Bagaimana Nasib Kesenian Tradisional di Tangan Generasi Muda?
Oleh : Majawati Oen
Di masa kecil saya, hiburan itu masih sangat terbatas dibandingkan sekarang. Saya pernah mengalami nonton TV hitam putih saja masih di rumah tetangga. Jadi saat malam hari sekitar 1 jam bertandang ke tetangga dengan nenek saya. Hiburan lainnya adalah nonton bioskop, dimana kalau mau nonton harus bawa koran dulu. Kursinya dari rotan yang banyak kutunya sehingga paha bisa gatal-gatal kalau tidak dialasi koran. Hiburan lain adalah kesenian tradisional. Zaman saya SD sekitar tahun 1975 – 1980 an di kota Malang masih ada gedung kesenian tradisional yang menampilkan wayang orang dan ludruk yang terletak di ujung Jalan KH Ahmad Dahlan, Kota Malang. Biasanya di saat malam minggu saya ikut nenek saya untuk menonton itu. Apa menariknya bagi saya yang kala itu masih kelas 2 – 5 SD? Itu tak terlalu saya pikir, yang penting ikut. Ada hiburan di malam minggu itu penting. Sedangkan bagi nenek saya, memang itu hiburan yang disukainya.
Kesenian Ludruk
Bertahun-tahun setiap malam minggu saya melihat dan mendapat hiburan itu. Pernah terjadi pula, sampai nonton penampilan yang sama. Merasa sudah pernah nonton kok nonton lagi! Tapi saya tak pernah mengeluh, dari waktu ke waktu saya justru menikmatinya dan membahasnya dengan nenek saya. Jadi bisa menilai pemain ini bagus, yang ini lucu, yang ini tariannya indah. Saya juga lebih paham akan bahasa Jawa. Hal ini sangat membantu pelajaran bahasa Jawa saya di sekolah, karena saya sudah pernah dengar dan merasa sudah kenal.
Rasa kagum belum muncul saat itu, sekedar hiburan saja. Setelah beranjak dewasa dan wawasan saya kian terbuka, rasa kekaguman itu muncul di hati saya. Budaya Jawa itu indah, unik dan punya banyak filosofi yang begitu bagus. Saya memang keturunan Cina, tetapi saya adalah warga negara Indonesia yang tinggal di Jawa Timur. Otomatis budaya Jawa, khususnya Jawa Timur lebih mewarnai kehidupan saya. Tidak heran kalau ada orang luar negeri sampai mau berlama-lama tinggal di Jawa dan belajar budaya Jawa, menari Jawa dan lain-lain.
Kesenian Wayang Orang
Disamping kesenian Jawa, setiap kali mendekati Hari Raya Imlek, ada juga pertunjukan Wayang Potehi di pelataran salah satu klenteng di Malang. Kesenian ini berasal dari kesenian budaya Cina. Walaupun kesenian ini berasal dari Cina, ternyata pemainnya dan penabuh gamelannya lebih banyak warga asli Indonesia. Begitu pula dengan penontonnya, beragam sekali. Kesenian ini biasanya ditampilkan bersamaan dengan pedagang di sekitar yang berjualan makanan-makan khas Cina, seperti cakue, heci, ronde dan lain-lain.
Kesenian Wayang Potehi
Saya bersyukur dulu selalu ikut nenek untuk mengenal budaya-budaya yang ada di sekitar saya. Ada banyak pelajaran di sana, terutama timbulnya rasa kagum dan bangga akan keindahan budaya Jawa khususnya dalam bentuk kesenian tradisional.
Saat ini generasi muda sekarang, lebih banyak yang memandang sebelah mata kepada budaya tradisional. Mereka lebih menikmati budaya modern. Memang selera mana bisa dibelokkan. Hanya saya di dalam hati saya yang terdalam muncul keprihatinan dan kekhawatiran bahwa budaya bangsa kita yang indah, unik, beragam dan mempunyai filosofi yang agung lambat laun akan tergerus oleh budaya modern. Dan lama-kelamaan hilangkarena tidak ada generasi yang meneruskannya.
Yang ironis, budaya kita justru mendapat tempat di luar negeri. Para budayawan dan seniman tradisional banyak yang ngejob di sana. Mereka dihargai dan dikagumi di sana. Pemerintah dan beberapa pihak penyelenggara pameran budaya sering mengusung kesenian tradisional di kancah internasional untuk memperkenalkan budaya Indonesia di sana serta menarik wisatawan.
Bagaimana dengan generasi muda bangsa Indonesia sendiri, yang justru kurang mendapat wawasan budayanya sendiri. Mungkin di kota besar yang mempunyai gedung kesenian serta menayangkan seniman-seniman terkenal akan dapat menonton kesenian tradisional yang disajikan secara premium. Tetapi generasi muda bangsa Indonesia sendiri kurang diajak mengenal budaya lokal daerahnya sendiri. Jangan salahkan kalau mereka tidak kagum dan bangga, kesempatan kenal saja tidak kok!
Memperkenalkan budaya di daerah tempat generasi muda berada sebenarnya hanya masalah kepedulian. Seperti nenek saya dulu, betapa gampangnya mengenalkan kesenian tradisional. Mengajak cucunya ikut menonton, emosi saya terlibat karena saya hadir dan merasakan dampaknya. Budaya tak bisa dipelajari sebagai bagian sejarah yang sekedar dibaca di buku atau browsing internet dan dilihat melalui you tobe. Rasa kagum, cinta dan bangga membutuhkan interaksi langsung.
Melalui tayangan Kick Andy di Metro TV, beberapa waktu yang lalu. Pernah ditayangkan para seniman kesenian tradisional yang sudah sangat sempit ruang geraknya. Mereka tak lagi mencari nafkah dari pekerjaan sebagai seniman, tetapi mereka berupaya mati-matian mempertahankan budaya bangsa ini. Kecintaan mereka pada kesenian tradisional itulah passion untuk tetap melakonkannya di panggung. Saat ini ada banyak dari kelompok kesenian tradisional yang gulung tikar karena sudah tidak ada penontonnya.
Kesenian tradisional dari suku manapun sebagai bagian dari budaya bangsa sangat disayangkan bila harus lenyap tanpa bekas. Generasi mendatang tak kenal lagi, hanya tinggal sejarah. Sudah saatnya kita mulai dari keluarga kita sendiri mengajak anak-anak kita mengenalkan budaya dalam bentuk kesenian tradisional atau hal-hal lain sebagai warisan budaya yang layak dilestarikan. Kewajiban generasi sekarang untuk menancapkan di benak para generasi muda akan jejak budaya nenek moyangnya.
Menurut saya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa mengupayakan memperkenalkan kesenian tradisional di sekolah. Salah satunya menjadwal para murid menonton kesenian tradisional, memasukkan kesenian tradisonal seperti tarian, batik ludruk, ukiran seni topeng dalam kegiatan ekstra kurikuler. Dengan kegiatan ini, seniman tradisional di daerah-daerah juga akan terangkat dan mendapat wadah untuk berkreativitas dan mendapatkan pekerjaan. Dan yang lebih penting, mendidik generasi muda untuk meneruskan tongkat estafet budaya di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H