Mohon tunggu...
Donny A Putra
Donny A Putra Mohon Tunggu... -

Kalau perlawanan terhadap korupsi itu motifnya agar anak cucu hidup lebih baik kelak, maka itu adalah bentuk nasionalisme.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS: Garang di Century, Selingkuh di BLBI

14 Juni 2013   17:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:01 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1371204280747867578

[caption id="attachment_260141" align="alignleft" width="347" caption="Gambar dari: michelephoenix.com"][/caption] Mengapa PKS, seperti halnya  PDIP, Golkar, Demokrat,  menolak hak angket BLBI pada Juni 2008 yang lalu? Padahal ketidakseriusan penanganan kasus BLBI oleh Kejaksaan nyata, terbukti dengan tertangkapnya  jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK 2 Maret 2008. Wawancara Arief Munandar (penulis disertasi Antara Jemaah dan Partai Politik) dengan seorang kader senior PKS berikut,  bisa menguak misteri: Informan:  ....Karena kan ada saudara kita di parlemen, di DPD, yang sangat kritis sekali kepada masalah ini, jadi dia concern karena hutang kepada uang rakyat ini, ya BLBI kan sampai 700 triliun. Nah ketika ini terjadi, ia ditelepon oleh Sekjen. "Mau saya pertemukan dengan grup Salim, " katanya. Arief Munandar:Dalam konteks apa itu? Informan:Dalam konteks, dalam konteks  "Udahlah jangan ribut-ribut lah kritik BLBI itu. Saya pertemukan langsung deh." Dia cerita langsung, anggota DPD itu ke saya... Meskipun 18 kader senior PKS yang menjadi narasumber (informan) dalam disertasi Arief Munandar hanya dideskripsikan secara singkat tanpa disebutkan nama-namanya, tapi berdasarkan isi wawancara kita bisa memastikan siapa kader senior PKS  dalam wawancara di atas. Ia adalah IP, kader senior PKS yang sekarang menjadi gubernur Sumbar. Sedangkan (mantan?) kader PKS yang sangat gigih mengungkap kasus BLBI  adalah Marwan Batubara, anggota DPD dari Jakarta periode 2004-2009.  Wawancara dengan IP ada di lampiran disertasi Arief hal 62-102. Khusus tentang telepon Sekjen PKS AM ke Marwan Batubara ada di hal 73-74 (Lihat wawancara lengkap di: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20305561-Lampiran%20Disertasi%20Arief%20Munandar.pdf). Tentang disertasi Arief Munandar, lihat artikel : http://politik.kompasiana.com/2013/05/30/kasus-pks-oknum-atau-persoalan-institusi-564202.html ) Yang pertama dapat kita simpulkan adalah bahwa sekjen PKS saat itu, AM, punya "relasi" dengan grup Salim. Yang dimaksud grup Salim tentu saja konglomerasi yang dibangun mendiang Sudono Salim (Liem Sioe Liong) yang meninggal di Singapura 10 Juni 2012 yang lalu.  Ketika krisis 1998, BCA milik grup Salim terkena rush, likuiditasnya terkuras, sehingga dapat kucuran  BLBI 32 T. BCA hanya bisa membayar utang pokok 8 T, dan bunga 8,3T. Sisa utang BLBI hampir 24 T tidak dibayar, tapi disetarakan dengan 92,8% saham, sehingga BCA menjadi milik Pemerintah. Persoalan belum selesai. Ketika BCA masih milik Salim, bank itu menyalurkan kredit ke perusahaan-perusahaan grup Salim sendiri, besarnya 52,7 T.  Karena BCA telah menjadi  milik pemerintah, maka utang 52,7 T itu menjadi utang grup Salim ke pemerintah. Lagi-lagi grup Salim tak bisa bayar. Utang itu dibayar dengan uang 100 miliar plus menyerahkan 108 perusahaan ke pemerintah lewat  BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasioanal), dan setelah dijual lagi hanya laku 20 T. Negara rugi 32,7 T. Persoalan belum selesai. BCA harus disehatkan, rasio kecukupan modal, CAR,  harus di atas 8%. Pemerintah lalu menginjeksikan obligasi rekapitalisasi perbankan (OR) sebesar 60 T!  Setelah itu bencana berikutnya datang. IMF mendesak agar bank-bank yang jadi "beban" pemerintah itu dijual dengan segera. BCA akhirnya dijual dengan harga hanya 10 T saja!! Bisa dihitung berapa kerugian negara hanya dari satu bank saja, BCA. Belum bank-bank yang lain. Dalam rapat paripurna DPR 10 Juni 2008, fraksi PKS menyampaikan pandangannya yang dibacakan Andi Rahmat. Disebutkan bahwa salah satu alasan FPKS menolak hak angket BLBI itu di antaranya: "Fraksi kami memandang konsideran yang mendasari penggunaan hak angket tersebut sangat kabur sebab tidak menyertakan landasan-landasan hukum dan preseden yang memiliki hubungan langsung dengan penggunaan hak angket. Sehingga, tujuan-tujuan yang hendak diungkapkan menjadi tidak jelas."(lihat selengkapnyadi: http://purwoko.staff.ugm.ac.id/pw2/mega-skandal-blbi-dan-sikap-fpks.html ) Alasan ini sangat tidak masuk akal. Kalau memang FPKS bersungguh-sungguh ingin menyelidiki kasus BLBI lewat hak angket DPR, mengapa harus lihat konsideran anggota DPR (fraksi) lain?  Bikin dong konsideran yang benar, lalu dikomunikasikan dengan anggota DPR dari fraksi  lain sehingga usul hak angket menjadi kuat. Banyak kader PKS kecewa. Kader-kader di Jabodetabek menuntut bertemu FPKS, meminta dialog. Pertemuan  dijadwalkan 20 Juni 2008 di Graha Wisata Kuningan agar bisa menampung banyak kader. Lalu akhirnya disepakati di ruang rapat DPD. FPKS protes mengapa Marwan Batubara diundang. Kesannya FPKS ketakutan, karena Marwan paling gigih, mengusai data dengan argumentasi yang solid. FPKS lalu mengadakan rapim dan memutuskan menolak menghadiri undangan dialog karena “alasan teknis”. (lihat tautan di atas) Karena alasan-alasan FPKS baik yang resmi di paripurna, maupun yang tidak resmi, lewat sms ke sejumlah kader  juga tidak logis, wajar banyak yang bertanya-tanya apa yang sesungguhnya menjadi alasan mereka menolak hak angket BLBI. Berkembang isu PKS dapat imbalan dari obligor BLBI atas sikapnya itu. Di halaman 74 lampiran disertasi Arief Munandar, IP menyebut bahwa penolakan PKS terhadap hak angket itu berkaitan denganfundraising. Tidak jelas apakah  Gedung Markaz Da’wah di TB Sumatupang yang menjadi kantor DPP PKS adalah bagian dari imbalan atas sikap FPKS dalam hak angket BLBI itu. Di halaman 77-78, IP menyebut, berdasarkan sumber-sumber dari teman-temannya di DPP,  gedung Markaz Da’wah itu sumbangan seorang konglomerat. Menarik untuk diamati bagaimana dekatnya elit-elit PKS  dengan seorang pengusaha besar. Pengusaha ini punya sejarah panjang dengan keluarga Salim, bahkan sering disebut sebagaiproxykeluarga Salim (lihat:  http://id.wikipedia.org/wiki/CT_Corp). Sejak tahun 2009 ia sering diwacanakan sebagai salah satu kandidat capres dari PKS, dan disebut banyak berjasa, di antaranya membangun gedung Markaz Da’wah. (Lihat http://www.suara-islam.com/read/index/6156 BLBI, Century, LPS Jelas ada dugaan tindak pidana korupsi di kasus Century. Faktanya KPK telah meningkatkan kasus ke penyidikan dan Budi Mulya, deputi gubernur BI telah ditetapkan sebagai tersangka dalam pengucuran FPJP. Tetapi, tanpa bermaksud mengecilkan, kasus BLBI/OR jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan Century. “Kerugian negara” BLBI/OR 200 kali lipat lebih besar dari Century. Sebagai contoh,  sejak tahun 2003 OR diperdagangkan dan berbunga. Dari bunga OR APBN kita terbenani kira-kira 10 T per tahun. Kasus Century terlalu lama digoreng politisi sehingga duduk persoalannya menjadi kabur. Mari kita lihat point-point berikut: ·Uang yang digelontorkan untuk bailout Century adalah uang LPS. Apa sumber pendanaan LPS?  Ketika pertama dibentuk berdasarkan UU LPS (UU 24 tahun 2004) LPS dapat modal awal dari pemerintah 4 T sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dana LPS bersumber dari kontribusi keanggotaan ketika sebuah bank menjadi anggota LPS, dari premi asuransi yang dibayar bank-bank tiap semester, dan dari keuntungan investasi (uang LPS “diputar” atau diinvestasikan). Ketika Century dibailout tahun 2008, aset LPS sekitar 13 T. Aset LPS sekarang lebih dari 37 T. Aset ini akan terus membesar. Idealnya (batas aman) aset LPS itu 2,5% dari dana pihak ketiga (DPK). Jika DPK 3200 T, maka aset LPS seharusnya 80 T.  Jadi sumber dana  LPS terbesar bukan dari pemerintah/APBN. Pemerintah hanya sekali saja “menyuntikan modal awal” sebesar 4 T di tahun 2005 (berdasarkan PP No 32 tahun 2005). ·Salah satu filosofi dibentuknya LPS adalah agar perbankan dapat  menyelesaikan persoalaannya sendiri. Sehingga jika suatu bank dibailout atau ditutup, tidak membebani negara secara finansial, karena dapat ditanggulangi oleh uang LPS yang dananya  bersumber dari iuran bank-bank itu.  Ada 72 negara yang memiliki lembaga semacam LPS. Jadi berbeda dengan krisis 1998, ketika bank-bank yang kolaps itu jadi beban pemerintah, setelah LPS terbentuk kolapsnya sebuah bank seperti Century akan jadi beban LPS.

·Hanya ada 2 alternatif untuk Century di tahun 2008, dibailout (dan kemudian keluar uang 6,7 T) atau ditutup. Pertanyaannya, apabila Century ditutup, tidak dibailout, apakah LPS tetap harus keluar uang? Ya, paling tidak LPS harus keluar uang 4,8 T untuk mengganti simpanan nasabah Century yang simpanannya 2 M ke bawah. Mengapa? Karena kekayaan Century habis digarong pemiliknya. Jadi, dibailot atau ditutup, LPS keluar uang, walaupun tidak sama besarannya.

·Jadi apa persoalan utama Century? Jika Century diselamatkan (dibailout) nasabah yang punya simpanan lebih dari 2 M, aman. Jika ditutup, nasabah yang simpanannya, misalnya, 100 M, akan rugi 98 M, karena LPS hanya mengganti 2 M saja. Ada dugaan, dibailoutnya Century bukan karena dampak sistemik yang mungkin terjadi jika Century ditutup, tetapi untuk menyelematkan nasabah-nasabah yang simpanannya di atas 2M. Di antara nasabah itu ada BUMN, yayasan milik BI, dan tentu saja Budi Sampoerna yang simpanannya lebih dari 1 T. Kebetulan keluarga Sampoerna dikenal sebagai donatur Partai Demokrat, terbukti dengan aliran dana ke media yang terafiliasi dengan Demokrat, Jurnal Nasional. Inilah persoalan utama Century. Tentu saja ada persoalan lain di kasus Century seperti moral hazard pencairan 6,7 T, dugaan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prosedur dalam pencairan FPJP dll. Tapi itu semua bukan masalah utama.

·Lalu uang 6,7 T akibat bailout itu  ke mana? Uang itu berubah wujud jadi sebuah bank,  karena setelah bailout, bank Century (sekarang namanya Bank Mutiara) jadi milik LPS. LPS melakukan penanaman modal sementara (PMS). Disebut sementara karena LPS punya waktu maksimal 5 tahun sampai kemudian harus menjual kembali Century (Mutiara). Tahun 2013 adalah tahun terakhir (November). Jika tahun ini tidak terjual, maka bank Mutiara harus dilelang tahun depan dengan harga berapapun. Berdasarkan point-point di atas semakin jelas beda bobot antara kasus BLBI/OR dengan kasus Century.

PKS dan Pusaran Politik Century

Tahun lalu ada semacam perusahaan investasi bernama Yawadwipa yang dipimpin mantan eksekutif  Merrill Lynch, Christopher Holm. Yawadwipa menawar bank Mutiara USD 7,5 milyar dan dengan kurs saat itu hampir sama dengan 6,7 T. Yang juga patut disimak adalah  manajer operasioanal Yawadwipa Prasetyo Singgih. Ia seorang fungsionaris Golkar. Mengapa Yawadwipa menawar Mutiara sama dengan dana bailout 6,7 T? Mengapa tidak beli bank lain yang lebih aman? Bukankah Mutiara belum bebas dari gugatan hukum pemilik lama? Mengapa ada orang Golkar di Yawadwipa? Bukankah Golkar penggugat Century? Bukankah, jika ada orang Golkar beli Century 6,7 T maka moral Golkar untuk gugat kerugian negara  semakin tidak relevan, karena uang sudah kembali lagi ke LPS? Dst dst.

Pertanyaan-pertanyaan seputar Yawadwipa sama dengan pertanyaan seputar Sri Mulyani (SMI). Jika kita berasumsi Century adalah masalah BI, dan kebijakan KSSK dalam bailout Century tidak bisa disalahkan atau dipidanakan, mengapa SMI yang jadi korban (atau dikorbankan)? Benarkah ada deal antara SBY dengan ARB?  Benarkah ada kepentingan yang bersesuaian, SBY ingin melindungi Boediono, dan ARB ingin menyingkirkan SMI?

Bagi banyak pengamat, secara politik masalah Century sudah selesai. SBY dengan ARB sudah deal. SMI yang selama ini jadi “penghambat” ARB, sudah tersingkir. Banyak catatan “konflik” ARB dengan SMI, misalnya penolakan SMI untuk menghentikan perdagangan saham ketika saham perusahaan ARB anjlok. Di halaman 328 lampiran disertasi Arief Munandar, MH, mantan kader senior menyayangkan PKS terjerumus dalam arus permainan Golkar. Siapa yang diuntungkan dari kasus Century? ARB. Di halaman 62, IP menyebut begitu bersemangatnya faksi pragmatis dalam Century, sampai-sampai MK ketua fraksi PKS “dilewati”.

Jadi pertanyaan untuk PKS, mengapa begitu bersemangat di Century tapi loyo (bahkan berselingkuh) di BLBI? Bukankah kasus BLBI/OR jauh lebih dahsyat dari Century? Sebagian kader PKS menuding KPK tebang pilih. Bukankah mereka sendiri yang tebang pilih, membiarkan hak angket BLBI melayang? Yang lebih ahistoris,  ada sebagian kader PKS yang menuntut KPK mengusut BLBI. KPK berpatokan pada putusan MK No. 069/PUU-II/2004 terkait uji  materi UU KPK yang menegaskan KPK hanya bisa ambil kasus yang tempus delictinya terjadi setelah UU KPK  diundangkan. Oleh karena itu KPK menangani kasus BLBI yang perisitiwanya setelah Desember 2002. KPK sekarang menyelidiki kasus Surat Keterangan Lunas  (SKL) dan Release and Discharge  yang terjadi di jaman Mega, yaitu kebijakan yang membebaskan obligor BLBI dari tuntutan hukum jika mereka selesai melunasi “kewajibannya”.

Jadi siapa yang tebang pilih?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun