Ceritanya melanjutkan yang bagian I nih. Masih seputar perjalanan nyampai Pulau Dewata, Bali. Masih seru juga insyaAllah. Apalagi kalau bukan cerita tentang hotel dan Ubud yang menjadi tujuan perjalanan saya kali ini. Ah, langsung lanjut saja deh.
Kemarin ada yang tanya. Bus berangkat jam 10.00 (sesuai jadwal), kok jam 09.10 sudah berangkat sih? Alasan sang mandor adalah, bus sudah full. Lha, sudah full kurang satu penumpang kok ya langsung tancep gas saja. Begitu saya bantah pernyataan sang mandor. Apalagi tanpa ada pemberitahuan/panggilan dari petugas siar kepada saya. Jadi, demikianlah cerita mengapa saya kok sampai kepancal.
Efek penutupan Bandara Ngurah Rai akibat erupsi Gunung Barujari Lombok Utara (3/11), NTB imbasnya juga ke saya juga nih. Sementara di Ngurah Rai sendiri sangatlah crowded. Bayangkan saja, sampai tanggal 5 November pagi saja sudah ada 692 penerbangan domestik dan internasional yang dibatalkan (Radar Bali, 5/11). Berapa puluh ribu penumpang yang harus mengatur jadwal perjalanannya kembali seperti saya.
Bus Jawa Indah yang full tadi ternyata 'ketiban rezeki' penutupan Ngurah rai lho. Ternyata hampir sebagian besar penumpang yang naik bus Damri dari Juanda tadi naik Jawa Indah jurusan Denpasar. Makanya, jam 09.00 pun sudah penuh. 09.10 langsung cabut dengan ninggalin saya. Nah, ini yang namanya ada berkah di balik musibah. You know? Hihihi....
Singkat cerita, bus dengan pelan tapi pasti (asli yang ini memang jalannya tidak kencang) merayapi jalurnya. Jam 14.00 berhenti di sebuah rumah makan di daerah Besuki. Sekitar 2 km. sebelum Pantai Pasir Putih Situbondo. Setelah tunaikan salat Zuhur dan Ashar (jamak qasar) di musala, saya pun mengambil jatah makan siang saya. Nah, yang cukup menggelitik saya, saat istirahat dan makan siang itu, tak ada kawan seperjalanan yang menginjakkan kaki di musala. Ah, sudahlah....
Pukul 17.35 Wib, bus sudah sampai di Pelabuhan Ketapang. Cuma sekaitar 5 menit bus menunggu. Masuk ke kapal ferri, 15 menit kemudian sudah berangkat. Maghrib pun tiba. Salat Maghrib dan Isya kembali saya jamak. Sayang, seharusnya musala yang bisa dipakai, ternyata sudah 'dihuni' para penumpang yang pada tiduran. Saat saya minta tolong untuk meminta tempat, mereka jawab dengan permintaan maaf karena tidak ada tempat lagi. Gila nggak? Seharusnya petugas kapal memperhatikan ini juga sih.
"Saya dari Surabaya. Dari travel blogger Kompasianer, Bapak. Lagi ada kegiatan eksplorasi Ubud dari Kementrian Pariwisata. Maaf ya, Bapak," demikian dengan wajah penuh penyesalan (cie...cie...) saya berujar pada Bapak ****iasa.
"Lain kali, pakai izin dulu ya, Mas. Nanti biar nggak ada apa-apa," logat Bali yang khas pun meluncur.