran dari fakta, dalam semangat hati nurani, pengetahuan dan patriotisme mereka sendiri, sambil menyerap kearifan Barat, menolak "neo-bodohisme" dan absolutisme Barat, dan mengeksplorasi dan membangun wacana Tiongkok di era "wacana pasca-Barat". Sistem tersebut membuat kontribusi unik orang-orang Tiongkok terhadap kemajuan manusia.
"Teori Penyakit Tiongkok" Persepsi Barat Untuk Tiongkok
Negara-negara Barat (Eropa) memiliki perbedaannya sendiri, kecuali "Teori Keruntuhan Tiongkok" yang telah dilontarkan secara bergelombang berulang kali, ada juga yang disebut dengan "Teori Penyakit Tiongkok" istilah yang dikemukakan cendikiawan Tiongkok.
Argumen ini memiliki efek yang sama dengan "Teori Kerutuhan Tiongkok", yang menggambarkan pada penggambaran fenomena tertentu di Tiongkok sebagai "kelemahan fatal sistem politik Tiongkok."
Misalnya pemberitaan "penganiayaan para pembakang di Tiongkok"; "Teori Kehanuran Lingkungan di Tiongkok"; Teori Masalah Tibet di Tiongkok" ; " Tiongkok Menciptakan Teori Inferior" dan terakhir ini "Teori Genosida dan Kamp Konsentrasi di Xinjiang (Uirgur)" ; "Teori Pandemi Covid-19". Dan Barat terus meneriakkan terus menerus model Tiongkok tidak akan berumur panjang.
Argumen ini muncul terkait erat dengan cara pengakuan (kognisi) negara-negara Barat tentang Tiongkok yang secara umum serupa, esensinya sama hanya bentuknya yang berbeda.
Meskipun di Eropa mereka tidak mengemukan "Teori Keruntuhan Tiongkok" dan mereka dapat menerima kebangkitan Tiongkok dalam damai, tetapi mereka tetap tidak menerima kenyataan ini.
Sebaliknya, mereka menciptakan apa yang disebut "Teori penyakit Tiongkok" dalam hak asasi manusia, dalam sistem politik, perlindungan lingkungan, Tibet dan Islam, Hong Kong, Taiwan, Laut Tiongkok Selatan, dll. Banyak bidang telah diklaim bahwa Tiongkok "sakit", dan bahkan menjadi "langsung buta". Adapun resepnya, satu-satunya adalah demokratisasi dan menggelar pemilu ala Barat.
Namun jika mau jujur harus dikatakan bahwa resep ini telah terbukti sepenuhnya tidak efektif setelah Covid-19 menyerang.
Tidak hanya AS yang telah membuat catatan kaki untuk diagnosis selama ini, tetapi beberapa "demokrasi" lain di mata seluruh Barat (AS), yang memiliki populasi hampir sama dengan Tiongkok, juga membuat catatan kaki untuk diagnosis kita bersama. "Teori Keruntuhan Tiongkok" telah runtuh.
Tetapi "Teori Penyakit Tiongkok" terus berlanjut, tapi tampaknya inipun tidak akan bertahan lama. Dan kita bisa menyaksikan hari ini denga mata kepala kita sendiri. Maka perlu bagi kita untuk merenung dengan akal sehat.
Mengapa "Teori Keruntuhan Tiongkok" dan "Teori Penyakit Tiongkok" bisa bergantian muncul di Barat?
Ada analis yang berpikir ini disebabkan adanya tiga kekuatan utama di Barat.
Kekuatan besar pertama, adalah kelas penguasa di Barat, modal industrinya, modal finansialnya, dan kekuatan modalnya. Bahkan, sebenarnya mereka sangat mengenal Tiongkok.
Mereka tahu bahwa kebangkitan Tiongkok sangat mengerikan, dan sangat mengerikan bagi mereka. Mereka sangat berharap Tiongkok akan berubah dan Tiongkok akan menjadi demokrasi elektoral (Barat) sehingga dapat mereka kendalikan.
Tetapi upaya mereka gagal, dan mereka memiliki ide yang bagus, jadi mereka mengajukan "Teori Ancaman Tiongkok" dan mengusulkan "Teori Ancaman Tiongkok" untuk membangun sebanyak mungkin musuh Tiongkok dengan "Teori Keruntuhan Tiongkok" dan oleh karena itu, "Teori Ancaman Tiongkok" ini adalah persyaratan taktis, dan "Teori Keruntuhan Tiongkok" adalah persyaratan strategis.
Yang kedua, sekelompok "Sinologis" di Barat. Mereka harus mengatakan bahwa mereka tampaknya mengerti tetapi ebenarnya tidak mengerti. Alasannya adalah mereka tidak dapat benar-benar memahami sistem politik Tiongkok. Mereka memiliki sejarah dan kondisi nasionalnya dan latar belakangnya sendiri mereka tidak mengerti ini.
Hal yang paling menyedihkan adalah mengapa banyak orang di Barat percaya pada "Teori Keruntuhan Tiongkok" terutama karena media Barat telah memusatkan perhatian pada sisi negatif Tiongkok selama bertahun-tahun, hanya melaporkan berita negatif tentang Tiongkok, dan melihat berita negatif Tiongkok setiap hari sehingga terbentuk persepsi negatif tentang Tiongkok.
Mereka banyak belum tahu keadaan telah berubah, Tiongkok dari negara yang sangat miskin menjadi negara perdagangan terbesar kedua di dunia, tetapi dalam pikiran mereka Tiongkok sebenarnya adalah negara yang akan runtuh besok. Ini adalah hasil dari liputan media negatif jangka panjang mereka tentang Tiongkok.
Sumber: Media Tulisan dan TV Luar Negeri dan Dalam Negeri
https://www.pakistantoday.com.pk/2019/02/02/chinas-rise-to-power/ Â
https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/3406228/cek-fakta-ramalan-indonesia-bubar-2030
https://www.aljazeera.com/opinions/2020/12/19/how-huntington-and-fukuyama-got-the-21st-century-wrong
https://www.nytimes.com/2006/11/01/opinion/01iht-edafrica.3357752.html
https://cn.nytimes.com/china/20150615/c15zhangweiwei/en-us/
https://www.fmprc.gov.cn/ce/cgsf/chn/zlghd/t1249496.htm
https://thediplomat.com/2020/03/is-covid-19-chinas-chernobyl-moment/
https://news.mit.edu/2012/why-nations-fail-0323
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H