Kota Batu semakin elok menawan hati. Di sana-sini sudut kota terus berbenah. Meski sang walikota kini 'berlibur' di tahanan KPK. Hidup terus bergulir. Sebab semua tak mau tergilas kerisauan.
Seperti Ahad pagi kemarin (11/3). Sejuk menyapa hati. Setelah tunaikan perjalanan ruhani Subuh di Masjid At-Takwa. Bergegas kaki melangkah menuju alun-alun Kota Batu yang jaraknya tak seberapa. Ditemani beberapa pasang kaki kecil yang riang melangkah. Serombongan anak-anak menguntit di belakangku.
"Biasane yo, Cak," ucapku.
"Beres. Nganggo gula opo gak? (Pakai gula atau tidak?)," sambil berlalu melatiku.
"Gak usah. Susune ae sing diakehi. (Sususnya saja diperbanyak)," sahutku. Segelas susu jahe panas dan seporsi ketan bumbu, itu adalah menu favoritku.
Menjadi generasi ke-3 menjual panganan khas, tentu tidaklah mudah. Sebab para pelanggan tentu akan terus berburu rasa. Maka tak heran, bila pelanggan Ketan Lorong ini tak pernah surut. Tiap generasi bercerita kepada anak atau cucunya.
Sebagaimana ingatanku melayang ke awal tahun 90-an. Cukup dengan 350 rupiah. Seporsi ketan bumbu dan teh manis hangat sudah terhidang. 30 kali lipat harganya dibandingkan saat ini.
Tapi harga menjadi urusan nomor sekian. Sebab rindu akan kenangan tak akan pernah ternilai. Ditambah dengan keakraban di antara para pelanggan. Meski belum saling mengenal. Sehingga waktu pun berlalu tak terasa. Terbunuh oleh keramahan yang sulit dijumpai di tempat lain.