Mohon tunggu...
Siti Makarti
Siti Makarti Mohon Tunggu... -

Asli Wonosobo, alumni FE UNAIR, mantan wanita karir. Dan sekarang ibu RT penggiat UMKM

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

MBA dan Rekayasa Jenis Kelamin Bayi

2 Agustus 2011   01:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:10 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap ada ibu hamil, kita selalu menebak-nebak "apa gerangan jenis kelamin si jabang bayi?". Ada yang nebak, "Wah, ini bayi perempuan karena ibunya jadi lebih cantik selama hamil" ada yang "Wah ini sepertinya bayi laki-laki karena perutnya lonjong" ada pula "ibunya jadi jelek dan jorok banget selama hamil, bayinya laki-laki tuh!"

Berbagai dugaan dengan berbagai alasan banyak dikemukakan untuk menebak jenis kelamin bayi. Tapi ada satu pendapat yang sering saya jadikan barometer untuk menebak bayi itu laki-laki atau perempuan. Cukup vulgar sehingga kadang memerahkan telinga yang si calon Bunda. Dulu waktu "bikin" si Ibu orgasme enggak? Kalau waktu itu si Ibu orgasme, kemungkinan bayinya laki-laki. Dan sebaliknya, kalau waktu itu si ibu adem ayem aja si jabang bayi kemungkinan perempuan.

Jadi, kalau sperma bertemu dengan sel telur terjadi dengan begitu saja, tanpa ada reaksi "welcome" dari si ibu kemungkinan si jabang bayi bakalan perempuan. Ini terjadi bila saat pembuahan si ibu sedang kecapekan, atau ibu sedang stress, atau si ibu terpaksa melakukannya atau bisa juga karena ibu sedang "bad mood".

Pendapat ini dilatar belakangi oleh kebanyakan bayi yang dilahirkan karena kasus MBA (Merried by Accident) atau hamil di luar nikah adalah perempuan. Begitu juga bayi "hasil" malam pertama, dimana saat itu si Ibu belum siap, baru pertama kali ML dan sperma masuk begitu saja, ternyata sebagian besar bayinya perempuan.

Ini menjawab mengapa perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Karena bayi laki-laki lebih susah bikinnya. Perlu kerjasama yang baik antara bapak dan ibu, dan diperlukan ketrampilan yang cukup mumpuni dari si Bapak untuk membuat ibu menjadi "welcome".  Dan si Ibu, perlu men-support dengan mempelajari menu-menu makanan yang bisa membuat "hot" dan menyajikannya sebagai menu keluarga.

Tapi jangan percaya 100%. Karena ini hanyalah "Gugon Tuhon" di kalangan ibu-ibu. Yang kebenarannya belum teruji secara medis (atau sudah ada, tapi saya belum tahu). Tapi nggak ada salahnya dicoba. Bukannya "hot" juga baik untuk kesehatan dan juga meningkatkan gairah hidup :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun