Mohon tunggu...
Humaniora

Seri Gamelan Hidup V

14 November 2016   09:41 Diperbarui: 14 November 2016   10:51 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemakmuran Palsu adalah Jawaban bagi Kerentanan

Elang memperhatikan kata-kata paduka rajanya bahwa para Gajah sanggup menjalani kesulitan demi kesulitan bahkan mengalami keterpecahan adalah karena mereka sesungguhnya masih memiliki satu kepercayaan. Kepercayaan ini masih susah untuk dipecah apalagi dihancurkan. Para Gajah masih menunggu jawaban dari modul dan model yang diberikan Elang kepada para Gajah. Para Gajah masih menunggu datangnya negeri yang dibangun berkesesuaian dengan kehendak Tuhan. Sedangkan apa yang menjadi modul dan modelnya adalah makin menjauhkan dari jawaban tersebut. Ini agak mencemaskan, ditakutkan para Gajah akan tersadar dan membangun kekuatan dan mengadakan perlawanan. Meskipun saat ini masih tampak mudah dikendalikan namun kekuatan gajah yang bersatu benar-benar menakutkan. Sekali Gajah membangun ikatan sosial, itu berarti butuh kerja keras untuk kembali dibuat hancur.

Elang kemudian membanting strategi. Diam-diam dia menyiapkan formula untuk memberikan ilusi kemasyhuran kepada para Gajah. Beberapa Gajah mulai dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan berskala internasional. Satu Gajah saja dilibatkan seluruh Gajah dipenjuru negeri Gajah akan menganggap sebagai salah satu indikator bahwa para Gajah sudah mulai menuju sebagai negeri yang mampu berbicara di kancah dunia. Diakui prestasi dan kehandalannya. Beberapa Gajah dilibatkan dalam proyek-proyek legendaris sebagai figuran. Disusul kemudian dimenangkannya Gajah dalam sebuah kontes berlevel dunia. Bertubi-tubi tapi eceran ini diberikan kepada negeri Gajah yang selama ini sudah sangat haus terhadap terangkatnya kembali martabat dan kesetaraan, oleh karenanya ; meskipun diberi setetes, dua tetes, mereka akan benar-benar bersyukur dan berbahagia siang malam.

Periode ini kelak akan dikembangkan sebagai modal untuk mengurung para Gajah dengan kemasyhuran dan kemakmuran yang seakan-akan menjadi impian mereka sejak lama. Namun, Elang tahu bahwa kemasyhuran dan kemakmuran itu tidak boleh muncul secara mandiri dari kedaulatan para Gajah. Elang harus mengambil peran dengan seakan-akan berkat jasa para Elanglah kemasyhuran dan kemakmuran itu didapatkan. Maka, meskipun para Gajah pesakitan ini nanti mendapat apa yang mereka impikan, sesungguhnya mereka tetap akan terlena dengan sekian banyak sawah dan ladang yang seharusnya mereka jaga. Malah, para Gajah dengan sukarela bekerja ikut membajak dan menebangi hutan-hutan untuk perluasan kemasyhuran dan kemakmuran palsu yang digagas oleh para Elang.

Memang pada kondisi ketertindasan tertentu, banyak aspek yang akan dilupakan. Kadang banyak aspek primer justru malah disekunderkan dan banyak aspek sekunder bahkan tersier diprimerkan. Demikian Elang memain-mainkan situasi dengan gong-gong peristiwa yang dimainkan klan Naga.

Salah satu aspek primer yang semula dijaga dengan sungguh-sungguh para Gajah adalah martabat. Hingga pada kondisi tertentu martabat terbukti tak mampu mengenyangkan dan menjawab persoalan-persoalan berbiaya, maka martabat ini akan dengan sendirinya tergusur dengan digantikan orientasi hidup baru yang dianggap lebih menjawab persoalan. Meskipun untuk hal itu maka konsekuensi Gajah untuk kehilangan martabat sangat terbuka.

Elang dengan terampil mengkondisikan kerentanan-kerentanan yang diakibatkan oleh pilihan pilihan prinsip yang dijunjung para Gajah. Ketika kerentanan itu sudah dirasakan maka yang diharapkan hanyalah solusi. Dengan demikian Elang akan memberikan solusi yang diikuti para Gajah tanpa pertentangan.

Kembali suara datang kepada Elang, suara yang selalu membuat berkidik dan menekan perasaaan

“Hai Elang”

“Hamba paduka”

“Aku lihat kau memperhatikan ucapanku, bagus”

“Terima kasih paduka, semua atas petunjuk paduka”

“Aku akan memberimu dua hal yang perlu kau garap dengan baik dan rapi untuk menghancurkan negeri Gajah secara paripurna”

“Hamba bersedia dan menerimanya dengan kedua tangan terbuka ya paduka raja”

“Pertama, jangan sampai Gajah punya Budaya. Kalaupun mereka harus punya maka harus mengambil kebudayaan dari klan lain”

“Baik paduka raja”

“Kedua, jangan biarkan Gajah punya keyakinan kepada Tuhan, kalaupun mereka akan melanjutkan bentuk-bentuk upacara keyakinannya, jadikanlah itu sebagai cangkang-cangkang kosong tanpa isi. Buatlah mereka seakan-akan menjalankan secara aplikatif keyakinannya namun bahwa puncaknya bukan untuk terjalin kepada Tuhan melainkan terbentuknya kekosongan-kekosongan itu karena isinya harus dipenuhi oleh cara-cara hidup yang lebih umum, yang sudah disepakati secara luas oleh semua klan di bumi”

“Baik paduka, hamba akan memperhatikan petunjuk paduka ini”

“Setelah itu kau jalankan, maka bukan hanya negeri Gajah yang akan hancur namun seluruh klan yang diam-diam masih menunggu munculnya kekuatan yang membebaskan mereka dari belenggu”

“Apakah para klan itu menganggap bahwa penolong itu adalah negeri Gajah ya paduka?”

“Tidak bisa dipastikan, tapi kau harus ingat bahwa para Gajah ini akan berkepompong”

Tiba-tiba, Elang berusaha sekuat tenaga menahan tawanya, dan menutup rapat kelopak mata serta menjaga nafasnya supaya tak satupun gerakan dari dirinya yang sesungguhnya sangat geli ini tertangkap dan menyinggung perasaan paduka rajanya itu.

___

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun