Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Anak Alergi Belajar?

15 Februari 2014   22:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13924602681018074639

[caption id="attachment_322775" align="aligncenter" width="636" caption="Admin/Ilustrasi (Shutterstock)"][/caption]

Sebagai guru, saya bertemu dengan berbagai macam kasus belajar. Salah satunya adalah alergi belajar. Saya sebut alergi karena gejalanya seperti alergi pada dunia kedokteran. Alergi adalah perubahan reaksi tubuh terhadap kuman-kuman penyakit atau keadaan sangat peka terhadap penyebab tertentu (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Alergi belajar yang saya maksudkan di sini bukan penyakit, tetapi reaksi yang timbul karena adanya sebuah keadaan yang tidak diminatinya. Ketika anak mulai harus menunaikan tugas belajarnya gejala alergi ini muncul. Bentuknya bermacam-macam disesuaikan dengan usia. Pada anak-anak kecil usia TK bentuknya bisa berupa rewel, menangis dan mogok sekolah. Pada anak-anak usia SD bentuknya berupa menunda-nunda belajar, ogah-ogahan, berbohong, mencari-cari alasan, pura-pura sakit dan upaya-upaya untuk tidak belajar. Belajar menjadi beban yang tidak disukainya dan sebisa mungkin dihindari.

Penyebab anak alergi belajar

Bila ditinjau secara lebih cermat akan ditemukan penyebab anak alergi belajar. Mengetahui penyebab dari alergi belajar akan memberi petunjuk bagi orang tua untuk menanganinya secara tepat. Beberapa penyebab alergi belajar antara lain :


  1. Anak tidak terbiasa mempunyai jam belajar yang rutin. Belajar membutuhkan keteraturan yang dikenalkan kepada anak sejak kecil. Oleh sebab itu sangat baik sekali bila orang tua membiasakan anak-anaknya belajar pada jam-jam tertentu di rumah secara rutin. Dan bukan seada-adanya waktu saja dan di saat ada ulangan. Di mana waktu belajar tidak mereka lakukan secara teratur. Dampaknya akan muncul ketika tugas belajar makin bertambah karena naik kelas, kebiasaan belajar seada-adanya waktu tidak bisa mengatasi kebutuhan belajar, maka muncullah masalah  belajar.
  2. Anak mempunyai karakter malas dan didukung oleh lingkungannya. Malas itu bisa menjadi bagian dari seseorang kalau diberi peluang. Anak menjadi malas karena ada dukungan dari lingkungannya. Orang tua dan kebiasaan hidup di rumah akan membentuk anak menjadi anak yang rajin atau malas. Malas akan menjadi-jadi kalau ada dukungan dari lingkungan. Malas menjadi masalah belajar, sebuah perasaan enggan melaksanakan kewajiban belajar. Belajar bagaikan tugas berat yang ingin dihindari

  3. Mematok target hasil belajar yang salah. Memang tidak salah bila orang tua mempunyai target nilai bagi anak-anaknya. Anak-anak kalau tidak dipacu memang cenderung santai. Dengan adanya target, maka diharapkan anak akan berusaha rajin belajar agar bisa mencapai target tersebut. Tetapi orang tua juga harus paham seberapa kemampuan si anak dan menjelaskan akan pentingnya target nilai. Target terlalu tinggi membuat anak tertekan dan berpotensi penyimpangan tingkah laku. Target nilai memang baik, tetapi tercapainya tujuan belajar itu lebih penting.
  4. Tidak mendapat pengarahan tahapan belajar. Belajar mempunyai tahapan-tahapan mulai dari yang mudah sampai yang sulit. Tahapan ini disesuaikan dengan tingkat kesulitan materi dan kemampuan daya serap anak. Tidak adanya pengarahan atas tahapan belajar menimbulkan kegundahan pada anak. Merasa sulit, tidak bisa membuat anak tidak suka belajar karena tidak tahu cara mempelajarinya secara benar. Setiap pelajaran ada trik belajarnya, sehingga memudahkan anak dalam mempelajarinya.
  5. Pendampingan belajar yang salah. Sepulang sekolah, anak masih harus menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Pendampingan belajar dibutuhkan untuk mengarahkan anak dalam menyelesaikan tugas-tugas itu dengan baik. Pendampingan belajar yang salah dalam bentuk seperti penyiksaan, berupa pukulan fisik atau ucapan yang menyakiti hatinya akan berpengaruh negatif bagi perkembangan belajarnya. Begitu pula pembiaran, tanpa arahan, tanpa teguran dan tanpa hadiah. Anak gagal belajar karena memang tahu caranya.
  6. Motivasi dalam diri rendah. Sebagianbesar anak-anak belum terbentuk motivasi dalam dirinya. Motivasi dari luar dirinya yang lebih banyak menggerakkannya untuk mencapai target belajar. Oleh sebab itu tak jarang anak menjadi mudah putus asa atau mutung di saat mengalami kesulitan belajar. Sebaliknya akan kembali semangat kalau diiming-imingi hadiah.
  7. Kurang mempunyai semangat bersaing. Ada sebagian anak yang kurang mempunyai semangat bersaing. Baginya hasil belajar yang pas-pasan itu sudah baik. Masih banyak yang lebih jelek, memang pelajarannya sulit, begitulah alasannya. Sehingga belajar ala kadarnya sudah menjadi style belajarnya.
  8. Keinginannya selalu dituruti. Sangat berbahayaapabilaorang tua sampai menerapkan hal ini pada anaknya. Pada usianya yang masih kecil, tidak semua keinginan anak itu akan baik bagi anak itu sendiri. Biarlah anak menjadi rewel, marah, kecewa kalau keinginannya tidak dituruti. Ia perlu belajar sedih dan menyadari bahwa keinginannya tidak tepat untuk dituruti. Pembiaran dalam hal ini akan berdampak negatif di saat ia besar kelak.
  9. Pernah mengalami trauma. Pengalaman belajar akan begitu berkesan pada seseorang. Terutama pengalaman belajar yang buruk, seperti dimarahi guru, mendapat hukuman fisik, dipermalukan di depan kelas, dan sebagainya. Pengalaman buruk membentuk sikap defensif dan mindset yang negatif pada anak.
  10. Tekanan dari orang tua dan guru. Ketika anak gagal dalam belajar otomatis orang tua dan guru memberi peringatan kepada anak akan dampak dari hasil belajarnya. Penanganan yang salah akan membuat anak merasa mendapat tekanan. Pada sebagian anak tekanan justru membuatnya tak ingin berbuat apa-apa atau menghindari belajar karena merasa tidak mampu.


Ke-10 hal di atas memicu anak menjadi alergi belajar. Belajar seperti beban berat yang harus ditanggungnya. Sebisa mungkin menghindari belajar, ada banyak cara yang akan dilakukannya untuk tidak belajar atau tidak dalam suasana belajar. Sangatlah penting orang tua segera menyadari bahwa anaknya dalam kondisi alergi belajar. Keadaan ini perlu ditangani dengan segera dan dicari jalan keluarnya. Bukan hanya dengan cara yang sama, yaitu memaksanya untuk belajar dengan pengawasan yang ketat atau diikutkan les, bimbel dan kursus. Penyebab utama harus diketahui dan diadakan cara penanganan yang tepat  bekerja sama dengan pihak sekolah ataupun konsultasi ke psikolog bila memang diperlukan.

Pembiaran kasus alergi belajar akan membentuk karakter buruk pada anak. Karakter buruk tersebut akan mempengaruhi kebiasaan belajar dan hasil belajarnya. Sejalan bertambahnya usia dan naik kelas, tugas dan tanggung jawab anak akan terus bertambah, karakter buruk ini akan menghambatnya dari waktu ke waktu. Setelah anak beranjak remaja, orang tua tak bisa lagi terlalu banyak campur tangan untuk mengaturnya. Anak usia remaja sudah semakin sulit diatur. Oleh sebab itu kasus Alergi belajar sebaiknya diketahui sejak dini dan segera ditangani sampai terjadi perubahan cara belajar yang positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun