Mohon tunggu...
Donny A Putra
Donny A Putra Mohon Tunggu... -

Kalau perlawanan terhadap korupsi itu motifnya agar anak cucu hidup lebih baik kelak, maka itu adalah bentuk nasionalisme.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anas dan Hikayat Sapi Ngamuk

10 Januari 2014   09:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13893220062123368917

[caption id="attachment_305170" align="alignleft" width="480" caption="gambar dari: http://www.metrotvnewsws/read/2013/10/14/6/188250/-Sapi-Kurban-Ngamuk-Warga-Panik-"][/caption]

Dalam twitnya beberapa bulan yang lalu, Fadjroel Rachman menyebut segala manuver Anas sejak ditetapkan KPK sebagai tersangka dan lengser sebagai ketum PD, tak lebih seperti sapi yang menolak disembelih.  Ia meronta, kaki-kakinya menendang-nendang siapa saja yang bisa ia tendang. Anas bersiasat, mengancam seteru politiknya, mengerahkan loyalis, dan mencoba mendelegitimasi KPK dengan isu-isu politis tanda dasar. Apakah Anas tidak siap menerima kenyataan sebagai tersangka tipikor? Yang mudah dibaca publik: Anas melawan dan mengingkari  kenyataan hidup.

Anas adalah politisi tulen. Ia boleh jadi memegang kredo bahwa seorang politisi bisa punya dua nyawa, suatu hari ia terkena kasus, di lain waktu ia bisa bangkit kembali. Boleh jadi ia belajar dari seniornya sesama mantan ketum PB HMI, Akbar Tanjung. Lebih dari satu dekade yang lalu, Akbar penah menjadi tersangka kasus dana non-bujeter Bulog 40 M.  Setelah mendapat “keberuntungan” karena penangguhan penahanannya dikabulkan, Akbar juga “beruntung”, ia divonis bebas di tingkat kasasi.

Tetapi “keberuntungan” Akbar akan sulit didapat Anas. Kasus Akbar ditangani Kejagung, ketika KPK belum berdiri. “Keberuntungan” Akbar juga susah didapat Anas, karena dalam sejarah, Pengadilan Tipikor Jakarta tak pernah membebaskan terdakwa KPK. Dan di tingkat kasasi, Artidjo Alkostar dan kawan-kawan, hakim-hakim agung berintegritas dan tegas terhadap koruptor,  siap menunggu. Anas juga berhadapan dengan publik yang semakin melek politik dan hukum. Mereka tidak bisa dibohongi, mereka tak bisa diperlakukan seperti benda mati yang bisa dimanipulasi.

Tiga bulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Anas mencari peruntungan. Ia bertarung di pemilihan koordinator presidium KAHMI (Korps Alumni HMI) di Riau. Ia dikalahkan Mahfud MD. Setelah Anas menjadi tersangka, Mahfud MD dengan tegas mengatakan KAHMI tidak ikut campur kasus Anas. Lalu lahirlah PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) yang dijadikan Anas sebagai perisai. Dan kita tahu apa yang kemudian terjadi. Suatu hari, loyalis Anas di PPI mengeluarkan pernyataan, “berdasarkan sumber yang bisa dipercaya”,  bahwa mantan ketum PD Subur Budhisantoso, narasumber yang gagal hadir di seminar PPI,  diinterogasi BIN. Subur tegas membantah. Berikutnya loyalis yang lain menyebar  fitnah, lagi-lagi “berdasarkan sumber yang bisa dipercaya”,  bahwa Denny Indrayana dan Bambang Widjojanto ke Cikeas, Senin 6 Januari jam 2 siang. Eh diralat, katanya yang sahih jam 2 dini hari. Lalu minta maaf dengan nada ancaman. Lalu dilaporkan Denny ke Mabes Polri.

Sampai titik ini, ada yang bertanya, adakah perlawanan Anas yang masih bisa digolongkan “mencerahkan publik”? Jauh sebelumnya  ada suara agar Anas cepat diadili berdasarkan prinsip peradilan yang cepat dan murah. Ini jebakan batman. Jika KPK cepat-cepat melimpahkan berkas ke penuntutan, maka dakwaan Anas hanya soal gratifikasi mobil. Dengan demikian  dugaan keterlibatan Anas yang lain  dalam kasus Hambalang seperti pengurusan sertifikat tanah, penerimaan uang, dll, tidak ada dalam dakwaan, memberi peluang Anas dituntut (dan divonis) ringan. Tentu saja KPK tidak terpengaruh. KPK mengembangkan kasus sehingga keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang terungkap seutuh mungkin. KPK tidak bisa mendakwa Anas soal gratifikasi mobil, lalu misalnya setahun  kemudian,  setelah kasus yang sebelumnya berkekuatan hukum tetap,  Anas lagi-lagi didakwa dalam penerimaan uang di Hambalang. Seseorang tidak bisa disidang dua kali dalam kasus yang sama (nebis in idem).

Faktanya bahkan KPK mengembangkan kasus di luar Hambalang yang diduga melibatkan Anas. Sebagaimana diberitakan Kompas kemarin di halaman 3, Anas diduga menerima sesuatu dari Bio Farma,  BUMN di bidang farmasi, dalam proyek yag dibiayai APBN di Jawa Timur. Anas juga diduga menerima sesuatu dari BUMN PT Pembangunan Perumahan. BUMN ini tidak terlibat di proyek Hambalang. Inilah proyek-proyek lain yang dimaksud KPK dalam surat pemanggilan Anas sebagai tersangka, Selasa 7 Januari yang lalu. Ini pula yang dipersoalkan loyalis dan kuasa hukum Anas, dan menjadi alasan Anas mangkir.

Dalam twitnya beberapa waktu yang lalu, Rachland Nashidik, mantan aktivis LSM yang kemudian jadi pengurus PD, menyebut Anas sebagai politisi dengan ego besar. Dalam istilah Rachland:  ego gigantic. Bukan suatu hal yang baru, demikianlah adanya kebanyakan politisi. Tetapi ada dua macam respons manusia ketika dihadapkan pada persoalan hidup akibat ulahnya sendiri. Pertama, mereka yang egonya luruh dan menyesali perbuatannya. Kedua mereka yang egonya semakin menjulang, dan menjadi dinding pemisah antara dirinya dengan kebenaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun