Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekolah Tanpa PR, Memangnya Mengasyikkan?

14 Oktober 2016   12:19 Diperbarui: 14 Oktober 2016   23:46 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: greatschools.org

Beberapa waktu yang lalu ramai jadi pemberitaan ada kepala daerah yang melarang guru di daerahnya memberi PR kepada murid-muridnya. Tadi pagi saya baca di harian Jawa Pos, Mendikbud Muhadjir Effendy juga melarang adanya PR, LKS dan guru memberi les sepulang sekolah. Kualitas dan kuantitas waktu anak bersama keluarga menjadi perhatian Pak Menteri atas larangan ini. Nah, kalau Mendikbud yang melarang, wah dampaknya jelas lebih luas. Lalu, apakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah senang dengan larangan ini?

Namanya murid, rata-rata senang, bila sekolah tanpa membawa pulang PR, lha wong diberi PR ada saja yang nggak buat. Yang lupalah..., yang sulitlah...., yang ketinggalanlah.... Jadi larangan ini bagi sebagian murid jelas mengasyikkan. Tapi bukan berarti semua murid suka lho ya....! “Bu, aku minta diterangkan lagi tentang pecahan, aku masih kurang mengerti tentang itu. Kasih soal lagi, ya!” pinta murid saya. Masih ada anak-anak yang menyadari bahwa dia belum paham pada suatu permasalahan belajarnya. Butuh tambahan penjelasan dan soal-soal latihan (PR). Jumlah mereka memang tidak banyak dibandingkan dengan yang 'alergi PR'.

Ada guru yang rutin memberi PR, ada guru yang sesekali memberi PR, ada guru yang beri PR-nya menumpuk di akhir semester dan juga ada guru yang kalau PR tidak diperiksa. Semua itu kembali kembali style guru masing-masing. Sangat merugikan murid kalau guru sampai sama sekali tidak memberi PR. Bagi guru, juga akan kerepotan kalau murid-muridnya kurang bisa mengerjakan soal-soal karena kurang latihan. Kebutuhan memberi PR dipengaruhi bidang studi yang diajarkan. Ada mata pelajaran yang memang harus perlu banyak latihan seperti matematika, sebaiknya memberi PR secara rutin, tetapi ada pula PR berbentuk tugas yang cukup diberikan sesekali. Yang tahu ya guru itu sendiri dengan pertimbangan materi yang diajarkan serta daya serap murid.

Mendikbud menekankan pembelajaran harus benar-benar tuntas di sekolah, padahal PR yang dikerjakan secara mandiri di rumah mempunyai manfaat besar bagi siswa, antara lain :

  • Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah,
  • Membuat murid terlatih menyelesaikan soal-soal dengan cepat,
  • Melatih murid mandiri dalam mengerjakan soal yang berdampak lebih percaya diri,
  • Melatih murid bertanggung jawab atas tugas-tugas yang diberikan guru,
  • Melatih kemampuan murid bekerja sama dalam memecahkan masalah atas tugas-tugas kelompok yang diberikan oleh guru,
  • Memberi kesempatan murid menemukan cara-cara kreatif dalam memecahkan masalah.

Larangan memberi PR
Jika Mendikbud beranggapan bahwa PR banyak, malah dikerjakan oleh orang tuanya. Wah ya... ini memang contoh orang tua yang salah. Memang betul bila anak kesulitan membuat PR, anak akan bertanya kepada orang tua. Tetapi kalau sampai orang tua mengerjakan PR anaknya, ini teladan buruk.

Ini salah satu pernyataan orang tua murid saya yang anaknya kelas 5 SD, “Lha buku-buku paket pelajaran sekarang ini memang tidak bisa membuat anak belajar mandiri, mencari jawabannya tidak ada di buku itu. Saya awalnya tidak percaya, masak pelajaran SD kelas 5 begitu? Ternyata betul, harus browsing dulu di internet. Padahal jawaban di internet begitu luasnya. Anak kelas 5 SD bisa keblasuk (tersesat). Mana lagi soal-soal di buku paket minim sekali!”

Dalam keadaan seperti ini, otomatis orang tua turun tangan mendampingi belajar. Mencarikan jawaban, hal ini tidak bisa dikatakan orang tua yang mengerjakan PR anak. Buku pelajarannyalah yang bermasalah, apalagi untuk ukuran anak SD. Seyogyanya untuk ukuran pelajaran SD, yang meliputi pendidikan dasar seluruh materi ada di dalam buku. Wawasan anak SD belum perlu diperluas sampai harus browsing sendiri di internet. Materi-materi dasar cukup bisa memberi pengertian mendalam tentang konsep-konsep belajar tingkat dasar yang nantinya bisa dikembangkan di tingkat SMP. Yang terjadi saat ini buku paket Tematik SD isinya sangat dangkal. Guru harus mencari tambahan dari luar buku untuk memberikan latihan-latihan soal. Kurang tepat kalau muridnya sendiri yang disuruh mencari.

Larangan LKS
LKS sebagai buku yang berisi soal-soal latihan cukup membantu murid untuk mengerjakan soal-soal latihan sesuai materi di buku paket. LKS bisa melengkapi buku paket yang minim soal latihan. LKS dibuat oleh banyak penerbit, ada pula yang dibuat oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) di daerah. Bila tanpa LKS juga tidak masalah, guru-guru bisa membuat soal latihan sendiri untuk murid-muridnya. Apabila PR dilarang, LKS dilarang, pembelajaran dituntaskan di sekolah, arahnya kembali lagi ke full day school dong.....!!! Ada PR dibuat di sekolah atau tambahan pengayaan bagi kurang paham, apakah begitu maksud Mendikbud? Sementara pada pernyataan sebelumnya, Mendikbud ingin murid-murid tidak lagi menjamah bidang akademik di saat siang menjelang sore. Lha kan jadi bertolak belakang!

Bila memang LKS dilarang, ya tidak masalah. Tetapi kalau PR dilarang, tanpa mempertimbangkan sisi manfaat PR baik bagi murid dan guru sungguh sangat di disayangkan. Pemberian PR oleh guru ada manfaatnya. PR yang berlebihan atau tak sesuai dengan materi yang diajarkan memang tak layak bagi murid. Sebagai guru, saya masih meyakini bahwa PR sangat membantu murid-murid mencapai pemahaman yang lebih baik, dibandingkan tanpa PR. Saat ini saja, murid-murid sudah diberi PR dan mencapai pemahaman yang meningkat, toh juga masih terjadi 'lupa'. Ketika kembali ke materi itu, masih butuh penjelasan untuk mengingatkan. Apa jadinya kalau tanpa PR?

Materi tematik di SD saat ini lebih memuat cakupan yang luas, tetapi keilmuannya dangkal. Inilah salah satu penyebab murid menjadi mudah lupa, pemahamannya lebih secara garis besar saja. Apa jadinya kalau masih tanpa PR? Betapa sulitnya nanti guru mengevaluasi, dengan kondisi murid yang pemahaman atas materi pelajaran kurang optimal. Guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah akan kelabakan, sementara kebijakan dari atas harus dijalankan. Akibatnya bisa muncul sulapan nilai. Nilai bagus, tapi pemahamannya kurang. Posisi guru sungguh terjepit dengan kondisi ini!

Larangan Guru Buka Jasa Les
Sepertinya sudah banyak guru yang tidak membuka jasa les kepada muridnya sendiri. Ada beberapa penyebabnya, yaitu:

  • Larangan dari sekolah bagi guru untuk memberi les muridnya, sanksinya dipecat,
  • Tambahan pelajaran/les dikelola oleh sekolah,
  • Beban sertifikasi sudah menyita waktu guru, sehingga tidak ada waktu untuk buka jasa les,
  • Kesejahteraan guru sudah meningkat,
  • Guru juga butuh waktu untuk keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun