Pada tanggal 17 Mei 2018, Kongregasi Ajaran Iman dari Tahta Suci, Vatikan, merilis sebuah dokumen mengenai kegiatan ekonomi dan keuangan berjudul Oeconomicae et pecuniariae quaestiones --- Considerations for an Ethical Discernment Regarding Some Aspects of the Present Economic-Financial System (selanjutnya akan disingkat OPQ).Â
Sebagaimana terlihat dari judulnya, dokumen ini pada intinya berbicara mengenai pentingnya prinsip-prinsip etis dalam mengelola kegiatan ekonomi dan keuangan. Atau dalam bahasa quaestiones ini, tujuan utama dokumen ini adalah menyajikan sebuah "pandangan yang tulus" dan memberikan "sebuah pertimbangan etis mengenai aspek-aspek tertentu dari bidang ekonomi dan keuangan" (no. 3)
Tulisan ini merupakan sebuah tanggapan pribadi mengenai pentingnya etika dalam kegiatan ekonomi dan keuangan, sebagaimana diuraikan dalam dokumen OPQ tersebut.Â
Dasar: Ajaran Sosial Gereja
Pertanyaan pertama yang muncul ialah mengapa Gereja Katolik harus membahas masalah ekonomi dan keuangan? Bukankah Gereja Katolik adalah sebuah institusi agama, dan bukan institusi ekonomi dan keuangan? Jawaban atas pertanyaan ini harus ditempatkan dalam konteks eksistensi Gereja sebagai institusi moral. Sebagai institusi moral, Gereja Katolik memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan keprihatinan dan mencari jalan keluar terbaik untuk kesejahteraan semua orang.Â
Upaya ini dipromulgasikan melalui Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang membahas tentang masalah-masalah kemanusiaan universal, termasuk ekonomi, politik, keuangan, lingkungan hidup, bioetika, dlsb.Â
Menurut Kardinal Peter Kodwo Appiah Turkson, Prefect of the Dicastery for Promoting Integral Human Development, Ajaran Sosial Gereja bertujuan untuk mempromosikan keutuhan pembangunan manusia, termasuk melalui bidang ekonomi dan keuangan. Paus Fransiskus, dalam Motu Propio yang dipublikasikan 17/8/2016, secara tegas mengungkapkan bahwa upaya mempromosikan pembangunan manusia secara integral merupakan panggilan seluruh Gereja menurut tuntunan Injil.Â
Menurut Ajaran Sosial Gereja, visi tentang manusia harus bersifat menyeluruh. Manusia tidak boleh direduksikan kepada salah satu dimensi saja, misalnya dimensi materiil. Demikian pula pandangan menyeluruh harus diarahkan kepada semua orang, dan bukan kepada beberapa orang saja. Paus Paulus VI mengatakan, "perkembangan yang kita bicarakan di sini tidak dapat dibatasi kepada pertumbuhan ekonomi saja. Untuk menjadi otentik, pertumbuhan ekonomi harus dipahami dengan benar, ekonomi harus mempercepat pertumbuhan setiap [orang] dan semua [orang]" (Populorum Progressio, 14).Â
Oleh karena itu, Gereja Katolik sebagai lembaga moral senantiasa ingin memastikan bahwa sistem politik, ekonomi dan keuangan menghargai martabat setiap manusia. Manusia adalah makluk koeksistensial yang senantiasa ada bersama dan berelasi dengan sesamanya sebagai ciptaan mulia dari Allah untuk mencari kebaikan bersama.Â
Kebaikan bersama tidak dicapai dalam situasi ketertutupan melainkan senantiasa terjadi melalui sebuah jaringan relasional, yaitu relasi dengan Tuhan, sesama dan seluruh alam ciptaan (bdk. Laudato Si', 66). Kepenuhan kemanusiaan akan tercapai sangat tergantung pada bagaimana kita membangun dan menghidupi jaringan relasional tersebut (http://press.vatican.va/content/ salastampa/en/bollettino/pubblico/ 2018/05/17/180517e.html).
Berdasarkan ASG di atas, Mgr. Luis Francisco Ladaria Ferrer, SJ, Prefek Kongregasi Ajaran Iman, menegaskan bahwa Gereja memiliki kewajiban moral untuk mengarahkan dinamika-dinamika ekonomi dan keuangan serta seluruh kegiatannya pada landasan sebuah etika yang tepat. Hal ini searah dengan ajaran Gereja dalam Konstitusi Pastoral Gereja dalam Dunia, Gaudium et Spes, yang mengatakan bahwa "kegiatan ekonomi dilaksanakan sesuai dengan metode-metodenya sendiri dan sesuai dengan hukum yang ada dalam batas-batas tatanan moral" (GS 64). (http://press.vatican.va/ content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2018/05/17/180517e.html)