Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menyiasati Era Bonus Demografi : Jangan Manja, Jadilah Petarung!

21 September 2016   11:51 Diperbarui: 21 September 2016   12:14 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Bonus Demografi provinsi di Indonesia (sumber gambar: seputarpembahasan.com)

Indonesia adalah negara dengan penduduk yang jumlahnya sangat besar, dan tersebar di berbagai pulau di Nusantara. Sementara jumlah penduduk terbesar terkonsentrasi di Pulau Jawa, begitu pula dengan pertumbuhan ekonominya. Oleh sebab itu Pulau Jawa  diserbu oleh warga dari luar pulau. Tak bisa dihambat pula kalau tingkat urbanisasi makin tinggi dari waktu ke waktu. Yah, kenyataannya memang kalau mau mengalami peningkatan kesejahteraan harus datang ke kota-kota besar. Lapangan kerja di Pulau Jawa dan kota-kota besar lebih menjanjikan daripada menetap di daerah. Para petani, nelayan dan peternak sudah berpindah profesi meninggalkan pekerjaannya. Bekerja sebagai petani dan peternak dirasa tak lagi menuai untung. Penduduk mulai melirik profesi lain yang menjadi bagian dari industri yang sedang berkembang pesat. Menjadi buruh pabrik, pedagang atau berwiraswasta jadi pilihannya.

Gaya hidup masyarakat sekarang juga otomatis berubah oleh keadaan yang berjalan sesuai dengan proses perubahan zaman. Saat ini ukuran sejahtera itu, antara lain : naik kendaraan bermotor. Hampir semua anak-anak sejak usia SMP menuntut dibelikan sepeda motor pada orang tuanya. Saya pernah bertanya pada beberapa orang tua kalangan prasejahtera karena mereka tergolong penerima dana PKH dari Mensos, dimana anaknya sudah lulus SMU tetapi tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. “Anakmu kerja apa?” Ibu-ibu ini rata-rata menjawab,”Belum bekerja, baru mau bekerja kalau dibelikan sepeda motor!” Lho apa hubungannya? Belum lagi minta pakaian baru untuk nanti bekerja, padahal diterima saja belum. Generasi angkatan kerja di usia produktif yang terbebani dengan pola pikir kerdil seperti ini banyak lho! Apa mereka bisa diandalkan sebagai sosok yang tangguh dan mampu bersaing? Belum apa-apa sudah membangun “tembok” hambatan!

Sejak diberlakukan sekolah gratis, ternyata tak selalu positif tanggapan penerimanya. Tak jarang para murid sekolah ini justru bermalas-malasan karena kan tidak bayar. Masuk seenaknya, dikala gurunya agak galak, mogok sekolah. Pola asuh yang salah dan tidak mengarahkan anak-anak atau remaja untuk berusaha meraih cita-citanya seringkali menimbulkan problem komunikasi negatif antara orang tua dan anak. Ketika anak bersikap tidak sesuai keinginan orang tua, ia dimarahi tetapi tidak diarahkan. Hubungan renggang antara orang tua dan anak banyak terjadi di kalangan keluarga prasejahtera. Baru terasa ketika usia mereka sudah mulai memasuki dunia kerja. Sulitnya mencari pekerjaan bukan malah memicu semangat untuk berjuang, tapi malah patah arang. Saat ini saja banyak pengangguran usia produktif di kalangan prasejahtera ini. Bukan tidak ada pekerjaan, tetapi karena mereka seperti pilih-pilih pekerjaan dan tidak mau mendapat tanggung jawab berat tapi minta gaji besar. Berharap gaji UMR di awal kerja, sementara pengalaman nol. Anak-anak muda ini lebih suka nongkrong-nongkrong di kampungnya. Jumlah mereka tidak sedikit.

Tahun 2020 – 2030 diprediksi Indonesia akan memasuki era Bonus Demografi, yaitu dimana usia angkatan kerja (15-54 tahun) mencapai 70 persen dari jumlah penduduk. Tentunya ini merupakan sumber daya manusia yang luar biasa. Bisa dibayangkan apabila mereka semua mendapatkan pekerjaan yang layak maka betapa besar pertumbuhan ekonomi negara kita. Betapa meningkatnya kesejahteraan penduduknya. Kesejahteraan hidup meningkat pesat, karena angkatan kerja ini hanya menanggung 30 persen dari penduduk usia tidak produktif. Permasalahannya, saat ini saja usia produktif yang menganggur juga sudah banyak. Mereka tidak mendapatkan lapangan kerja, sebagian juga tidak bisa melihat peluang kerja, dan juga ada yang tak mengejar pekerjaan.

Ethos bekerja perlu ditanamkan sejak dini melalui pendidikan

Sebelum saya tahu dengan era Bonus Demografi ini, saya pun sudah menyadari bahwa dari waktu ke waktu tantangan generasi mendatang pasti lebih sulit daripada sekarang. Kesulitan yang saya alami saat ini dalam dunia kerja, belum apa-apa dibandingkan dengan masa anak saya nanti. Itulah prinsip yang saya pegang. Oleh sebab itu, sebagai orang tua saya harus menyiapkan anak saya sejak kecil untuk sanggup bersaing di masanya nanti. Ternyata kekhawatiran saya benar, saat ini anak saya berusia 19 tahun. Tiga tahun lagi saatnya ia lulus dari perguruan tinggi dan memulai kariernya di dunia kerja. Saat itulah ia harus bersaing dengan melubernya pekerja yang ada.

Sebagai orang tua, pendidikan adalah unsur utama menentukan masa depan seorang anak. Pendidikan dari rumah, sekolah dan lingkungan akan bersinergi sebagai modal bagi seorang anak untuk terjun ke masyarakat. Pendidikan dari rumah adalah menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik akan menjadi nilai-nilai kehidupan yang tertanam di benaknya, seperti : kejujuran, disiplin, tanggung jawab, spiritualitas, tertib, rajin, tepat waktu, menjaga kesehatan diri, peduli pada sesama dan lingkungan dan sebagainya. Nilai-nilai seperti ini tak bisa sekedar diajarkan, tetapi harus ditanamkan melalui proses pembiasaan untuk bisa diterima, diterapkan dalam kehidupan dan meresap menyatu dalam dirinya. Nilai-nilai seperti itu tak cukup hanya diajarkan, harus diberikan teladan, diawasi, diingatkan berkali-kali, digiring sampai menjadi nilai-nilai yang tumbuh subur dan berkembang dalam dirinya. Orang tua akan merasa berhasil dan lega apabila transfer nilai-nilai luhur keluarga itu mampu berjalan mulus.

Saya berkeyakinan setelah kelak dewasa, anak-anak itu akan menjadi manusia yang mandiri dan terjun ke masyarakat. Bekerja dan membentuk keluarga sendiri. Kita sudah tak mungkin lagi dapat ikut campur dalam urusan mereka, tetapi nilai-nilai luhur tentang kebaikan dan kebenaran yang tertanam subur di hatinya akan menjadi bekal yang akan sangat berguna dalam kehidupannya kelak. Mengasah suara hatinya dalam bersikap dan bertindak. Sebagai orang tua, hanya mendoakan semoga dilancarkan jalan kesuksesannya.

Pendidikan dari sekolah jelas menentukan kemampuan akademis seorang anak. Pemilihan sekolah yang tepat akan membentuk karakter anak dalam belajar. Saya menjatuhkan pilihan pada sekolah dengan disiplin yang baik dan tantangan belajar cukup sulit. Memang betul tidak mudah mencapai nilai unggul di sana. Tak mudah memecahkan permasalahan belajarnya, tugas-tugas yang menumpuk juga membuatnya kelelahan. Semua itu ada arti dan tujuannya. Janganlah jadi pelajar enak-enak, nilai bagus tapi kurang paham. Kejujuran dalam penilaian juga menjadi pertimbangan saya. Saya tahu, sungguh tak mudah mendapat nilai bagus di sekolah itu, bukan cuma soal-soalnya yang sulit, tetapi juga kejujuran gurunya dalam memberikan penilaian. Kemampuan seorang anak untuk bisa lolos dari sekolah-sekolah yang dilewatinya sejak SD sampai SMU membuahkan hasil dia mendapat kemudahan saat memasuki perkuliahan.

Pendidikan dari lingkungan masyarakat adalah penting, untuk apa pandai apabila seperti katak dalam tempurung. Sejak kecil anak-anak perlu dibiasakan bersosialisasi.  Dia tak canggung untuk bertegur sapa dengan siapapun. Dalam beberapa kesempatan ia pun ikut saya bekerja. Baru saya sadari ketika dia mulai remaja, kemampuan kepemimpinannya tempak menonjol. Sejak kecil ia ikut dan melihat saya dalam mengurusi pekerjaan, itu ada pengaruhnya. Ada sesuatu yang membekas di benaknya sehingga berpengaruh dalam pola pikir dan minatnya. Mengajaknya menjadi pribadi yang peduli dan ringan tangan menolong serta aktif dalam kegiatan-kegiatan di lingkungannya benar-benar menjadi modal dasar untuk terjun ke dunia kerja nantinya. Inilah peran pendidikan dari lingkungan yang membuatnya luwes terjun di masyarakat kalangan manapun.

Ethos bekerja sudah harus ditanamkan ke anak sejak dini, biarlah di kemudian hari dia memilah-milah dan mengambil manfaatnya. Semua itu tak ada yang sia-sia. Sudahkah waktu sekitar 15 tahun saat mereka masih kanak-kanak hingga memasuki masa dewasa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang tua? Jika tidak, masa itu takkan bisa ditebus kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun