Dari perspektif ini, Charles de Gaulle sudah cukup untuk menampilkan Prancis serius. Tetapi jika dilihat serangan teroris Paris kali ini, rangkaian serangan terkait dengan lima seri tembakan senapan dan lima ledakan dalam 40 menit, atau rata-rata ada satu serangan setiap empat menit, sehingga membuat Paris saat itu penuh dengan teror.
Jadi dalam perspektif ini, operasi tempur kali ini terlihat besar-besaran, lebih meningkat bila dibanding dengan masa lalu. Dengan Charles de Gaulle meninggalkan Toulon menuju kawasan Teluk dengan perlengkapan demikian, menunjukkan Prancis telah siap untuk pergi berperang.
Kali ini keberangkatan Charles de Gaulle tidak hanya menunjukkan Prancis sedang marah, lebih tepatnya memberi pesan kepada dunia benar-benar menyiapkan perang yang sesungguhnya. Pesan ini diberikan tidak perduli bahwa AS dan Rusia telah pasif dan proaktif intervensi dalam kekacauan di Syria, kini Prancis siap bergabung untuk ikut berperang sebagai pemain utama ketiga yang sungguh terdengar akan sangat mengerikan yang didengunkan dari Paris.
Sesungguhnya, sebelum Charles de Gaulle berangkat, dalam 48 jam setelah serangan Paris. Prancis telah melakukan pukulan berat pada jantung “ISIS” di Syria. Pada 15 November, 12 jet tempur Prancis yang bermarkas di Emirat Arab dan Yordania melesat melakukan serangan balasan terhadap salah satu kamp utama dari “ISIS” di Al-Raqqa.
Sebelum ini, Irak secara resmi mengungkapkan bahwa perencanaan tahap awal untuk serangan teroris Paris dilakukan di Al-Raqqa. Setelah operasi selesai, Menhan Prancis merilis berita yang menyatakan bahwa militer Prancis telah menjatuhkan total 20 bom, dan menghancurkan pusat komando, pusat rekruitmen, gudang persenjataan, dan kamp pelatihan “ISIS”.
Operasi tersebut dipandang yang berskala terbesar yang dilakukan Prancis dalam Syria selama Prancis ikut serta dalam serangan udara pada bulan September. Tapi ini bukan serangan udara yang tercepat dan sengit. Pada 16 November malam , Prancis sekali lagi mengerahkan jet tempur dan melakukan pengeboman sepanjang malam terhadap fasilitas militer “ISIS” di Syria.
Media mengutip Kemenhan Prancis telah mengirim 10 Dassault Rafale dan Mirage 2000 dari Emirat Arab dan Yordania untuk menjatuhkan 16 bom di basis “ISIS” dan menghancurkannya.
Namun, yang terpenting adalah meskipun Prancis telah melakukan serangan yang menunjukkan tekad untuk melawan “ISIS” dari serangan ini tapi masih terlihat meragukan. Setelah babak pertama serangan udara Prancis, pada 15 Novmeber, Michael Soria juru bicara Kemenhan Prancis menegaskan semua bom berhasil menghantam target.
Namun seorang aktifis yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, meskipun bom Prancis jatuh di Al-Raqqa dan tidak melukai warga sipil, tapi juga tidak melukai salah satu kepemimpinan atau kemampuan defensif “ISIS”, karena mereka sudah memindahkan keluarga mereka keluar dari Al-Raqqa.
Show kekuatan terlihat cepat dan sengit, tapi hanya sekedar show saja, sebenarnya yang penting adalah efektifnya. Maka dari itu kini Prancis meningkatkan tekanan serangan udara terhadap Syria, hampir semua media banyak yang bertanya-tanya.
Bagaimana Prancis akan melakukan perang ini? Apakah Prancis kini benar-benar marah dan memiliki senjata rahasia yang benar-benar memutuskan untuk berperang yang sesungguhnya?