Mohon tunggu...
Majid Efendi
Majid Efendi Mohon Tunggu... -

Hanyalah orang biasa yang memiliki hobby trekking, menikmati dan mensyukuri keindahan alam, dan semua ciptaan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenangan Manis Puncak Garuda Gunung Merapi

3 Desember 2011   06:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:53 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_147090" align="alignleft" width="393" caption="Gunung Merapi dari Sisi Utara"][/caption] Mengenang kembali masa muda memang sering memicu rasa syukur saya akan karunia Tuhan yang tak terhingga. Sebagai sebuah nostalgia bayang-bayang nyata yang pernah saya alami, kenangan menyusuri lebatnya hutan Gunung Merapi menjadi sebuah kesan tersendiri bagi sisa perjalanan hidup saya. Sebuah kenangan manis merengkuh Puncak Garuda di ketinggian 2.911 meter diatas permukaan laut.

Dini hari itu, sekitar tahun 2002, gelap masih membalut hutan Gunung Merapi, Jawa Tengah, dimana kami bersama rombongan menyusuri trek kecil jalur utara gunung yang dikabarkan paling aktif di dunia tersebut. Bersama beberapa pendaki lain, saya berusaha keras mengatur nafas dan tenaga agar perjalanan ke Puncak Garuda, yakni sebutan untuk puncak Gunung Merapi, dapat berjalan lancar sehingga kami dapat menikmati siraman mentari pagi di titik tertinggi gunung tersebut tepat waktu. Normalnya, 4 jam harus kami tempuh untuk dapat berpijak di Puncak Merapi dari Base Camp Selo, desa terakhir pada jalur utara, dengan waktu istirahat kurang dari 30 menit.

Pos demi pos kami lalui tanpa hambatan berarti. Semua pendaki nampak antusias untuk segera menapakkan kaki di Puncak Garuda. Tidak terasa, kami telah mendaki lebih dari separuh jalan, sirat keletihan terasa sirna tertutup canda tawa dan obrolan khas pendaki, diiringi suara binatang malam yang tentu sangat jarang kami dengar di kehidupan kota. Air putih pun serasa menjadi minuman paling enak tatkala trek-trek terjal harus kami lalui, sekitar 1 jam sebelum Pasar Bubrah, yakni sebuah spot peristirahatan favorit para pendaki sebelum naik ke puncak.

Hutan eidelweiss yang dibalut dengan vegetasi alami menjadikan trek waktu itu sangat menawan, meski kami melewatinya dalam keadaan cukup gelap. Temaram bulan yang belum sepenuhnya purnama sangat membantu penglihatan kami di tengah redupnya daya baterai dari senter-senter bawaan kami. Jauh di angkasa, beberapa meteor, yang popular dengan sebutan “bintang jatuh” pun menambah keasyikan dan optimisme kami waktu itu untuk segera mencapai puncak.

[caption id="attachment_147091" align="alignright" width="442" caption="Trek dari Pasar Bubrah ke Puncak Garuda"][/caption] Tiba di Pasar Bubrah, atau beberapa pendaki juga sering menyebutnya Pasar Bubar, kami pun memutuskan beristirahat sejenak sambil menikmati bekal ala kadarnya, maklum dengan berbagai pertimbangan, makanan pun hanya kami persiapkan yang instan. Di ketinggian sekitar 2.400 meter diatas permukaan laut itupun, kami memasang tenda dan membuat perapian untuk mengusir rasa dingin dini hari itu. Sementara teman lain mempersiapkan kompor dan perlengkapan memasak, saya pun mulai mengeluarkan bahan makanan berupa mie instan, roti, teh, serta makanan kecil lainnya.

Alhmadulillah, rasa syukur saya tiba-tiba bertambah tatkala lapar dan dahaga yang saya rasakan ternyata segera terobati oleh sepotong kue dan coklat yang juga saya bagikan ke teman-teman lain. Bayangan saya waktu itu tertuju pada cerita beberapa pendaki yang tersesat dan minim makanan dalam terpaan dingin dan terjalnya medan. Memang sebagian besar pendaki telah dibekali pengetahuan seni bertahan hidup (survival), namun dengan kondisi tersesat, kue dan coklat hanyalah sepotong makanan sebagai sumber energi, tidak lebih. Sementara dengan kondisi kami waktu itu, apapun makanannya terasa sangat lezat karena dibalut dengan kebersamaan dan optimisme.

Setelah beberapa lama menunggu air masak, segelas teh panas yang hanya terasa hangat akibat dinginnya suasana saya bagi dengan teman-taman lain. Sepotong roti bakar juga kami bagi seraya menunggu masakan mie instan siap disajikan. Obrolan dan cerita-cerita lucu dari teman-temen pendaki pun menambah riuhnya suasana di Pasar Bubrah wakt itu, padahal sehari-hari, tempat tersebut layaknya raksasa bisu yang tak terdengar suara apapun kecuali angin gunung yang berhembus kencang. Sungguh, waktu itu Pasar Bubrah bagaikan pasar yang sangat ramai dengan para pedagang.

Tak terasa 30 menit berlalu, jam masih menunjukkan pukul 3.30 pagi padahal matahari terbit sekitar pukul 5 lebih 20 menit. Perjalanan ke Puncak Garuda hanya memakan waktu kurang dari 45 menit dan jika terlalu lama di puncak, kami pun akan merasakan kedinginan yang luar biasa. Beberapa teman nampak tertidur pulas akibat kecapekan, sementara beberapa yang lain masih berjuang melawan dingin dengan gaya khas mereka masing-masing, ada yang merokok, berjingkrak-jingkrak, serta merapat ke api unggun yang beberapa menit yang lalu telah mulai redup akibat kehabisan bahan bakar.

Saya bersama beberap teman menghabiskan waktu itu dengan gurauan serta cerita masing-masing hingga akhirnya 30 menit terlewatkan. Waktu telah menunjuk pukul 4 pagi, kami pun berbenah untuk segera menuju puncak sementara beberapa teman memutuskan untuk meneruskan tidur lelapnya di dalam tenda dome buatan anak negeri. Packing kedua kami lakukan, sejumlah peralatan sengaja tidak kami bawa karena trek dari Pasar Bubrah menuju Puncak Garuda terbilang paling sulit di jalur utara Gunung Merapi dan membutuhkan keseimbangan ekstra. Hanya tas kecil yang kami bawa yang berisi kamera, makanan, serta minuman secukupnya.

Bebatuan labil yang jika tidak hati-hati akan terlepas dari tempatnya dan menggelinding kebawah harus kami lalui untuk mencapai Puncak Garuda. Pelan tapi pasti, tapak kaki kami mulai menyusuri trek yang nyaris tak kentara akibat tertutup debu serta menyatu dengan bebatuan disampingnya. Nampak di kejauhan, kerlip lampu di rumah-rumah penduduk masih menghiasi suasana waktu itu, yang kami yakin belum menyentuh waktu Shubuh. Disoroti sinar bulan yang cukup terang, kami pun berhasil melewati kawah mati, sebuah kawah yang dulunya pernah aktif dan menjadi salah satu sumber lava yang turun menuju sungai Woro di wilayah Klaten, Jawa Tengah. Nampak beberapa tulisan hasil karya tangan-tangan jahil juga menghiasi bebatuan di tempat itu.

[caption id="attachment_147095" align="alignleft" width="412" caption="Kawah Mati Gunung Merapi"][/caption] Berhenti sejenak untuk melepas lelah, kami pun berkumpul di dekat bebatuan besar yang melindungi kami dari angin puncak yang semakin menambah dingin suasana. Sayup-sayup terdengar suara Adzan Subuh menggema dari rumah-rumah penduduk, jauh di 2.900 meter di bawah kami berlindung. Sebagai seorang Muslim, saya sempatkan waktu untuk menunaikan ibadah wajib tersebut sejenak, seraya menahan dinginnya angin puncak yang bertiup kencang. Setelah bertayamum, saya benamkan hati dan jiwa kedalam komunikasi sakral dengan Sang Pencipta, tempat saya benar-benar berlindung dan mengucap syukur atas semua anugerah yang diberikan-Nya.

Lega hati karena sebuah kewajiban telah saya jalankan, meski dalam semua keterbatasan. Tepat di ufuk timur, langit mulai berubah warna. Matahari akan segera terbit.  Sepintas, pemandangan menakjubkan itu bak lukisan dari khayangan yang akan menghipnotis semua yang melihatnya. Sungguh Tuhan Maha Indah, dengan segala keindahan-Nya. Terlebih silhouette Gunung Lawu yang menjulang tinggi hingga 3.256 meter diatas permukaan laut berada disamping arah matahari terbit tersebut sehingga menambah indahnya suasana di timur jauh. Kerlip lampu-lampu di kota Solo yang searah dengan Gunung Lawu juga menjadi sebuah daya tarik yang menghantarkan kami kepada kesimpulan bahwa memang Tuhan Maha Besar, dan manusia hanyalah debu yang sangat kecil, menggembara dalam kehidupannya di alam bebas yang sangat luas.

[caption id="attachment_147096" align="alignleft" width="398" caption="Sunrise di Puncak Merapi"][/caption]

Sejenak kemudian, matahari mulai menampakkan keindahannya. Cepat-cepat saya keluarkan kamera saku dan mengabadikan beberapa moment penting matahari terbit dari Puncak Merapi yang memiliki ketinggain 2.911 tersebut. Sejurus kemudian, di belakang kami nampak Puncak Garuda menjulang tinggi seakan ingin menggapai langit. Puncak dengan sejuta kenangan bagi para pendaki tersebut terlihat anggun dibalut sinar matahari pagi. Subhanallah, sungguh sebuah keajaiban dunia yang mampu membangkitkan rasa syukur saya akan kebesaran Ilahi. Tepat dibawah bebatuan indah itu, kawah Merapi tertutup lava beku yang beberapa tahun lalu sempat menjadi tontonan para turis karena warnanya yang merah dan sedikit demi sedikit runtuh.

[caption id="attachment_147094" align="alignright" width="417" caption="Puncak Garuda sebelum Gempa Bumi Jogja Tahun 2006"][/caption] Waktu itu, Puncak Garuda masih kokoh berdiri, seperti raksasa yang sedang memamerkan tubuh besarnya. Jurang di bawahnya menambah kengerian bagi mereka yang tidak terbiasa menatap dari ketinggian. Nun jauh disana, terlihat juga gugusan Gunung Sumbing, Sindoro, dan Perahu. Sungguh sebuah pemandangan gugusan cincin api dunia yang menakjubkan, yang tentu akan terus ada dalam benak kami sebagai pendaki. Bahkan meskipun kaki-kaki kami telah lebih dulu menapak di gunung-gunung tersebut, nuansa dan gambaran dari puncak Gunung Merapi tetap membuat kami takjub, seraya bersyukur bahwa kami telah diberi kesempatan untuk menyaksikan ciptaan Tuhan Yang Maha Indah.

Setelah puas menikmati indahnya pemandangan waktu itu, kami pun mulai berkemas untuk kembali turun, berbaur dengan beberapa teman lain yang sengaja tidak naik ke puncak dan menunggu peralatan kami di Pasar Bubrah. Nampak dari puncak, tenda-tenda yang kami pasang 3 jam sebelumnya terlihat begitu kecil dan hampir tertutup bebatuan sebesar gajah yang berserakan di tempat itu. Trek kecil yang kami lalui satu jam yang lalu juga hampir hilang dari pandangan akibat kabut tipis yang mulai menyelimuti puncak. Kami pun bergegas turun sebelum suasana semakin dingin.

Tiba di Pasar Bubrah, kami berkemas untuk turun. Cukup sudah, dahaga kami akan Puncak Garuda telah terobati dan saatnya kembali ke peradaban. Perjalanan turun memang sangat curam. Kami bisa saja mengambil jalur lain seperti Jalur Kinahrejo di lereng selatan, Jalur Babadan di lereng barat, maupun Jalur Selo di lereng utara, akan tetapi karena pertimbangan kondisi trek dan transportasi, kami pun memilih jalur utara, menyusuri trek yang sebelumnya kami pakai untuk naik. Meskipun terbilang paling curam, trek utara atau lebih popular dengan sebutan Jalur Selo tersebut tetap menjadi jalur favorit karena jaraknya yang paling dekat ke desa terakhir. Bahkan bagi sebagian pendaki, perjalanan dari Puncak ke Base Camp Selo hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam.

Dengan sisa-sisa tenaga, kami pun turun dan Alhamdulillah, selama lebih kurang 3 jam perjalanan turun, kami tiba di Base Camp. Sedikit melemaskan otot-otot dengan tiduran di balai-balai bambu, kami beristirahat sejenak sebelum menuju ke tempat pemberhentian angkot menuju terminal Magelang. Tidak berapa lama, kami pun disambut pemilik rumah dengan teh panas dengan keramahtamahannya. Cerita-cerita seru beliau tentang Merapi serta dari para pendaki lain yang telah lebih dulu berada di tempat itupun sempat menarik perhatian kami. Memang, Merapi menyimpan banyak kisah haru ketika satu dua pendaki harus menghadap Sang Pencipta akibat tersesat maupun kedinginan. Kami pun juga membuktikan di sekitar Pasar Bubrah, ada beberapa In Memoriam, yaitu tugu-tugu kecil yang dibuat untuk mengenang beberapa pendaki yang meninggal di Gunung Merapi.

Waktu  serasa berjalan cepat, kami bergegas mencari angkot sebelum kehabisan karena transportasi dari Selo ke Terminal Magelang hanya terbatas pada jam-jam tertentu, selebihnya kami harus ngojek atau menyewa mobil. Akan tetapi, meski kami putuskan untuk meninggalkan Base Camp Selo dan Merapi Waktu itu, angan kami terus terisi dengan kenangan indah tersebut. Kenangan kebersamaan dan optimisme para pendaki yang haus akan keindahan ciptaan Tuhan.

Kenangan itu terasa lebih indah ketika beberapa tahun kemudian, saya kembali ke Puncak Garuda dan mendapati batu besar itu telah miring, nampak hampir roboh dan tidak sekokoh dulu lagi. Gempa bumi dahsyat yang sempat mengguncang wilayah Jogja dan Jawa Tengah tahun 2006 yang lalu nampaknya telah berdampak pada struktur Merapi, khususnya Puncak Garuda. Puncak itu bahkan bukan lagi menjadi titik tertinggi Gunung Merapi karena lava beku yang ada disampingnya kian membumbung dan menambah ketinggian Merapi yang saya taksir saat itu lebih dari 2.911 meter di atas permukaan laut. Dengan bantuan kamera saku digital yang saya persipakan jauh-jauh hari, saya sempat mengabadikan bekas titik tertinggi Gunung Merapi tersebut dalam sebuah foto.

[caption id="attachment_147093" align="alignleft" width="434" caption="Puncak Garuda setelah Gempa Bumi Jogja Tahun 2006"][/caption] Setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010, saya belum menyempatkan diri untuk menengok Puncak Garuda. Kata beberapa teman pendaki, bahkan Puncak Garuda telah lama runtuh dan hanya meninggalkan bekas-bekas bebatuan yang berserakan. Jalur utara pun menjadi lebih sulit karena penuh dengan pasir letusan tahun tersebut. Terlebih dalam kondisi hujan, trek menjadi sangat berbahaya dan banjir lahar dingin pun akan membayangi para pendaki.

Kini, saya hanya bisa berkata bahwa Puncak Garuda Gunung Merapi di Jawa Tengah yang sangat tersohor pada jamannya telah sirna. Namun demikian, bagi saya kenangan manisnya akan senantiasa ada, menyatu dalam jiwa dan semangat saya sebagai seorang pendaki yang selalu bersyukur bahwa Tuhan Yang Maha Pemurah telah memberi kesempatan kepada saya untuk melihat keberadaan puncak tertinggi Gunung Merapi dengan segala keelokannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun