Fr. Clemens tak segan untuk bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Kantor Dinas Kehewanan dan Universitas Nusa Cendana untuk proses pengawetan dengan formalin. Setelah proses pengawetan, ular dan biawak temuannya harus diberi nama. Penamaan pada hewan mengikuti klasifikasi menurut : family, genus dan species. Fr. Clemens masih selalu berkomunikasi dengan Fr. Vianney tentang penemuan-penemuannya dan penamaan atas penemuan beliau.
Pada tahun-tahun akhir hidupnya Fr. Vianney mendalami ilmu tentang “kulit siput dan kerang” atau conchology. Seperti kebiasaan sebelumnya, Fr. Vianney terjun ke pantai dan mencari kerang dan cangkang, kemudian dibersihkan dan diklasifikasi serta disusun dalam lemari kaca. Fr. Vianney juga mengirim buku hasil penelitiannya kepada Fr. Clemens, dan itu menjadi hobi barunya pula.
Sebagai seorang biarawan, Fr. Clemens harus siap ditugaskan ke mana saja, sehingga hobi berburu dan mengoleksi barang buruannya tak selamanya berjalan mulus. Ada kalanya tersendat dan sama sekali tidak bisa menangani. Akan tetapi dorogan hati Fr. Clemens tak pernah surut. Di manapun beliau berada hatinya selalu tergoda manakala melewati semak-semak, melihat ibu-ibu dan para gadis di tepi pantai sedang membolak-balik batu mencari siput atau kerang.
Di celah-celah waktu yang ada sambil menjalani tugas utamanya sebagai sebagai guru, kepala asrama dan juga pemimpin kongregasi, Fr. Clemens masih senantiasa melaksanakan hobinya. Bahkan saat bertugas di Kenya, Fr. Clemens juga sempat mengawetkan seekor ular, yang sekarang ada di museum zoologinya.
Minat Disertai Tanggung Jawab sebagai Penerus
Jelas kiranya, figur Fr. Vianney begitu mempesona Johannes Djuang Keban sampai-sampai beliau hidup laksana duplikat Fr. Vianney. Bagi Fr. Clemens, F. Vianney adalah figur guru, pendidik serta seorang frateryang hidup bersama dalam suatu persekutuan religus Katolik. Sosok Fr. Vianney dengan semangat dan kharismanya membuat Fr. Clemens menjadi penerus Fr. Vianney, seperti tertulis di buku panduan Museum Zoologi. Fr. Clemens sempat berduka mendalam ketika Fr. Vianney wafat pada tanggal 5 Maret 1970. Bagai “layang terputus tali” ,begitulah pernyataan Fr. Clemens atas wafatnya Sang Guru, karena mereka berdua merasakan kolaborasi yang selama ini terjalin, tiba-tiba harus berhenti.
Perjalanan hidup Fr. Clemens yang saat ini berusia 78 tahun benar-benar membuat saya kagum. Betapa hebatnya kharisma seorang guru hingga ada muridnya yang benar-benar mengikuti jejaknya dengan pengabdian tulus dan penuh tanggung jawab sampai masa tuanya. Saya merasakan betapa cinta yang mendalam pada temuan-temuannya sama seperti Sang Guru. Bahkan memajang koleksinya di museum. Saat ini Fr. Clemens sudah pensiun dari tugas-tugas di kongregasinya dan hanya menjabat sebagai Direktur Museum Zoologi.
Setiap hari masih datang ke kantornya, masih pula memelihara ular hidup di belakang museum, mempunyai hobi menulis seperti gurunya. Sudah ada 3 buku tentang binatang koleksinya yang sudah diterbitkan menjadi buku. “Dari masing-masing buku ini, kami mendapat untung 10 juta rupiah!” ceritanya pada saya. Biaya penerbitan dibiayai dari dana Kongregasi. “Masih ada 5 naskah buku lagi sebenarnya, tetapi ditolak oleh penerbit karena dianggap kurang ada peminatnya.
Dari sisi bisnis, kurang menguntungkan,” lanjutnya lagi. Buku-buku yang sempat tercetak diunjukkan kepada saya, pemaparannya detail sekali dan dicetak edisi berwarna yang menarik. Selain menulis buku tentang koleksinya, Fr. Clemens juga menulis buku-buku lain, seperti buku rohani. Beliau menulis tangan di kertas folio dengan sumber-sumber dari buku-buku berbahasa Inggris dan Belanda. Kemudian stafnya yang akan mengetik di komputer. Bila Fr.Vianney hobi menulis dan kemudian dibukukan, begitu pula dengan Fr. Clemens. Sungguh Fr. Clemens seolah menjadi titisan dari Fr. Vianney, dengan bakat, hobi dan jalan hidup yang nyaris sama persis.