Mohon tunggu...
Abdul Muiz Syaerozie
Abdul Muiz Syaerozie Mohon Tunggu... -

Abdul Muiz Syaerozie, Lahir di Babakan Ciwaringin Cirebon. sejak dini, muiz belajar agama pada kedua orang tuanya. Setelah beranjak dewasa, Muiz melanjutkan study-nya di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. setelah itu, Muiz sempat singgah untuk beberapa bulan di Pondok Pesantren Al Anwar Sarang Rembang, lalu nyantri di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. kini, selain aktif Komunitas Seniman Santri (KSS), yang di deklarasikannya bersama kawan-kawannya di Cirebon, Muiz juga aktif sebagai dosen di Ma'had Ali Al Hikam As-Salafiyyah dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Cirebon, serta menjadi pimpinan umum majalah Laduni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asmara Berujung KPK

7 Februari 2012   09:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Abdul Muiz Syaerozie

Angie memang perempuan cantik. Ia sering di buru para lelaki hidung belang. Mulai dari play boy kelas kampung, hingga model kelas dunia ikut berlomba merengkuh hati Angie. Bahkan, slogan “Mampu menggenggam hati Engie, isi dunia terasa milik kita”, begitu kental tertanam di kalangan kaum adam.

Entah kenapa kebanyakan lelaki berambisi mendapakan cintanya. Padahal, konon katanya, kecantikan Engie selalu menorehkan catatan kisah duka. Ini berlaku bagi siapa saja yang pernah mengalami jatuh cinta, tak terkecuali bagi keluarga besar bani demok. Kecantikan Engie menjadi permulaan buruk bagi sejarah keharmonisan hidup rumah tangga.

Mula-mula, Engie di perkenalkan di hadapan seluruh anggota keluarga bani demok. Kemudian menggegerkan seluruh detak jantung para jejaka di lingkungan keluarga itu. Mereka terpesona dengan kecantikan Engie. Wajar jika Nazar, Anas, Aji, Andi dan Baskoro mulai bertingkah. Mereka berupaya mendapatkan simpati dari si putri. Sementara, Engie sendiri hanya tersenyum melihat ulah para pemuda dari trah keluarga kaya raya itu.

Ke esokan harinya, Nazar, yang berhidung mancung sudah mulai mencuri start. Ia membangun strategi untuk mendapatkan kesempatan bermalam minggu dengan Angie. Di keluarga bani demok, Nazar di kenal sebagai anak yang paling keras kepala. Prinsipnya “Cinta di tolak dukun bertindak”, sepertinya juga siap menjadi senjata bagi Nazar untuk bersaing dengan saudara-saudaranya.

Berbeda dengan Nazar, Anas yang malu-malu kucing diam-diam juga sudah merumuskan strateginya sendiri. Namun demikian, persaingan asmara di keluarga bani demok tidak hanya di ikuti oleh kedua lelaki itu. Andi, saudara paling tua, juga ikut berkompetisi. Ia selalu menampilkan gaya sosok paling kharismatik di hadapan Engie dan saudara-saudara mudanya. Semua ini ia lakukan demi untuk mendapatkan simpati dari si putri.

Sementara Aji, oleh para tetangga, di kenal sebagai sosok pendiam dan patuh pada saudara-saudara tuanya. Sedangkan Baskoro masih dianggap sebagai anak ingusan. Kendati pun demikian, Baskoro sudah mulai mengenal, mana perempuan bahenol dan mana pula wanita yang kurang menarik diajak kondangan.

Sikapnya yang keras dan pengen menang sendiri membuat Nazar mendapatkan keuntungan tersendiri. Ia, dengan cara apapun, berhasil memboyong Engie di bawah intipan bintang dan rembulan. Malam minggu, di saksikan sebongkah kursi dan kedua bola mata mang Wayan; tukang bakso, Nazar menyatakan cintanya.

Nazar bukan sosok romantis. Ia mengungkapkan rasa cintanya tidak dengan puisi dan pantun asmara, melainkan dengan cara bercerita tentang sifat durjana saudara-saudaranya. Mulai dari Andi, Anas, Aji dan Baskoro, kata Nazar, “mereka adalah para lelaki si hidung belang”. Cara ini, tentu saja membuat Engie menjawab cinta dengan duka.

Enggie menolak cinta Nazar. “Aku tak tertarik dengan gayamu, sikapmu keras seperti singa, mulutmu lebar seperti buaya, ususmu rakus seperti tikus. Maaf, aku tolak cintamu”. Tetapi jika di telusuri lebih mendalam, pada dasarnya Engie diam-diam sudah menaruh hati pada Aji yang pendiam dan penurut itu. Raut wajah Nazar merah padam. Bak di sambar petir dan di cambuk rotan, Nazar tidak menerima kenyataan.

Nazar berlari kesetanan, menjerit dan lantang meneriakkan : “Kak Andi telah menakut-nakuti Engie dengan kumisnya, Kak Anas juga telah menghipnotis Engie dengan kacamatanya, bahkan Baskoro juga telah menipu Engie dengan rambut klimisnya. Engie itu penipu, bilangnya cinta tak tahunya ular berbisa”.

Dari pasar ke pasar, dari kantor ke kantor, dari terminal keterminal dan dari majlis kemajlis, Nazar terus mengkampanyekan kalimat itu, hingga akhirnya dia di tangkap KPK (Komisi Pemberantasan Kegaduhan), dengan alasan telah membuat gaduh di tengah masyarakat umum.

Nazar memang bernasib apes. Ia di laporkan mas Abu; pemilik pasar, mas Mono; kepala terminal, mas Bowo; pemilik kantor dan mas siddik; ta’mir majlis. Kata mereka, Nazar bikin gaduh suasana Pasar, terminal dan Kantor hingga membuat para pembeli, penumpang dan pekerja merasa ketakutan.

“Nazar juga bikin jama’ah majlis enggan mengaji”, kata mas Siddik, kendatipun ta’mir majlisnya masih blekak blekuk membaca fatihah. Bagi keempat pemuda kaya itu, yang bukan dari keturunan bani demok, melaporkan Nazar ke KPK merupakan kesempatan tersendiri, sebab mereka juga menaruh hati pada Engie.

Namun Nazar tidak tinggal diam. Ia pun menuntut KPK untuk juga menyeret Engie lantaran dialah yang membuat dirinya berbuat gaduh. Nazar dendam karena cintanya telah ditolak. Maka, “Dengan cara apapun, Engie harus menemaniku di ruang tahanan KPK”. Kata Nazar.

Ini cerita fiktif. Sengaja di buat untuk menghilangkan kepenatan kita. Penat karena kita dituntut harus selalu waspada, sedetik saja kita lengah, maka, kekayaan yang telah kita simpan di kas Negara akan lenyap di gondol para koruptor.

“Jika ada kesamaan nama dan tempat, itu hanya kebetulan saja”, yang terpenting jangan GR. Demikianlah tulisan yang selalu muncul di akhir sinetron televise anda.

Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun