Mohon tunggu...
Donny A Putra
Donny A Putra Mohon Tunggu... -

Kalau perlawanan terhadap korupsi itu motifnya agar anak cucu hidup lebih baik kelak, maka itu adalah bentuk nasionalisme.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bersikap Adil Terhadap Kenaikan Harga BBM

21 Juni 2013   17:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:38 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13718120872140475650

[caption id="attachment_261904" align="alignleft" width="600" caption="nytimes.com"][/caption] Sebelum menilai apakah kebijakan menaikan harga BBM  salah dan penolaknya adalah benar, marilah kita lihat data-data berikut. Produksi (lifting) minyak mentah tahun ini sekitar 840 ribu barel per hari (bph). Bagi hasil antara negara dengan kontraktor (K3S) adalah 85:15, negara dapat 85%, kontraktor dapat 15%. Namun ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan kontraktor selama produksi (bahkan ketika eksplorasi) ditagihkan atau dibebankan kepada negara. Inilah yang disebut dengan cost recovery/CR. Negara membayar CRtidak dengan uang, tetapi dengan minyak mentah. Konversi CR dari uang ke minyak mentah menggunakan Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP). Dalam APBN-P 2013 ICP ditetapkan USD 108/barel. CR berkisar antara 25% sampai dengan 29% dari pendapatan kotor. (Lihat laporan tahunan SKK Migas http://www.skkmigas.go.id/wp-content/uploads/2012/08/Laporan-Tahunan-2012.pdf )

Jadi, jika produksi minyak mentah 840 bph, dan CR kita asumsikan 25% dari pendapatan kotor, maka, untuk menyederhanakan, minyak mentah yang akan dibagi antara negara dengan kontraktor berkurang dari 840 menjadi 630 ribu bph. Dengan demikian “jatah negara” adalah 85% dari 630 = 535 ribu bph *.  Minyak mentah 535 ribu bph ini kemudian “dijual” pemerintah ke Pertamina untuk diolah di kilang-kilang Pertamina menjadi BBM. (Berapa bph minyak mentah “jatah negara” yang diolah di kilang Pertamina bisa lebih kecil dari itu, karena ada jenis minyak mentah yang tidak sesuai dengan karakteristik kilang dll).  Hal lain yang harus dicatat adalah, 535 ribu  bph minyak mentah yang diolah di kilang Pertamina, tidak semuanya jadi BBM, karena kilang menghasilkan produk non BBM seperti nafta, LPG dll, selain tentu saja residu. Jika kita asumsikan bahwa produk BBM itu 75% dari minyak mentah, maka 535 ribu bph minyak mentah “jatah negara” itu hanya menghasilkan 401 ribu bph BBM, terdiri dari premium, solar, minyak tanah, avtur dll.

Berapa konsumsi BBM sekarang? Sekitar 1,4 juta bph! Bagaimana menutup kekurangannya? Berdasarkan UU Migas, 25% minyak mentah jatah kontraktor harus dijual di dalam negeri (DMO/domestic market obligation). Selanjutnya, karena Pertamina adalah salah satu dari puluhan kontraktor minyak, maka ia dapat bagian dari minyak mentah jatah kontraktor itu. Tentu saja tambahan minyak mentah yang dibeli dari kontraktor (DMO) plus minyak mentah milik Pertamina, setelah diolah di kilang, jauh dari cukup untuk menutup kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri.

Dari mana lagi menutup kekurangannya? Tentu saja import. Berdasarkan statistik migas, tahun 2011 Indonesia mengimport minyak mentah 266 ribu bph dan BBM (premium dan solar) sebanyak 470 ribu bph. (Statistik migas 2012: http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Statistik/Statistik%20Minyak%20Bumi.pdf). Tentu saja minyak mentah dan BBM import itu dibeli dengan harga pasar (Pemerintah masih bisa import minyak mentah, karena kapasitas kilang Pertamina sekitar 1,1 juta bph).

Produksi minyak mentah cenderung turun. Langkah SKK Migas sekarang hanya menahan laju penurunan produksi, sehingga produksi minyak mentah relatif stagnan. Sedangkan pertumbuhan konsumsi BBM sekitar 8 sampai dengan 10 % per tahun. Akibatnya volume import selalu naik.

Berdasarkan APBN-P 2013, kuota BBM bersubsidi ditetapkan 48 juta kilo liter atau 48 milyar liter, setara dengan 830 ribu bph  (terdiri dari 534 ribu bph premium, 276 ribu bph solar, dan 20 ribu bph minyak tanah).  Jadi untuk menutup kebutuhan BBM bersubsidi 830 bph saja, kita tidak mampu, karena minyak mentah “jatah negara” hanya 535 bph dan setelah diolah hanya menghasilkan BBM sekitar 401 ribu bph saja.

Subsidi Tidak Tepat Sasaran dan  Penghematan Anggaran

Data Kementerian ESDM menunjukkan, proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh: 1) pemilik mobil (53 persen) dibandingkan pemilik motor (47 persen); 2) masyarakat di Jawa dan Bali (59 persen); dan 3) angkutan darat (89 persen). Tercatat 25 persen rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77 persen subsidi BBM dibandingkan 25 persen rumah tangga berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15 persen subsidi BBM. (Kompas 18 Juni 2013:  http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/18/0746006/Hitunghitungan.Subsidi.BBM.

Subsidi BBM menelan 13% dari belanja pemerintah, sedangkan anggaran untuk infrastruktur hanya 8%. Jika subsidi BBM 200 T, bandingkan dengan  kereta api, hanya mendapat subisidi 704 M.  Padahal alat  transportasi ini banyak dinikmati rakyat miskin. Bandingkan dengan Pelni, penghubung antar pulau bagi si miskin, hanya dapat subsidi 726 M.

Argumentasi menaikan harga BBM memang menjadi rapuh jika dibandingakan dengan kebocoran dan pemborosan anggaran. Mark up pengadaan barang dan jasa masih menggurita di kementerian. Hanya patut dicatat, pemborosan dan kebocoran itu sudah merata, di pusat dan di daerah, di eksekutif dan legislatif. Bahkan episentrum korupsi sekarang sudah beralih ke Banggar DPR. Contoh kecil, jika DPR peduli dengan penghematan anggaran, mengapa mereka masih mengakomodasi pemekaran wilayah? Padahal, pemekaran itu  sebagian besar gagal, juga  memboroskan anggaran dan hanya jadi sarana elit-elit lokal memburu kekuasaan dan rente dari pembangunan sarana fisik. Jadi, menyedihkan, oposisi di DPR sekalipun telah kehilangan moral untuk melakukan kritik terhadap kenaikan BBM, sebagaimana kehilangan moral untuk melakukan  kritik terhadap pemborosan dan kebocoran anggaran.

Kritik Untuk SBY dan Kebijakan Energi

SBY sebenarnya punya momentum untuk melakukan terobosan menyangkut kebijakan energi. Di tahun 2009, SBY menurunkan harga BBM dari Rp. 6000 kembali ke Rp. 4500. Kebijakan populis ini dipolitisasi, jadi iklan SBY/Demokrat menjelang pemilu. Jika harga BBM saat itu diturunkan ke Rp. 5000 saja, dan kuota premium dan solar bersubsidi rata-rata 40 juta kilo liter, maka bisa dihemat 20T per tahun, empat tahun 80T. Uang sebesar ini bisa dipakai untuk membangun infrastruktur gas dan berbagai stimulus untuk konversi energi.

Jika ada sinisme bahwa pembangunan infrastruktur gas ujung-ujungnya terkendala ketersediaan pasokan gas dalam negeri, maka mudah jawabannya. Penemuan shale gas di AS, tidak hanya akan mempercepat penurunan harga gas, juga akan membuat AS jadi pengeksport gas sehingga tak membutuhkan lagi import LNG dari Indonesia. Dengan demikian kontrak eksport LNG dari Tangguh ke AS, bisa dihentikan dengan kompensasi tertentu, lalu dialihkan untuk kebutuhan domestik. Besarnya  pasokan gas dari negara-negara seperti Australia dan Rusia juga akan memberi peluang mengalihkan gas eksport untuk kebutuhan domestik.

Jika tidak ada terobosan (setelah konversi minyak tanah ke gas), maka subsidi BBM akan selalu jadi persoalan di tengah kecenderungan harga minyak yang selalu tinggi dan pertumbuhan konsumsi BBM di atas pertumbuhan ekonomi. Indonesia punya blue print (sesuai Perpres No. 5/2006) bahwa di tahun 2025, konsumsi BBM itu hanya 20% dari konsumsi energi total. Tahun itu direncanakan konsumsi gas 30%, batu bara 33%, dan energi terbarukan 17%. Tetapi dengan hiruk pikuk politik seperti sekarang, banyak yang pesismis hal seperti ini akan tercapai. Belajar dari Brazil, keberhasilan konversi energi membutuhkan kepemimpinan dengan  determinasi tinggi, karena konversi energi tidak bisa diserahkan ke pasar.

* Sebenarnya ada 20% dari minyak mentah yang dibagi 85:15 tanpa mempertimbangkan cost recovery ( disebut First Tranche Petroleum). Tujuannya untuk memastikan negara dapat bagian minyak mentah, tidak habis disedot CR. Akibatnya CR yg belum lunas,  dibayar di tahun kemudian (carry over).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun