Pada 3 oktober, Menlu Mesir, Sameh Shoukry mengatakan, serangan udara Rusia terhadap ISIS di Syria akan menekan penyebaran terorisme, dan membantu mencabut akar terorisme. Bahkan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker juga mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 9 Oktober bahwa “Hubungan Euro-Rusia tidak harus dipandu oleh AS.”
Yang paling menyolok mata jelas Irak. Reuters melaporkan pada 6 Oktober bahwa ketua Federasi Dewan Rusia menyatakan, jika mereka menerima permintaan serupa dari Irak, Rusia akan mempertimbangkan “memperluas serangan udara terhadap pemberontak bersenjata Syria untuk Irak.”
Pada 7 Okotber, Kapala Keamanan Nasional dan Komite Pertahanan Parlemen Irak, Hakem al-Zameli mengatakan : “Dalam hal serangan udara Rusia berhasil di Syria. Irak mungkin akan meminta Rusia untuk melaksanakan serangan udara terhadap militer ISIS di Irak.” Dia bahkan mengharapkan Rusia akan memainkan “peran yang lebih penting daripada AS” dalam berjuang melawan ISIS.
Ketidak efektifan dan ketidak mampuan yang diungkapan oleh serangan negara-negara Barat pada ISIS yang menyebabkan perubahan sikap demikian.
Setelah pemerintah Irak lolos dari ancaman ISIS terakhir lalu, AS sudah tidak banyak komentar lagi, Irak sudah berulang kali minta dukungan lebih dari AS, termasuk senjata dan peralatan militer, dan bantuan dalam aspek lain, tapi tampaknya AS tidak mampu memenuhi tuntutan Irak.
Arab Saudi yang telah berusaha menggulingkan pemerintahan al-Assad, juga terlihat adanya perubahan halus dalam sikapnya. Menhan Arab Saudi bertemu dengan Vladimir Putin pada 11 Oktober dan mendiskusikan kemungkinan resolusi politik untuk masalah Syria.
Pada 26 Oktober, Putin melakukan hubungan tilpon dengan Raja Salman bin Abdulaziz al Saud dari Arab Suadi, mereka membahas situasi Syria dan Timteng. Selama pembicaraan teilpon ini, Raja Salman sangat memuji Rusia dalam memainkan peran positif dalam mendorong majunya proses perdamaian di Timteng.
Tampaknya kekecewaan Arab Saudi terhadap AS sudah lama. Sebuah laporan dari “Le Figaro” Prancis yang menunjukkan bahwa sejak pergolakan di Asia Barat dan Afrika Utara, hubungan AS dan Arab Saudi menjadi sangat rapuh. Ditambah lagi produksi minyak serpih (shale oil) dalam negeri AS telah meningkat pesat, dan AS sudah tidak lagi memerlukan terlalu banyak produsen minyak Timteng dari Arab Saudi.
Di Mesir setelah Hosni Mubarak lengser, yang menyebabkan pemerintah Arab Saudi tidak lagi terlalu percaya AS akan melindunginya. Seorang diplomat senior Arab Saudi memberi komentar, sikap Obama dalam krisis Syria telah menyebabkan rasa “kekecewaan” ini lebih kuat lagi, dan merasa Arab Saudi harus bergantung pada dirinya sendiri.
Di satu sisi ada “pemberontakan” di kamp kontraterorisme AS, dan sisi lain ada yang yang memperkuat kekuasaan yang mendukung pemerintah al-Assad, termasuk Rusia dan Iran yang bersikeras untuk itu.
Andrey Baklanov, Penasehat Wakil Ketua Federasi Dewan Rusia mengatakan : “Umumnya, hal yang paling penting bagi mitra Barat kami perlu untuk memahami bahwa kita tidak berrencana untuk mengganti (menggulingkan) pemerintahan al-Assad, Pemerintahannya akan terus ada.”