"Teksih, mas. Suanten-suanten nggegirisi sok kepireng wonten sak sembarang panggenan," ucap salah seorang penunggu warung. Kurang lebih artinya sih, masih banyak suara mengerikan yang kadang terdengar di berbagai sudut. Perlahan saya pun larut dalam keheningan di sebuah petilasan lereng Merapi pagi itu.
Jam hp saya menunjukkan pukul 05.45. Masih kepagian untuk berwisata memang. Meskipun saya berharap pukul 05.00 bisa nyampai bibir Kali Gendol. Menyambut terbangunnya matahari dari persembunyian malam. Tapi karena hujan yang enggan berhenti sejak malam, akhirnya saya dan rombonganpun setia menanti.Â
Suara rombongan jeep memecah keheningan pagi. (dokpri)
Bersama jeep yang biasa melayani Volcano Tour Merapi, kamipun baru berangkat pukul 05.00. Oh ya, saya menyebutnya Volcano Tour bukan Lava Tour seperti yang jamak dikenal. Kalau mau tahu alasannya, monggo cek di gugel beda antara: magma, lahar, dan lava. Dengan sedikit ngebut akhirnya kami nyampai di pinggir Kali Gendol.Â
'Batu Alien' hasil muntahan Merapi tahun 2010. (dokpri)
Tak banyak kesan yang saya tangkap di sini. Kecuali hiruk-pikuk mobil pick-up dan truk pengangkut pasir yang lalu lalang. Pasir Merapi ini adalah 'pasir emas', sebab harga satu truk engkel pasir Merapi setara lebih dari satu gram emas. Pasir dengan kualitas yang paling yahud menurut para penambang. Meski untuk mengambilnya, nyawa pun dipertaruhkan.
Dinding pun 'bicara'. (dokpri)
Kerangka sapi yang tersampu lahar panas. (dokpri)
Puing-puing bagunan yang tersisa. (dokpri)
Penyisiran awal di lokasi bencana. (dok. istw)
Setelah jemu berfoto ria, rombongan kami pun lanjut ke Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kec. Cangkringan Sleman. Hawa dingin dan suasana atis mulai saya rasakan saat melewati tugu perbatasan Dusun Kaliadem dengan DusunPetung Desa Kepuharjo. Entahlah, sudah ke-tiga kalinya saya ke sini, tapi suasana atis itu tak mau beranjak dari perasaan saya. Hingga saya bertanya tentang 'suara panggilan' yang sempat saya dengar di tahun 2016 yang lalu kepada salah satu pemilik warkop.
Tak banyak bekas tapak kaki di sini. (dokpri)
Salah satu sudut yg yahut untuk 'menepi'. (dokpri)
Petilasan Dusun Petung ini adalah salah satu tempat 'favorit' bagi orang-orang tertentu. Oleh karenanya di hari serta weton (pasaran) khusus, akan banyak dikunjungi orang dari berbagai penjuru Nusantara yang mau 'ngalap berkah' (berburu keberuntungan, Jw.). Hal ini tak begitu mengherankan, sebab suasana mistis cukup lekat terasa pada beberapa sudut bangunan. Salah satunya adalah rumah bekas tempat tinggal keluarga Kepala Dusun Petung.
Membayangkan sbg lokasi foto prewed. (dokpri)
Ruang tengah dan kamar tidur dlm kesunyian. (dokpri)
Entah karena suasana mistis, atau faktor yang lain, tak banyak pengunjung yang menjamah bekas rumah 'Pak Dukuh' ini. Sebagaimana rombongan kami, hanya saya yang menyempatkan diri untuk 'kulo nuwun' di situ. Padahal bagi pecinta fotografi, banyak sudut artistik dan terkesan gotik bisa digunakan sebagai latar. Hahaha...Â
Rumah yang dulunya megah, kini hanya menjadi puing-puing kenangan. Manusia berkehendak, namun Sang Empunya Kehendak itulah yang menentukan. Tak ada daya upaya selain kembali kita sandarkan kepadaNya. Tak ada juga kepandaian, harta, pangkat, atau jabatan yang pantas kita unggulkan. Jika Allah Ta'ala menghendaki hanya sekejap saja apa yang kita ungul-unggulkan akan dilenyapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya