Mungkin ada sebagian orang yang mencibir keputusan saya tersebut. Tapi inilah wujud kecintaan saya kepada negeri ini. Apalagi Rasulullah pun pernah menyampaikan:
“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin”. (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Bagi saya tak ada alasan yang tak masuk akal untuk menolak undangan tersebut. Jika pun seandainya saya menolak karena satu dan lain hal, maka akan diam setelah itu. Ya, cukup diam. Sambil mencatat dalam perjalanan hidup bahwa saya pernah 'menolak' undangan jamuan makan siang dari seorang presiden negeri yang amat saya cintai. Itu saja.
Jika pun ada yang menanyakan mengapa saya mau hadir ke Istana Negara, jawabnya amat simpel. Saya diundang, maka saya datang. Itu saja? Yak, itu saja.
Satu lagi, alhamadulillah jalan-jalanku kali ini banyak memberi pelajaran. Salah satu nilai itu adalah tentang bagaimana kita mengukur nilai diri sendiri. Bahwa mengukur nilai diri sendiri, ternyata lebih sulit dibandingkan mengukur 'tongkrongannya' orang lain. Menjaga jari-jari untuk tidak mengetik kata atau kalimat negatif, lebih sulit dibandingkan jika kita berceramah atau berpidato di atas podium.
Bukan karena jabatan kita sebagai ustaz, direktur, camat, bahkan presiden sekalipun kita dihormati. Tapi bagaimana kita bisa memperlakukan orang lain dengan lebih baik dibandingkan memperlakukan diri sendiri. Bagaimana kita bisa menghormati dan menghargai orang lain dibandingkan kepada diri sendiri. Bagaimana cara kita bersyukur dengan segala kondisi yang ada, dibandingkan selalu berkeluh kesah atas nasib buruk yang menimpa kita.
.
________________________
[Foto: dokumentasi Setneg via Syaifuddin Sayuti]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H