Pendekatan penjara yang menekankan hukuman dan individualisasi narapidana tidak lagi sesuai dengan prinsip-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasan identitas nasional Indonesia. Di Indonesia, gagasan bahwa tindakan adalah hukuman tidak lagi terbatas pada penghukuman dan intimidasi, tetapi juga mencakup upaya rehabilitasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat dengan mendorong peran lembaga pemasyarakatan yang dikenal sebagai penjara. Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat di mana narapidana dan warga binaan pemasyarakatan mendapatkan bimbingan. Lembaga pemasyarakatan merupakan bagian dari struktur administratif yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (sebelumnya Departemen Hukum) dan bertanggung jawab dalam melakukan upaya rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan perlindungan terhadap narapidana dan masyarakat. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban sejak lahir. Individu yang beragama memiliki tanggung jawab untuk mematuhi perintah dan menghindari larangan agama dalam kehidupan mereka. Pembangunan hukum sebagai dasar hukum merupakan tanggung jawab negara, bersama dengan tanggung jawab lainnya. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang tidak terpisahkan dari setiap individu. Salah satu alasan mengubah sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan adalah untuk melindungi hak-hak individu yang melakukan kesalahan dan dihukum. Dulu, tahanan disiksa sebagai bentuk hukuman, tetapi itu tidak menimbulkan efek yang mengerikan atau ketakutan di antara masyarakat lainnya.
Hak-hak individu terkait dengan sistem pemasyarakatan meliputi: kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinan pribadi; perawatan fisik dan mental yang dibutuhkan; pelatihan, bimbingan, waktu istirahat, dan pengembangan potensi diri; pelayanan kesehatan dan makanan yang memadai sesuai kebutuhan gizi; akses informasi; nasihat hukum dan bantuan hukum; pengaduan dan keluhan; akses bacaan dan media yang tidak dilarang; perlakuan manusiawi dan perlindungan dari penyiksaan, perlakuan buruk, dan kegiatan yang dapat membahayakan fisik dan mental; jaminan keamanan kerja, upah, atau tunjangan; pelayanan sosial; serta kebebasan untuk bertemu dengan anggota keluarga, pendukung, berpartisipasi dalam persahabatan dan komunitas, atau memilih untuk tidak melakukannya. Pasal 10 Ayat 1 mengatur bahwa selain hak-hak yang telah disebutkan sebelumnya, seorang terpidana yang memenuhi syarat tertentu secara eksklusif berhak atas: pembebasan; asimilasi; pergi ke desa atau mengunjungi keluarga; cuti bersyarat; pembebasan sebelum waktu yang ditentukan; pembebasan bersyarat; dan hak hukum lainnya. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana untuk memperoleh hak sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) adalah: berkelakuan baik; aktif dalam program pelatihan; dan menunjukkan risiko yang lebih rendah. Terpidana yang diberikan cuti sebelum bebas atau pembebasan bersyarat harus menjalani minimal 2/3 dari masa pidana dan memenuhi 2/3 syarat tambahan, selain persyaratan yang telah disebutkan sebelumnya. Pemberian hak-hak yang diatur dalam Pasal 10 ayat 1 tidak berlaku bagi mereka yang dihukum penjara seumur hidup atau hukuman mati. Selain hak-hak tersebut, terpidana memiliki tanggung jawab sesuai dengan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2022.
Tanggung jawab tersebut mencakup: mematuhi peraturan hukum yang berlaku; mengikuti program pelatihan yang diawasi; menjaga kehidupan yang bersih, aman, tertib, dan damai; serta menghormati hak asasi manusia setiap orang di sekitarnya. Terpidana juga diharapkan bekerja dengan memperhatikan kondisi kesehatan dan memberikan manfaat. Terdapat banyak tantangan yang dapat menyebabkan seseorang berakhir di penjara lebih dari sekali karena kejadian yang serupa. Beberapa orang tidak terpengaruh oleh efek jera, sehingga hal ini dapat mendorong tindakan yang dilakukan oleh narapidana. Mengapa masih terjadi banyak kasus serupa? Pertanyaan ini seringkali muncul dalam pikiran masyarakat umum. Hak asasi manusia berhubungan dengan manusia itu sendiri. Setiap tindak kejahatan pasti memiliki latar belakang yang menjadi penyebab terjadinya. Inilah faktor penting yang mendorong peralihan dari sistem penjara menuju sistem pemasyarakatan. Pembinaan di lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mencegah narapidana mengulangi tindakan mereka dan membantu mereka memperoleh kembali rasa percaya diri serta diterima kembali dalam masyarakat. Â Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri dan menyadari bahwa pemasyarakatan adalah bagian terakhir dari sistem peradilan pidana yang dikenal sebagai sistem peradilan pidana terintegrasi. Dalam sebuah konferensi penjara, disampaikan bahwa tujuan pemidanaan tidak hanya terbatas pada hukuman, tetapi juga melibatkan pendidikan dan reintegrasi sosial kemudian dimasyarakatkan (C.I. Harson HS, 1995:47). Tujuan pembinaan yang sesuai dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu: mencegah terjadinya tindakan pidana setelah narapidana bebas; membantu narapidana menjadi individu yang bermanfaat, berperan aktif, dan kreatif dalam membangun bangsa dan negara; memberikan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Menurut Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menjelaskan bahwasannya pelaksanaan proses pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui beberapa tahapan, di antaranya: Tahap awal (keamanan maksimum) adalah fase pengembangan awal di mana narapidana mengalami masa observasi, penelitian, dan pengenalan terhadap lingkungan, juga dikenal sebagai masa masuk dan orientasi. Tahap ini memiliki peran penting dalam merencanakan program pengembangan kepribadian dan mendorong kemandirian narapidana. Tahap pertama dimulai setelah narapidana menjalani 1/3 masa pidananya, di mana perkembangan kepribadian tetap diawasi dengan tingkat keamanan maksimum. Tahap berikutnya adalah Tahap Lanjutan (Keamanan Sedang), di mana narapidana diberikan kebebasan yang lebih dengan pengawasan keamanan setelah mengikuti pelatihan sekitar 1/3 masa pidananya dan menunjukkan perubahan dari masa lalu. Tahap ini merupakan tahap perkembangan lanjutan pertama, dari 1/3 hingga 1/2 masa pidana, dengan fokus pada perkembangan kepribadian dan kemandirian. Setelah melewati setengah masa pidana, narapidana memasuki tahap lanjutan kedua, dari akhir tahap lanjutan pertama hingga 2/3 masa pidana. Pada tahap ini, perhatian beralih ke asimilasi, di mana pembinaan asimilasi dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan. Tahap terakhir adalah Tahap Keamanan Minimum, yang terjadi setelah 2/3 masa pidana telah dilalui dan melalui evaluasi yang memadai. Pada tahap ini, pembinaan pidana lanjutan direncanakan dan dilaksanakan yang terintegrasi, termasuk Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB). Pelaksanaan pidana penjara dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia mengikuti Undang-Undang Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995. Dalam konteks filosofis, sistem pemasyarakatan di Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menghukum, tetapi juga untuk merehabilitasi dan reintegrasi sosial. Selama lebih dari 30 tahun, sistem pembinaan yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan telah dikembangkan sebagai alternatif terhadap sistem penjara yang lebih menekankan balas dendam dan pemidanaan. Sistem penjara dianggap tidak sesuai dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, di mana narapidana diharapkan memahami kesalahan mereka, tidak lagi melakukan kejahatan, dan kembali menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan lingkungan (Dwidja Priyatno, 2006: 101-102).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H