Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Wanita Pikir-pikir untuk Tinggalkan Kariernya?

6 Juli 2015   19:03 Diperbarui: 6 Juli 2015   19:14 3661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ilustrasi/Shutterstock-Kompas.com

Sebuah karier tidaklah dibangun dengan jalan yang mulus-mulus saja, meskipun ada yang juga yang senantiasa mendapat kemudahan dalam menapaki kariernya. Bersyukurlah atas itu semua. Tetapi bagi sebagian besar orang, harus jatuh bangun dan kerja keras untuk dapat mencapai karier yang memberinya pendapatan tinggi, kebanggaan, fasilitas yang beragam dan kewenangan yang besar. Sejak emansipasi wanita terjadi, posisi penting juga dapat diduduki oleh wanita. Apalagi sekarang, terbukti sekali wanita bila bekerja lebih bisa bertanggung jawab daripada pria. Wanita, cenderung lebih teliti, detail dalam pekerjaannya, pengawasannya lebih teratur dan terinci, sangat bertanggung jawab atas perawatan dan luwes. Di Indonesia wanita dituntut multitasking sejak kecil, sehingga dia lebih mampu mengerjakan banyak hal tanpa memilih-milih dan disertai tanggung jawab yang besar atas pekerjaan tersebut. Inilah yang membuat makin banyak wanita yang merebut posisi pria dalam pekerjaan yang sama. Bukan maksud saya melemahkan peran pria, juga masih banyak pria yang loyal dalam pekerjaan, tetapi kecenderungan perusahaan memilih wanita pada posisi penting sudah mulai terjadi.

Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Bapak Tjiptadinata Effendi   yang berjudul Ujian Terberat Bagi Seorang Istri Adalah Tinggalkan Kariernya . Sudah menjadi kelumrahan bagi seorang istri atau calon istri mengikuti suaminya atau calon suaminya. Untuk itu mereka dihadapkan pada pilihan mengambil keputusan meninggalkan karier atau berpindah karier. Sebagai bentuk rasa hormat , patuh dan cinta kepada suami. Apa yang diceritakan oleh Pak Tjiptadinata adalah berujung kebahagiaan, karena memang mereka berdua pernah punya cita-cita dan mimpi yang sama sejak muda untuk bisa berkeliling dunia. Ketika saatnya tiba dan Pak Tjipta menagihnya pada Ibu Roselina, serta dukungan finansial yang baik, maka itulah saatnya mereka memasuki babak lain dalam kehidupan mereka, menggapai cita-cita dan impian tersebut. Sungguh indah tentunya....

Meskipun awalnya begitu berat bagi Bu Roselina untuk mengambil keputusan tersebut, tetapi akhirnya Bu Roselina tetap mengambil keputusan itu untuk kebahagiaan mereka berdua. Hasilnya memang benar-benar happy ending sampai sekarang. Pak Tjipta dan Bu Roselina adalah sosok sepasang kompasianer yang seiring, sejalan dan kompak dalam menjalani kehidupan rumah tangga mereka. Senantiasa bersama dalam suka dan duka serta mampu mengatasi ujian-ujian berat dalam kehidupan mereka dengan selalu mampu menanggungnya bersama. Sungguh luar biasa! Kisah-kisah mereka sungguh mengispirasi bagi para pembaca.

Membaca kisah Pak Tjipta itu terbersit dalam pikiran saya, bagaimana kalau terjadi sebaliknya. Seandainya seorang istri menjadi tidak bahagia dengan keputusannya, bukankah karier itu takkan dapat diperolehnya kembali? Apa yang akan terjadi selanjutnya dalam kehidupan mereka? Ada banyak kisah kehidupan yang saya temui di sekitar saya bahwa kehidupan mereka menjadi lebih buruk bahkan sampai berujung dengan perceraian. Persimpangan karier, bagi setiap orang, baik pria maupun wanita pada akhirnya akan membawa perubahan dalam kehidupan selanjutnya. Berubah menjadi lebih baik atau justru menghancurkan.

Di Indonesia, budaya istri atau calon istri patuh pada suami adalah sesuatu yang lumrah dan lebih dipandang sebagai kesantunan. Semua pria juga mengharapkan punya istri yang seperti itu. Ada semacam kewibawaan apabila istri mau patuh pada kehendak suaminya. Bukan hanya di budaya, dalam agamapun diajarkan demikian. Fakta kehidupan kenyataannya tak semudah itu. Ada banyak fakta perempuan di sekitar saya yang mengalami ketidakbahagiaan dengan keputusannya untuk berhenti bekerja dan menuruti kemauan suaminya. Sebagian terkungkung dengan keadaan itu, sebagian lagi memberontak dan berakibat hubungan yang kurang harmonis, ada juga yang akhirnya suaminya memahami dan mengizinkan istrinya kembali bekerja. Semua permasalahan menjadi kompleks di masyarakat dengan banyaknya kendala-kendala kehidupan yang dialami oleh masing-masing pasangan.

Faktor Kecukupan Finansial adalah Mutlak

Tak bisa dipungkiri, wanita bekerja bertujuan untuk mendapatkan penghasilan. Uang hasil kerjanya untuk bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Setelah menikah uang itu akhirnya juga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, anaknya dan sebagainya. Meskipun saya juga pernah mendengar ada istri yang tetap mempertahankan hasil keringatnya murni untuk dirinya sendiri, kebutuhan rumah tangga dan anaknya ditanggung suami sepenuhnya. Tapi rata-rata saat ini istri ikut bekerja adalah untuk ikut menopang perekonomian keluarga agar kesejahteraan meningkat dan menuju kemandirian.

Bila seorang suami sudah menginginkan istrinya hanya sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak di rumah saja, maka suami juga harus mampu mencukupi kebutuhan istri dan anaknya secara layak. Ukuran cukup saja, itu sudah bagus. Menjadi masalah kalau kurang. Standar cukup inilah yang menjadi kesepakatan diantara suami istri. Bila ukuran cukup ini tak tercapai, tentunya istri menjadi kelabakan, apalagi dia yang harus mengatur anggaran belanja untuk kebutuhan keluarga. Ketika tidak cukup dan suami tidak peduli, disinilah yang membuat istri merasa perlu bertindak. Namanya kebutuhan pokok kalau sudah tak terpenuhi, otomatis menimbulkan kegelisahan sehingga istri mencari pekerjaan untuk dapat menambal kekurangan itu.

Sebagian istri juga ada yang punya kebutuhan ekstra macam-macam, disini masalah juga muncul. Kalau punya suami yang hanya sanggup dengan kebutuhan primer saja, sementara istri perlu terpenuhi untuk kebutuhan sekunder dan tersier, akhirnya juga istri akan lari cari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehingga tak bisa dipungkiri bahwa kecukupan finansial menjadi mutlak untuk dipenuhi. Masalahnya “cukup” bagi suami bisa berbeda “cukup” di mata istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun