Ajakan Damai Tiongkok
Pada 8 Agustus 2014, ketika Obama membahas tentang masalah Irak dalam suatu wawancara dengan “The New York Times” mengatakan : “Mereka (Tiongkok) adalah pengendara yang bebas selama 30 tahun terakhir, dan telah bekerja sangat baik bagi mereka. Dan kadang-kadang saya bercanda, ketika inbox saya mulai mencuat, tidak bisakah kita sedikit lebih seperti Tiongkok? Tidak ada seorangpun yang tampaknya mengharapkan mereka untuk melakukan sesuatu ketika hal ini muncul.” Pernyataan ini menarik ulasan luas di media internasional.
Majalah AS “The Diplomat” menerbit sebuah artikel pada 13 Agustus 2014, dengan judul “China Is No International Security Free Rider” yang melaporkan “Siapa yang menciptakan kekacauan ini di Irak hari ini? AS harus menanggung sejumlah besar tanggung jawab atas situasi yang ada saat ini. Seperti pepatah lama, Anda yang merusak, maka anda yang harus bertanggung jawab untuk memperbaiki. Hal ini tidak bijaksana untuk mengeritik Tiongkok pada saat ini sebagai yang terakhir membantu untuk memperbaiki Irak, dengan cara lain yang sama pentingnya.”
Sebuah situs Jepang menulis dalam satu artikel membela Tiongkok dari “The Diplomat” dengan mengatakan, tanggung jawab lebih tidak harus diminta dari Tiongkok tanpa memberikan kepemimpinan yang sesuai dengan posisinya.
Pada 22 Agustus 2014, ketika President Tiongkok Xi Jinping mengunjungi Mongolia, dalam memberikan pidato dengan judul “Membantu satu sama lain untuk menciptakan era hubungan Sino-Mongolia / Open Up New Horizons for China-Mongolia Relations Through Mutual Assistance.” (守望相助共创中蒙关系发展时代/), mengatakan : “Semua negara dipersilakan untuk naik dalam gerbong kereta ekspress Pembangunan Tiongkok. Kami menyambut semua orang, apakah kereta pembangunan kita akan melaju dengan cepat atau lambat. Seperti kata pepatah menuturkan ‘perjalanan sendirian bisa cepat, perjalanan berkelompok bisa jauh” (独行快,但众行远) “banyak tangan pekerjaan bisa jadi lebih ringan” (众人拾柴火焰高/banyak orang mengumpulkan kayu bakar, api akan lebih membara tinggi).
Pidato Xi Jinping ditafsirkan oleh dunia luar sebagai perbedaan nyata dalam inti konsep dari strategi pembangunan Tiongkok yang damai dibandingkan dengan strategi supremasi yang digembar-gemborkan oleh AS.
Sun Zhe berargumen, banyak proposisi bahwa Tiongkok benar-benar menganjurkan seperti yang tulus dicita-citakan dalam “Lima Prinsip Koeksistensi Damai” (和平共处五项原则)*2. Prinsip yang sama dengan “Apa yang kamu tidak suka orang lain melakukan kepada dirimu, jangan kamu lakukan itu kepada orang lain.”(己所不欲勿施于人= ajaran Konghucu). Menurut Sun Zhe : orang Tionghoa memiliki semangat semacam ini yang melekat. Hal ini tidak seperti AS, yang harus memaksakan hal-hal yang menurut mereka baik kepada orang lain. Kamu tidak boleh makan bubur jagung lagi, kamu harus minum susu, karena mereka pikir ini bagus dan baik.*3 Dan saya pikir secara filosofis serta dari perspektif strategis dan taktis tertentu, metode kami (Tiongkok) tidak sama dengan AS.
Mulai permulaan 2014, AS dengan semangat dan sibuk. Di Eropa meng-intervensi Ukaraina melalui oposisi setempat menggulingkan pemerintahan Viktor Yanukovych. Memimpin Uni Eropa dan NATO mealkukan sanksi luas terhadap Rusia. Di Timteng mengirim Jet tempur untuk menyerang organisasi teroris Negara Islam (ISIS) dan memberi tekanan pada pemerintah Syria dan isu nuklir Iran. Di Asia-Pasifik mendorong pemerintah Jepang rezim Abe untuk mencabut larangan kolektif untuk pasukan bela diri. Mendesak negara-negara disekitar Laut Tiongkok Selatan untuk menentang Tiongkok.
Justin Logan, Direktur Studi Kebijakan Luar Negri pada “Cato Institute”, dengan terus terang mengatakan : “Para pemimpin Amerika terus berbohong tentang kebijakan AS-Tiongkok. Mereka dengan konsisten protes ketika ada yang memprotes AS mengepung Tiongkok. Namun kenyataan memang demikian”. Artikel ini mengklaim bahwa pemerintah AS membenarkan kebijakan pemerintah AS untuk Asia 60% dari aset angkatan laut diperuntukan untuk kawasan Asia-Pasifik hanya untuk mengatasi bajak laut, perdagangan narkoba, dan bantuan kemanusiaan, ini adalah “konyol”. Selain itu juga ditunjukkan AS memperluas hubungan dengan semua negara yang memiliki sengketa dengan Beijing, dan mengambil posisi dipihak mereka dalam sengketa teritorial.
Joseph E. Stiglitz dalam website yang berjudul “The Chinese Century” lebih lanjut ada menuliskan : Selama 45 tahun pasca P.D.II, politik global didominasi oleh dua negara adidaya, AS dan Uni Soviet, yang mewakili dua sisi yang sangat berbeda baik dari cara pengorgansasian dan cara mengatur ekonomi dan masyarakat, dan relatif kepentingan dari hak politik dan ekonomi. Tapi pada kahirnya sistim Soviet gagal, karena banyak korupsi di internalnya, karena prosesnya tidak terkontrol secara demokratis, dan hal lainnya. Kekuatan militer sangat tangguh; namun soft powernya semakin jadi lelucon. Kini dunia didominasi oleh negara adidaya tunggal, yang terus berinvestasi dalam militer. Yang mengatakan bahwa AS adalah negara adidaya bukan hanya militer tetapi juga ekonomi.
AS kemudian membuat dua kesalahan penting. Pertama, disimpulkan bahwa kemenangan berarti kemenangan untuk segala apapun. Namun dalam banyak dunia ketiga yang lebih menguatirkan adealah kemiskinan dan hak-hak ekonomi, yang sudah lama dibicarakan oleh golongan kiri tetap menjadi sautu yang sangat penting. Kesalahan kedua adalah menggunakan waktu singkat mendominasi secara unilateral, antara runtuhnya Tembok Berlin dan jatuhnya Lehman Brothers, untuk mengejar kepentingan---atau ekonomi yang sempit, lebih akurat, kepentingan ekonomi yang multi-nasional, termasuk bank-bank besar, daripada untuk membentuk yang baru, untuk tantanan dunia yang stabil. Rezim perdagangan AS yang didorong pada 1994, menciptakan WTO (World Trade Organization) yang begitu tidak seimbang, lima tahun kemudian, ketika perjanjian perdagangan lain segara terjadi. Prospeknya menyebabkan kerusuhan di Seattle. Membicarakan tentang perdagangan bebas dan adil, sementara bersikras (misalnya) subsidi petani yang kaya, telah melemparkan AS sebagai munafik dan memetingkan diri sendiri.
Washington tidak pernah sepenuhnya memahami konskuensi dari begitu banyak tindakannya, maksudnya pandangan pendek untuk memperluas dan memperkuat dominasinya, yang sebenarnya justru mengurangi posisi jangka panjang. Selama krisis Asia Timur pada tahun 1990-an, Departemen Keuangan AS bekerja keras untuk meruntuhkan apa yang dinamkan Miyazawa Initiave, dengan murah hati menawarkan Jepang US$ 100 milyar untuk membantu terentas---dan start lagi ekonominya yang tenggelam ke dalam resesi dan dedpresi. Kebijakan AS ini menyebabkan mendorong negaranya pada bunga tinggi dan penghematan, dengan tanpa dana talangan bagi banka mengalami kesulitan, hal ini kebalikan dari anjuran pejabat yang sama dari bendahara bagi AS setelah krisis 2008. Bahkan saat ini setelah satu setengah dekade krisis Asia Timur, hanya bisa membuat marah atas peran AS dan menuduh akan kemunafikan AS di ibukota-ibukota Asia.
Sekarang Tiongkok telah menjadi kekuatan ekonomi No.1 di dunia. Mengapa kita (AS) harus peduli? Pada satu tingkat, kita seharusnya tidak begitu. Perekonomian dunia bukan ‘zero-sum game’, dimana pertumbuhan Tiongkok tentu diperlukan mengorbankan kita (AS). Kenyataan, pertumbuhan itu akan menjadi pelengkap bagi kita. Jika tumbuh lebih cepat, itu berarti akan membeli lebih banyak dari kita, dan kita akan makmur. Memang akan selalu ada, itu pasti, akan ada sedikit sensasi seperti klaim, yang menyebabkan sebagian pekerja kehilangan pekerjaan manufaktur mereka di Tiongkok. Tapi kenyataan ini lebih banyak berhubungan dengan kebijakan ekonomi kita sendiri di dalam negeri, daripada apa yang terjadi dengan bangkitnya beberapa negara lain. Demikian menurut Stiglitz lebih lanjut.
Pertama, sebagaimana dicatat, kekuatan nyata AS terletak pada Soft Power, contohnya dengan memberi kepada orang lain pengaruh dengan gagasan atau ide-ide, termasuk ide ekonomi dan politik. Kebangkitan Tiongkok menjadi No.1 membawa keunggulan baru untuk politik dan ekonomi negara itu serta model dan soft powernya sendiri. Kebangkitan Tiongkok juga menjadi sorotan keras pada model Amerika. Model yang masih belum memberikan manfaat kepada sebagian besar penduduk AS sendiri. Keluarga khas Amerika bahkan lebih daripada seperempat abad yang lalu, jika disesuaikan dengan inflasi, proporsi penduduk miskin meningkat. Tiongkok juga ditandai oleh tingginya tingkat ketimpangan, namun ekonominya telah melakukan beberapa yang baik bagi sebagian besar warganya. Tiongkok dapat mengentaskan 500 juta warganya keluar dari kemiskinan dalam peiode yang sama jika melihat kelas menengah Amerika memasuki masa stagnasi/kemandekan. Model yang tidak melayani mayoritas warganya tidak akan memberikan teladan bagi orang lain untuk meniru. Amerika harus melihat kebangkitan Tiongkok sebagai wake-up call untuk menempatkan rumah kita (AS) dalam kontrol.
Kedua, jika kita merenungkan kebangkitan Tiongkok dan kemudian mengambil tindakan berdasarkan gagasan bahwa ekonomi dunia memang harus zero-sum game, dan kerena itu kita perlu meningkatkan saham kita dan mengurangi saham Tiongkok, kita akan mengikis kekuatan lunak (soft power) kita lebih jauh, ini juga akan menjadi suatu wake-up call yang salah. Jika kita anggap kedatangan Tiongkok dengan biaya kita, kita akan berusaha “membendung”, dan mengambil langkah-langkah untuk merancang membatasi pengaruh Tiongkok. Tindakan ini pada akhirnya akan terbukti sia-sia, tapi tetap akan merusak kepercayaan dan posisi kepemimpinan AS. Kebijakan luar negeri AS telah berulang kali jatuh dalam perangkap ini. Pertimbangkan dengan pa yang disebut Trns-Pacific Partnership (TPP), perjanjian perdagangan bebas yang diusulkan AS, Jepang dan beberapa negara Asia lainnya yang tidak termasuk Tiongkok. Hal ini dilihat banyak orang sebagai cara untuk mengecangkan hubungan antara AS dan negara-negara Asia tertentu, dengan mengorbankan hubungan dengan Tiongkok. Ada rantai pasokan Asia yang luas dan dinamis, dengan barang-barang bergerak disekitar wilayah ini dalam berbagai tahap produksi; Kemitraan Trans-Pasifik terlihat seperti upaya untuk memotong Tiongkok dari rantai pasokan ini.
Contoh lain : AS terlihat curiga pada upaya baru Tiongkok untuk memikul tanggung jawab global di beberapa daerah. Tiongkok mau mengambil peran yang lebih besar dalam lembaga-lembaga internasional yang ada, namun Kongres mengatakan, pada dasarnya bahwa klub lama tidak menyukai anggota baru yang aktif, mereka boleh duduk kursi belakang, namun mereka tidak dapat memiliki hak suara sepandan dengan peran mereka dalam ekonomi global. Ketika negara lain dalam G-20 setuju, maka sudah saatnya kepemimpinan organisasi ekonomi internasional ditentukan atas merit (dasar keunggulan), bukan lagi kebangsaan. AS menegaskan bahwa order lama sudah cukup baik, seperti misalnya Bank Dunia (World Bank) harus terus dipimpin oleh seorang Amerika.
Contoh lain lagi : Ketika Tiongkok bersama-sama Prancis dan negara-negar lainnya didukung oleh International Commission of Experts ditunjuk oleh presiden PBB, yang saya (Joseph E. Stiglitz) ketuai menyarankan agar kita (AS) menyelesaikan pekerjaan yang Keynes mulai di Bretton Woods, dengan membuat mata uang cadangan internasional, AS memblokir usaha ini.
Contoh terkahir : AS telah mencegah upaya Tiongkok untuk menyalurkan bantuan lebih kepada negara-negara sedang berkembang melalui lembaga-lembaga multilateral yang baru dibentuk, dimana Tiongkok akan memiliki peran dominan yang besar. Kebutuhan trillyun dolar dari investasi di bidang infrastruktur telah diakui secara luas, dan akan memberikan investasi yang jauh melampaui kemampuan bank Dunia dan lembaga multilateral yang ada. Yang dibutuhkan bukan hanya rezim pemerintahan yang lebih inklusif di Bank Dunia, tetapi juga lebih banyak modal. Pada dua kali pemungutan suara, Kongres mengatakan tidak. Sementara itu Tiongkok sedang mencoba untuk membuat Asian Infrastructur Fund, bekerjasama dengan sejumlah besar negara-negara lain di kawasan itu. AS menggulung lengan baju (berusaha keras) agar negara-negara tidak akan bergabung.
AS dihadapkan dengan tantangan kebijakan luar negeri yang nyata yang akan membuktikan sulit untuk mengatasinya : Islam militan; konflik Palestina, yang sekarang sudah dalam dekade ketujuh; Rusia yang agresif, bersikeras untuk menunjukkan kekuatannya, setidaknya dilingkungan sendiri; ancaman terus menerus proliferasi nuklir. Kita akan membutuhkan kerja sama dengan Tiongkok untuk mengatasi banyak masalah, jika tidak semuanya ya sebagian dari masalah ini.
AS harus memanfaatkan kesempatan ini, Tiongkok menjadi ekonomi terbesar dunia, untuk “poros” kebijakan luar negeri AS jauh dari harus membendungnya. Kepentingan ekonomi Tiongkok dan AS yang rumit terjalin. Kita berdua memiliki kepentingan dalam melihat tatanan politik dan ekonomi global yang stabil dan berfungsi dengan baik. Mengingat kenangan sejarah dan rasa diri yang bermartabat, Tiongkok tidak akan bisa menerima sistim global yang hanya seperti itu. Dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Barat dan untuk menguntungkan kepentingan korporasi Barat, serta mencerminkan perspektif Barat. Kita harus bekerjasama, suka atau tidak suka harus mau. Sementara itu yang paling penting Amerika harus tetap mempertahankan nilai soft power untuk mengatasi kekurangan sistemik dalam pelaksanaan ekonomi dan politiknya sendiri yang korup, dan menempatkan masalah ini dengan terus terang, yang cendrung condong pada yang kaya dan berkuasa.
Pada akhir tulisannya Joseph E. Stiglitz mengatakan : Sebuah tatanan politik dan ekonomi global yang baru muncul, merupakan hasil dari reealitas ekonomi baru. Kita tidak bisa mengubah realitas ekonomi. Tetapi jika kita menanggapi mereka dengan cara yang salah, kita beresiko terpukul balik (backlash) yang akan menghasilkan baik sistim global disfungsional atau tatanan global yang jelas bukan yang kita inginkan (Bersambung .......)
*2The Five Principles of Peaceful Coexistence/Lima Prinsip Koeksistensi Damai : 1. 互相尊重主权和领土完整 Mutual respect for territorial integrity and sovereignty/Saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan; 2. 互不侵犯 Mutual non-aggression/Saling Non-agresi; 3. 互不干涉内政 Non-interference in each other's internal affairs/Non-campur tangan dalam urusan internal masing-masing; 4. 平等互利 Equality and mutual benefit/Kesetaraan & Saling menguntungkan; 5. 和平共处Peaceful coexistence/Koeskistensi Damai.
*3 Masih ingat ketika pada zaman orba rezim Soeharto berkuasa dan “mafia Berkley” sebagai teknokrat kelas wahid Indonesia, sebagian menu kita yang biasa makan beras jagung, sagu, ketela, semua diganti dengan beras (dengan “bibit unggul” dari Mosanto-AS yang penanamannya memerlu pupuk kimia terus-menerus yang menyebabkan tanah sawah kita jadi asam / tanah dengan pH rendah menyebabkan tanaman tumbuh jadi kerdil), mendirikan pabrik terigu (Bogasari) secara besar-besaran, dan dengan pelan-pelan merubah menu pokok kita dengan terigu, yang mana gandum sama sekali tidak bisa tumbuh disini dan harus impor (sekarang super mie sudah menjadi salah satu memu pokok kita).
Sumber : Berbagai Media TV dan Tulisan Luar Negeri.
http://www.foxnews.com/world/2014/12/06/china-surpasses-us-to-become-largest-world-economy/ China surpassed U.S. to become largest world economi
http://www.marketwatch.com/story/its-official-america-is-now-no-2-2014-12-04
http://qz.com/278012/nope-chinas-economy-hasnt-yet-surpassed-americas/
https://www.cigionline.org/thematic/chinas-role-global-economy?gclid=COenosft0cMCFQURjgodGDcA6A
http://language.chinadaily.com.cn/60th/2009-08/26/content_8620300.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Peaceful_coexistence
http://en.wikipedia.org/wiki/Offset_strategyhttp://www2.hkej.com/instantnews/current/article/
http://www2.hkej.com/instantnews/current/article/935334/奧巴馬與習近平瀛台散步對話首曝光
http://news.xinhuanet.com/2014-11/12/c_1113206992.htm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H