Mohon tunggu...
Humaniora

Seri Gamelan Hidup VII

16 November 2016   14:59 Diperbarui: 16 November 2016   15:08 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal, Tinggal, Tunggal = Pitulungan

Kehidupan Gajah yang nggak mati-mati ini sesungguhnya diharapkan paling tidak melahirkan satu hal, yakni stress atau trauma, atau putus-asa. Tapi peran Gajah Tawa yang selalu saja bisa melucu saat kondisi apapun ternyata cukup efisien memulihkan kondisi mental para Gajah. Keadaan ini makin lama makin disadari oleh Gajah bahwa mereka memang tidak bisa mengandalkan satu jenis perjuangan untuk menuju keberhasilan bersama. Karena keberhasilan bersama maka berjuang pun harus bersama, maka cara yang ditempuh harus dengan kebersamaan.

Gajah cuek yang sejauh ini selalu lebih banyak memilih cuek tiba-tiba menjadi motor pemersatu. Dia menemui Gajah Kikuk dan Gajah Tawa untuk mengingatkan kembali bahwa baik dirinya, dan Gajah lain tak pernah dilahirkan dalam pemisahan dan pengkotakan yang membodohkan ini. Kotak itu adalah sematan identitas.

“Kita semua para Gajah memiliki tradisi kesetiaan, sosial, dan suka bekerjasama dalam kondisi susah maupun senang. Tidak ada Gajah yang dilahirkan dalam kondisi yang hanya ketawa saja, pasti dia juga memiliki kepedulian untuk berbuat dan juga akan diam pada kondisi tertentu. Tidak ada Gajah yang dilahirkan gagap, kikuk, dan canggung selamanya tanpa diberi keluasan bathin untuk mencerna dan mentertawakan dirinya sendiri pada saat ia lebih dewasa. Dan tidak pernah ada Gajah cuek yang sejak lahir hingga mati hanya cuek saja tak pernah peduli dan memperhatikan lingkungan, tak punya nuansa dan tak punya keinginan untuk membangun kehidupan.

Kita semua adalah Gajah, Gajah bisa girang dengan tawanya, bisa gembira dengan kerjasama dan proses aktifnya, bisa sukacita dalam diamnya. Gajah bukan kotak-kotak kecil identitas yang sesungguhnya adalah alat identifikasi untuk mengontrol dan mengadu para Gajah.

Kita ini Gajah yang punya sejarah panjang peradaban. Kita bukan Elang yang bisa terbang dan bukan pula Naga yang meliuk merayap. Kita juga bukan Kampret dan Kalong yang suka bersembunyi di balik kegelapan.

Kita ini Gajah, yang punya jiwa kekesatriaan Taksaka, punya Keberanian dan Kelembah-manahan Garuda, yang punya belalai dan gading. Lalu kemana itu semua? Kita sekarang tengah menjelma menjadi Gajah yang kepayahan, bercita-cita bisa terbang bagai Elang, rela kehilangan Gading dan rela kehilangan kekerabatan tradisi Gajah yang telah turun-temurun.

Lalu kemana para Gajah itu? Kini hanya ada Gajah kekampret-kampretan, Gajah keElang-Elangan, Gajah keNaga-Nagaan, Gajah Santri, Gajah Abangan, Gajah Priyayi, apa-apaan itu? bahkan yang sangat lucu kita ikut menjunjung identitas adanya Gajah kikuk, Gajah tawa, Gajah cuek!! Itu semua bukan kita! Itu semua bukan Gajah.

Lihatlah, Elang tak memproses dirinya menjadi Elang kekampret-kampretan, Naga tak mengubah dirinya menjadi Naga kekalong-kalongan. Hanya kita yang dipaksa untuk tidak memiliki kejelasan namun disemati identitas palsu yang jelas. Sadarkah kalian wahai saudaraku para Gajah. Tak ingatkah kalian bahwa sanubari kalian adalah sanubari yang tercetak ribuan tahun dalam mengarungi peradaban. Kalian bukan makhluk baru yang masih bingung identitas dan menurut saja dijuluki segala macam dan dicetak dengan segala model yang diinginkan para Kampret, Kalong, Elang, Naga dan segala kroni-kroninya”

Para Gajah memperhatikan dan mengangguk-angguk menyadari ucapan demi ucapan Gajah yang sebelumnya dikenal cuek ini. Bahkan Gajah tawa melelehkan airmata betapa ia terlena banyak hal dan terlalu menyepelekan banyak hal. Gajah yang suka tertawa dan cerdas bikin bahan tertawaan ini diam-diam menyesal telah sangat sering menggunakan Gajah lain sebagai obyek tertawaan. Lebih-lebih kepada Gajah Kikuk.

Namun, demikian halnya Gajah Kikuk yang merasa dijebak habis-habisan dengan menjalankan modul dan model yang dicanangkan Elang. Ia bahkan rela bermusuhan kepada Gajah lain yang ia anggap tidak progresif dan tak paham situasi. Gajah kikuk menyesal telah membuat banyak Gajah kehilangan gadingnya, telah banyak mengobarkan kebencian, permusuhan, dan cercaan dengan dalih menegakkan perjuangan dan kasih sayang. Gajah kikuk yang patriotik ini pun melelehkan air mata, ia begitu tertikam perasaan sesal yang mendalam.

Kemudian Gajah cuek melanjutkan kembali perkataannya :

“Oleh sebab itu saudaraku, Tanggalkan semua sematan-sematan palsu yang membuat diri kalian terkurung dan terjebak dalam sebuah kendali lembut yang tak kalian sadari. Tidak ada lagi Gajah Cuek, Gajah Tawa, Gajah Kikuk. Tidak ada!! Yang ada hanyalah Gajah!

Tinggalkan sematan-sematan yang telah kalian tanggalkan karena kita bukan budak sematan, kita ini budak Tuhan, mari Tunggalkan tekad untuk manunggal meniti jalan perjuangan dan penataan hidup seperti halnya yang Tuhan kehendaki. Itulah cita-cita kita sesungguhnya. Itulah cita-cita purwa kita.”

Semua Gajah merinding mendengarkan perkataan saudaranya itu. Tiba-tiba hawa dingin bersemilir, kemudian makin kencang. Langit menggulung pekat. Mendung dan kilat bersambaran. Para Gajah tidak begitu menghiraukan, mereka makin merapatkan diri untuk menghangatkan badan karena mendung itu disertai hawa yang dingin. Mereka masih mendengarkan Gajah yang tiba-tiba saat sangat banyak berbicara ini.

Gajah makin merapatkan diri. Makin rapat. Makin Rapat hingga seakan-akan mereka saling terhimpit. Tiba-tiba mereka semua dibalut selapis demi selapis tirai sutra. Makin lama makin tebal menghangatkan mereka. Makin lama makin tebal dan mereka semua terbungkus dalam sebuah kepompong raksasa. Kepompong makin mengeras. Makin mengeras dan menjadi cangkang. Kepompong menjelma menjadi telur. Telur yang sangat besar. Telur yang di dalamnya terdiri dari sekian kumpulan penderitaan dan pengalaman tempaan dan kamanunggalan. Telur yang di dalamnya berisi para Hasti, para pelaku yang Esti, yang bersungguh-sungguh. Semua itu adalah unsur yang kemudian melebur dalam sebuah proses di dalam telur yang sangat besar itu. Setiap Elang dan Naga mulai cemas. Usaha dilakukan untuk menghancurkan telur tersebut. Namun upaya mereka gagal oleh hempasan angin, atau oleh tanah yang bergejolak, atau oleh kilatan-kilatan petir yang menyambar cepat, atau oleh guyuran air yang meluap ganas.

Kampret dan Kalong sudah mengungsi jauh menghindari malapetaka. Elang dan Naga tercerai berai dalam kecemasan yang luar biasa.

Diam-diam di berbagai sudut dan pelosok bumi muncul beberapa klan yang dianggap telah punah. Ternyata selama ini mereka menunggu, mereka terlindas di bawah kesombongan jaman. Dan, kini mereka mulai terbangun, sebab yang selama ini mereka tunggu telah hadir. Yang mereka nantikan telah tiba. Mereka bersiap menyatukan diri dan menjadi mitra perjuangan bersama sang pemimpin sejati. Semua klan yang telah terbangun ini dengan sigap segera melesat menuju telur, ada yang dari jauh ada pula yang dari dekat. Mereka datang dari penjuru Bumi. Mereka kemudian melingkari dan berjaga di sekeliling telur dengan kewaspadaan tinggi akan segala ancaman yang coba menggagalkan menetasnya sang telur. Inilah telur yang mereka tunggu dengan kesiapan yang matang. Mereka semua tidak hanya menunggu dengan tidur-tiduran. Mereka mempersiapkan segala hal yang kini siap disumbangsihkan dalam perjuangan.

Mereka tanpa lelah berbaik sangka akan datangnya peristiwa ini. Menetasnya sang pemimpin yang akan mereka ikuti ajakannya dan yang akan mengajak pada perbaikan yang nyata. Inilah Simurgh, inilah Feniks, inilah Krut, inilah Karura, inilah….  Sang Garuda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun