Mohon tunggu...
Nurfi Majidi
Nurfi Majidi Mohon Tunggu... Bankir - 25 tahun menjalani aktivitas di sebuah bank BUMN. Saat ini ingin lebih fokus melakukan perjalanan ke dalam agar menemukan makna hidup yg sejati

Bermimpi , berpikir dan bertindak sederhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budi Sibuk Sekali

17 September 2015   04:34 Diperbarui: 17 September 2015   04:34 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari-hari Budi sibuk sekali. Sejak bangun tidur , yang ada di kepala Budi adalah serentetan tugas-tugas kantor yang harus diselesaikan hari itu. Belum juga beranjak dari tempat tidur, kepala Budi sudah panas duluan. Walaupun fisik Budi masih di rumah, tapi pikirannya sudah ada di kantor. Selanjutnya bisa ditebak bagaimana wajah Budi, bagaimana kehangatan Budi berinteraksi dengan anak dan istrinya. Tanpa rasa, tanpa makna. Hambar. Sedikit saja terjadi interupsi, emosi mudah meledak. Semua anak-anak harus tepat waktu, kapan bangun tidur, kapan mandi, kapan persiapan berangkat sekolah. Jika ada yang lelet karena sakit perut misalnya, alamat Budi bakal marah-marah. Begitu ketatnya jam kerja Budi, sampai nggak peduli bagaimana anak-anaknya yang masih kelas satu dan dua SD harus pula mengikuti irama kerja Budi. Semua tegang. Semua terburu-buru. Karena anak-anak diantar Budi sekalian pergi ke kantor, maka jam setengah enam rombongan sudah keluar rumah. Sampai di sekolahan belum jam enam. Belum ada satupun temannya yang datang. Bahkan satpam sekolahan pun belum membuka pintu gerbang sekolahan. Tapi anak-anak Budi yang kebetulan satu sekolahan sudah berdiri di depan gerbang.

Bagi Budi datang ke kantor sepagi mungkin adalah kepuasan kerja. Begitu juga kalau jam pulang. Walau jam kerja sampai jam 5 sore, tapi rasanya ada yang aneh kalau dia pulang jam 5 sore. Sayang kalau harus pulang tepat waktu. Masih ada beberapa jam lagi dan masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Memang masih ada hari esok. Tapi bagi Budi, menunda esok hari bukanlah cara menyelesaikan pekerjaan yang baik. Tidak ada jaminan esok hari tidak ada kerjaan lain yang juga harus dia selesaikan. Jam sembilan malam adalah paling cepat ke luar kantor. Sampai di rumah, tidurnya pun sudah tidak nyenyak. Seolah dia tak rela tidurnya hanya berlalu begitu saja. Kalau bisa mimpinya pun tentang penyelesaian pekerjaannya di kantor. Luar biasa.

Kalau hanya berlaku untuk dirinya, barangkali situasinya masih bisa dilokalisir. Namun yang terjadi, Budi juga ingin anak buahnya juga mempunyai cara yang sama dalam urusan kantor. Datang terlambat, bagi Budi adalah aib. Begitu juga pulang teng-go alias jam 5 teng langsung go, juga aib. Pulang malam alias lembur bagi Budi adalah bentuk loyalitas. Dia akan memberikan apresiasi yang lebih kepada karyawan yang datang lebih pagi dan hobinya lembur.

15 tahun sudah Budi menjalani hidup dengan Irama seperti robot. Hidupnya mengalir dari tugas satu ke tugas kantor yang lain. Dan anak istrinya pun sudah terbiasa dengan irama kerja bapaknya. Sabtu Minggu kadang mereka harus merelakan bapaknya tidak di rumah namun asyik di kantor mengerjakan pending-pending tugas yang tidak bisa dikerjakan di hari kerja. Malah mereka menganggap aneh kalau bapaknya pulang jam 5 sore atau Sabtu Minggu ada di rumah. Sebenarnya mereka sedih, karena kehilangan sosok Bapaknya . Walaupun secara fisik hadir di depan mereka, namun jauh dari hati.

Budi sendiri sudah tidak tahu apakah sebenarnya dia itu hidup di masa lalu, masa kini atau masa depan. Baginya tiga masa itu sama saja. Masa lalunya ya kurang lebih sama dengan masa kini, dan sudah terbayang masa depannya pun tidak akan jauh berbeda. Paling tidak sampai dia pensiun sepuluh tahun lagi. Yang dia rasakan berbeda barangkali adalah uban yang mulai tumbuh, tambahan kacamata saat membaca dan mudahnya terserang flu atau masuk angin saat kena angin malam atau kurang tidur.

Perbedaan kedua adalah anak-anaknya sudah tumbuh besar. Namun karena hidupnya yang sangat mekanis, menyebabkan cara pandangnya terhadap anak-anaknya juga mekanis. Kalau tidak karena sang istri yang selalu mengingatkan bahwa anak-anak perlu kehadiran dan perhatian bapaknya, sepertinya dia memandang anak hanya sebagai seonggok daging yang diberikan makanan lalu membesar.

Budi adalah tipe pekerja yang detail. Dia harus yakin betul bahwa setiap detail tugas berjalan sesuai rencana. Bahwa setiap siapa mengerjakan apa sudah dipahami setiap pihak yang terkait. Budi mengabaikan bahwa setiap sub sistem kehidupan itu saling terkait dengan ribuan sub sistem lainnya. Bahwa anak buahnya selain sebagai pegawai di kantornya juga sebagai anggota keluarga di rumah masing-masing, sebagai anggota masyarakat di lingkungannya. Jadi Budi tidak bisa menerima setiap alasan anak buahnya yang tidak masuk kantor yang menyebabkan rencananya gagal hanya karena urusan keluarga.

Anak buah pun mulai kecapekan mengikuti irama kerja Budi. Terbayang di benak mereka, jika kondisi ini masih berlangsung 3-5 tahun ke depan, bakalan rontok semua. Adanya yang sakit tipus, radang lambung atau radang empedu. Paling ringan migren atau sariawan. Mereka pun sepakat berdoa semoga Pak Budi segera dimutasikan di tempat lain.

Sebenarnya, pada titik tertentu, Budi juga kelelahan. Lelah fisik dan lelah mental. Dia juga ingin keluar dari kondisi yang melelahkan ini. Tapi dia tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukan terobosan. Bahkan untuk sekedar sejenak rileks menikmati hidup dan tanpa memikirkan kantor dalam beberapa menit. Untuk sekedar bersantai dan penuh ketulusan memperhatikan dan bercengkerama dengan anak dan istrinya yang sudah setia menemaninya 17 tahun.

Kesibukannya bekerja juga telah mengganggu hubungan komunikasinya dengan Yang. Maha kuasa. Sholatnya sudah sulit untuk khusyu' lagi. Gerakan dan bacaan sholat yang mempunyai mana penghambatan makhluk kepada Sang Khalik berubah menjadi gerakan dan bacaan mekanis. Sekedar memenuhi kewajiban.

Budi merasa ada makhluk lain di dalam dirinya. Atas nama pekerjaan, target dan perintah atasan, makhluk itu membawa Budi melanglang buana ke dunia robot. Dunia yang mekanis. Dunia yang tanpa nilai dan tidak ada rasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun