Mohon tunggu...
Majid Badaruddin
Majid Badaruddin Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan CSR dan Sustainability Enthusiast

Saya adalah seorang konsultan pada bidang CSR/TJSL. Menyukai isu-isu keberlanjutan (Sustainability), pengukuran dampak program, dan pegiat pemberdayaan. Saat ini menjadi Sustainability Impact Analys di Filantra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Angka ke Dampak: Meningkatan Capaian SDGs Indonesia Dengan Pengukuran yang Tepat

16 Desember 2024   18:15 Diperbarui: 16 Desember 2024   18:15 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: SDG Index Indonesia tahun 2024 (Sumber: https://dashboards.sdgindex.org/)

Sejak disepakati dalam Sidang Umum PBB pada 2015, Sustainable Development Goals (SDGs) telah menjadi kompas global untuk pembangunan berkelanjutan. Agenda ini mencakup 17 tujuan utama yang meliputi pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, perlindungan lingkungan, hingga peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Bagi Indonesia, SDGs telah diadopsi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai bagian dari visi pembangunan berkelanjutan. Namun, capaian SDGs Indonesia pada 2024 mencerminkan tantangan besar yang harus segera ditangani. Menurut laporan Sustainable Development Report 2024, skor SDG Index Indonesia turun menjadi 69,4, lebih rendah dari tahun 2023 yang mencatatkan skor 70,16. Angka ini mengejutkan berbagai pihak, karena pasalnya hampir setiap tahun SDG Index Indonesia selalu naik, namun 2024 mengalami penurunan, ini menggambarkan perlambatan progres dalam memenuhi beberapa tujuan SDGs

Namun, penurunan skor SDG Index Indonesia ini bukan sekadar angka; ia mencerminkan tantangan mendasar dalam pelaksanaan program-program pembangunan yang berdampak langsung pada masyarakat dan lingkungan. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya pengintegrasian instrumen pengukuran dampak yang terstandarisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Di sinilah pentingnya pemanfaatan instrumen seperti Social Return on Investment (SROI), Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), dan alat pengukuran dampak lainnya untuk memastikan bahwa setiap upaya yang dilakukan tidak hanya menghabiskan sumber daya, tetapi juga memberikan hasil yang nyata dan berkelanjutan.

Instrumen seperti SROI dapat menjadi kunci dalam mengukur sejauh mana program SDGs benar-benar menciptakan nilai sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sebagai contoh, sebuah program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan tidak hanya diukur dari berapa banyak penerima manfaat yang terlibat, tetapi juga dampak jangka panjangnya, seperti peningkatan pendapatan keluarga, pengurangan ketergantungan pada bantuan, atau penciptaan peluang ekonomi baru. Dengan menghitung rasio SROI, program dapat dinilai apakah setiap rupiah yang diinvestasikan memberikan manfaat yang sebanding atau bahkan lebih besar bagi masyarakat.

Sementara itu, Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dapat digunakan untuk mengevaluasi bagaimana program pembangunan dirasakan oleh penerima manfaatnya. Dalam konteks SDGs, IKM relevan untuk mengukur dampak pada tujuan-tujuan yang berorientasi pada kualitas layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sebuah program pendidikan yang menargetkan peningkatan akses bagi kelompok rentan, misalnya, tidak cukup hanya dilihat dari jumlah sekolah yang dibangun atau buku yang disediakan, tetapi juga dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas pengajaran, keterjangkauan fasilitas, dan pengurangan hambatan seperti biaya pendidikan.

Lebih jauh lagi, pengukuran dampak berbasis data ini membantu mengidentifikasi celah-celah yang belum tersentuh oleh program. Misalnya, dalam konteks perlindungan lingkungan (SDG 13, 14, dan 15), pendekatan berbasis dampak dapat mengevaluasi efektivitas program restorasi hutan atau konservasi laut tidak hanya dari luas area yang dilindungi, tetapi juga dari perubahan ekosistem yang terukur, seperti pemulihan populasi spesies endemik atau peningkatan keanekaragaman hayati.

Penerapan instrumen seperti SROI dan IKM juga memungkinkan adanya pendekatan berbasis bukti (evidence-based approach) dalam pembuatan kebijakan. Dengan data yang konkret dan terukur, pemerintah dapat menyusun strategi pembangunan yang lebih adaptif, tepat sasaran, dan terintegrasi. Sebagai contoh, jika sebuah program pembangunan infrastruktur di daerah pedesaan menunjukkan nilai SROI yang rendah karena kurangnya akses masyarakat terhadap fasilitas tersebut, pemerintah dapat segera menyesuaikan pendekatannya dengan melibatkan masyarakat lokal lebih aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan.

Dengan demikian, ke depan, pengintegrasian instrumen-instrumen pengukuran dampak ini bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi menjadi elemen yang esensial dalam perjalanan Indonesia untuk mengejar target SDGs. Melalui pendekatan yang lebih strategis dan berbasis dampak, Indonesia memiliki peluang untuk tidak hanya meningkatkan skornya di SDG Index, tetapi juga menciptakan pembangunan yang lebih inklusif, efektif, dan berkelanjutan hingga 2025 dan seterusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun