[caption id="attachment_396848" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Saya benar-benar gemes pada orang satu ini. Sebut saja namanya Rini. Kerja keras sudah dilakukannya, gaji yang cukup sudah dia peroleh. Tapi kenapa semua itu tak pernah ada ampasnya? Justru punya hutang di sana-sini. Gali lubang tutup lubang sudah jadi bagian hidupnya bertahun-tahun. Karena Rini cukup terbuka pada saya, maka memberi saran dan cara-cara untuk bisa sedikit demi sedikit keluar dari lilitan hutang saya lakukan. Meskipun dia selalu manggut-manggut dan mengakui apa yang saya bilang itu benar semua, tetapi selalu saja Rini jatuh ke urusan yang sama. Dia selalu kehabisan dan kekurangan uang, sering perlu pinjaman uang dan segala macam urusan finansial yang seabreg dan tidak pernah habis. Itu yang bikin saya gemes.
Kalau Rini tidak bekerja atau pendapatannya naik-turun, masuk akal itu terjadi. Ini tidak! Gaji Rini memang tidak besar sekali, tetapi bukan berarti tidak cukup, karena banyak orang yang gajinya sama dengan dia masih bisa menabung, kok! Apa yang salah pada Rini ini? Gaya hidup dan ketidakmampuan mengelola keuangan. Sehingga penghasilan seberapa pun dan memperoleh kenaikan gaji tak ada pengaruhnya baginya. Begitu uang di tangan, apa yang dilihat ingin dibelinya dengan hasrat yang tak terkendali. Tidak pakai itung-itungan, tak pakai pikir panjang lagi kalau sudah begitu. Dia selalu baru tersadar ketika uangnya habis. Ternyata uang itu juga masih harus membayar kewajibannya yang lain. Jadilah dia menutup semua itu dengan berhutang lagi. Reaksinya jadi stress dan marah-marah pada orang-orang di sekitarnya, menyesal dan menyalahkan diri sendiri.
Gaya hidup yang tak sepadan dengan penghasilan memang membawa masalah! Gaya hidup ini mulai merasuki kaum urban yang baru tinggal di perkotaan. Pemandangan di sekelilingnya bak etalase yang menggoyang imannya. Rasa ingin memiliki barang-barang sekunder yang meskipun tidak punya juga tidak ada efeknya, sulit dibendung.
Ya, etalase! Etalase ini tidak selalu yang ada di toko. Mereka jadi tahu ada barang baru dan menarik dari temannya yang baru beli, dari bosnya yang punya barang itu, dari tetangga, dari jalanan, dari mana-mana pokoknya. Rasa ingin memiliki, mencicipi dan merasakan ternyata bisa membalikkan logika. Membuat orang tak mau peduli pada hitungan pendapatan dan pengeluaran. Akibatnya jelas, lebih besar pasak daripada tiang. Pusing di kepala dan punya masalah keuangan akibat salah pengaturannya. Inilah penyakit yang tak tampak, tetapi sudah menggejala.
Budaya Sok Gengsi
Gengsi bisa dimiliki siapa saja, tak pandang bulu. Dulu, gengsi terkait dengan orang kaya yang memang bisa beli apa saja karena berduit. Sekarang sudah bergeser, demi gengsi orang sampai nekad berusaha di luar kewajaran. Suka pakai barang-barang bermerek. Rutin belanja busana yang lagi tren. Ganti smartphone yang terbaru. Kalau ada cadangan dananya, ya aman-aman saja. Yang masalah, uang kebutuhan harian yang dipakai. Ada sekolah negeri yang gratis, pilih yang swasta. Bisa makan di warung, pilih ke kafe, dan ini rutin sehari-hari. Baru kerja 2 bulan, asal gajinya cukup buat bayar cicilan, nekat kredit kendaraan bermotor. Meskipun tidak punya, berusaha diada-adakan. Hal ini juga didukung oleh kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh jasa keuangan untuk bisa memiliki barang-barang itu secara mudah. Klop sudah!
Mereka salah, tapi tak menyadari. Kalau penghasilannya tak cukup akan diusahakan mencari hutang, untuk menutupi naluri belanjanya yang tak kontrol. Kalau sudah hutang sana-sini. Gaji sebesar apapun, mana bisa dinikmati sih. Wong cuma diterima, lalu disetorkan lagi. Hanya lewat! Inilah yang menyebabkan orang-orang seperti Rini selalu bilang tak cukup. Lha wong tidak pernah menikmati gaji secara netto, disunat terus untuk bayar hutang, bayar cicilan dan lain-lain.
Budaya konsumtif, tanpa perhitungan
Budaya konsumtif itu banyak negatifnya, kalau hal ini sudah tak terkontrol memang jadi kebiasaan yang bikin masalah. Punya keinginan itu tidak salah, tetapi kalau upaya memuaskan keinginan berbuah masalah pada keuangan seharusnya diupayakan kontrol. Tidak semua keinginan harus dituruti, harus ada prioritas dan disesuaikan dengan pendapatan serta tetap harus bisa menabung. Seiring dengan perkembangan kemajuan zaman, manusia makin dibuai dengan barang-barang dan fasilitas yang menggoda untuk dimiliki dan dinikmati. Arus itu makin lama makin kuat, kalau tak hati-hati bisa tergelincir. Merencanakan anggaran setiap bulan sangatlah penting, itu saja masih harus punya cadangan untuk keperluan mendadak yang tak terduga. Budaya konsumtif, membuat orang susah menabung yang berakibat kelabakan kalau butuh uang mendadak. Sebagian orang bermasalah karena tidak bisa mengatur keuangannya secara bijak, sehingga timbul kedodoran sebelum akhir bulan. Sementara kebiasaan menabung juga diabaikan.
Budaya menabung, wajib hukumnya
Budaya menabung seringkali belum disadari benar manfaatnya. Ada orang yang masih belum berpikir panjang, bahwa tabungan sangat bermanfaat untuk keperluan mendadak. Ketika sakit, kecelakaan atau masalah lainnya, tentunya harus tiba-tiba mengeluarkan biaya ekstra di luar kebutuhan harian yang lumayan besar. Selain kebutuhan mendadak tabungan juga diperlukan untuk kebutuhan-kebutuhan besar yang terencana, misalnya biaya melahirkan, biaya masuk sekolah anak dan lain-lain. Oleh sebab itu, menabung adalah budaya yang wajib hukumnya. Menabung bukan dari kelebihan atas gaji yang diterima, tetapi menabung adalah sebuah kesadaran menyisihkan sebagian gaji untuk ditabung secara rutin setiap bulan. Mungkin jumlahnya bisa naik-turun, itu tak masalah. Sangat salah bila orang baru mau menabung untuk tujuan jangka pendek semata, setelah tujuan itu tercapai lalu berhenti.
Pergeseran makna gaji
Berapa pun gaji yang diterima harus dicukup-cukupkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan disisihkan untuk menabung. Saat ini terjadi pergeseran makna gaji. Sejak diberlakukannya UMR, UMP, UMK, maka orang menjadi berorientasi bahwa gaji yang dibayarkan harus cukup untuk menghidupi kebutuhannya dan keluarganya. Gaji tidak lagi berorientasi pada hasil kerja kerasnya lagi, tetapi pada tuntutan minimal kebutuhannya. Sementara standar tuntutan atas pekerjaan itu tak terlalu diperinci. Akibatnya orang jadi menuntut sampai sebatas minimalnya, apalagi ada kepastian naik setiap tahunnya. Padahal kalau dihitung-hitung juga tidak naik kok! Karena di Indonesia kenaikan gaji selalu bersanding dengan kenaikan harga barang. Kalau ada berita PNS, buruh akan mendapat kenaikan gaji, tunjuangan guru akan turun, belum terima gajinya barang-barang sudah pada naik duluan. Akibatnya rupiah makin berjejer nolnya. Tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Semangat pekerja di level ini juga ikut arus itu, dia cukup bekerja untuk sekedar mencapai kebutuhan minimalnya saja.
Lemah dalam pengaturan keuangan
Kemajuan perekonomian Indonesia yang pesat telah membuat Indonesia menjadi negara yang maju, itu terlihat dari majunya sektor-sektor usaha dan mudahnya orang memperoleh barang-barang yang dibutuhkan, fasilitas modern yang dapat mempermudah kehidupan dan fasilitas-fasilitas untuk mencari hiburan. Perkembangan ini semestinya juga diimbangi dengan kecerdasan masyarakatnya dalam menggapainya. Sebagian masyarakat masih lemah dalam pengaturan keuangan, sementara mereka sudah hidup di lingkungan yang begitu modern. Mereka menjadi korban atas ketidakmampuan dan ketidaksiapannya menyikapi keadaan ini secara benar dan bijak. Menjadi generasi yang tergerus oleh peradaban zaman, dengan tanpa disadarinya.
Kembali pada Rini, dia pun menjadi korban keadaan ini. Meskipun sudah rajin bekerja, tetapi juga berkutat dengan segudang masalah keuangan yang tak ketemu ujung jalan keluarnya. Salah satu penyebabnya adalah Rini lemah dalam pengaturan keuangan, tak bisa mengendalikan hasrat belanjanya. Orang seperti Rini menjadi mudah menggejolak emosinya ketika ketiban masalah keuangan. Ia juga getol berjuang agar mendapat kenaikan gaji, dengan harapan bisa mendapat tambahan. Padahal kenyataannya kenaikan gaji itu selalu tak begitu membantu, karena gaya hidupnya itu. Orang-orang dalam kondisi seperti Rini ini biasanya semangat bekerjanya juga tidak stabil, karena ada tekanan dari keadaan ketika dia dihimpit oleh kondisi keuangannya yang selalu tidak cukup.
Bimbingan merencanakan keuangan sebenarnya harus mulai merambah kalangan kaum urban di perkotaan, pentingnya mengedukasi dan membuka wawasan mereka tentang perencanaan keuangan. Bila keadaan ini dibiarkan terus-menerus akan menjadi masalah sosial. Para kaum urban mengalami kejutan sosial dari kehidupan daerah yang serba sederhana lalu bertemu dengan lingkungan kota yang serba ada. Rata-rata mereka memang tak berpikir panjang, asal cukup dimakan hari ini sudah. Kalau ada uang lebih bisa dibelanjakan untuk menuruti keinginannya mengikuti gaya hidup orang kota. Bahkan para pekerja yang bergaji lumayan besar, mereka bukan belanja lagi, tapi buat modal kawin lagi. Inilah masalah sosial yang tak nampak langsung, tetapi benar-benar menjadi akar permasalahan bagi kaum urban yang tinggal di perkotaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H