Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bagaimana dengan Kekerasan Anak pada Orang Tua?

7 Februari 2016   08:13 Diperbarui: 7 Februari 2016   09:59 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu terakhir ini saya melihat tayangan televisi tentang dipaparkannya data kekerasan pada anak, yang dilakukan orang dewasa dalam bentuk penyiksaan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan. Hati saya jadi tergelitik membahas yang sebaliknya, karena kekerasan anak pada orang tua atau orang yang lebih tua juga mengalami trend peningkatan. Mungkin masyarakat masih menganggapnya sebagai sikap kurang sopan saja, tetapi bila dicermati tidaklah sesederhana itu. Hal ini juga akan membawa pengaruh dalam perkembangan anak tersebut di kemudian hari.

Sekitar 2 minggu yang lalu, Orang Tua murid saya datang menemui saya. Salah satu yang jadi pembicaraan utama kami adalah ketidaktertiban anaknya dalam mengikuti les. Sering bolong jadwal hadirnya, sementara ada banyak pelajarannya yang tertinggal. “Sebenarnya sudah ada kemajuan, kok Bu!” pernyataan ibunya. “Tapi Bu, kemajuannya masih jauh dengan target yang harus dicapai,” kata saya menjelaskan. “Kalau saja kehadirannya lebih tertib, harapannya saya bisa mengejar. Sementara kalau kehadirannya seperti ini belum bisa dikatakan maju sebenarnya.”

Memang sejak awal, ibu ini kesulitan karena anaknya sering mogok tidak mau les. Bukan karena suasana di tempat les tidak nyaman, tetapi karena anaknya menghindari belajar. “Saya itu sampai sering terlambat les, karena sebelum ke sini harus menuruti maunya dia beli ini, beli itu! Kalau tidak dituruti itu marah-marah, mukul saya! Itu lho yang bikin saya sulit!” Yah, anak kecil usia 7 tahun memukul ibunya kalau lagi marah. Wah,wah....? Lalu ibu itu menambahkan,”Dia itu kalau marah selalu mukul, kakak-kakaknya juga kalah semua sama dia!” Jagoan bener nih anak, ya?

Kalau melihat perawakannya yang kecil sepadan dengan usianya, siapapun tak mengira bahwa ia mempunyai power sampai membuat orang tua dan saudara-saudaranya takut. Apalagi di tempat les juga tidak pernah memperlihatkan perilaku main tangan kepada temannya, termasuk saudaranya yang juga les di tempat kami. Dari pembicaaraan itu akhirnya saya gali pembicaraan dengan Orang tuanya. Anak ini memang terlahir sebagai anak bungsu, sejak kecil dia harus keturutan maunya. Karena bila tidak dituruti dia bisa menangis dan mengamuk yang dirasa menganggu lingkungan sekitarnya. Ibunya beranggapan daripada rewel, nangis meraung-raung, apa maunya mending dituruti saja. Salah satu contoh, bila kakak-kakak dapat jatah 1 kue dan dia minta 2 kue, itu akan dituruti. Ketika dia minta dibelikan sesuatu, tidak bisa ditunda karena akan marah-marah. Dari yang tadinya hanya menangis berkembang jadi memukul untuk bisa keturutan kemauannya itu. Makin lama jadi makin mudah untuk bisa keturutan kemauannya, apalagi disertai kekerasan. Orang-orang di sekitarnya menjadi patuh untuk bisa menuruti maunya. Saya yakin serangan pukulan anak kecil ini bukan serangan biasa, karena sampai orang tua dan kakak-kakaknya memilih menuruti daripada mendapat serangan pukulan.

Salah penanganan sejak awal
Sebuah perilaku berkembang, karena aksi dan reaksi. Ketika sebuah aksi mendapat reaksi yang tidak tepat akan berkembang menjadi perilaku yang dianggap oleh pelaku sebagai hal yang menguntungkannya. Sudah biasa anak kecil itu menangis, karena kesakitan, kemauannya dilarang ataupun hal-hal lain yang tidak menyenangkan hatinya. Gaya anak menangis juga berbeda-beda meskipun satu saudara dalam satu keluarga. Oleh sebab itu Orang tua atau pengasuh harus memperlalukan anak secara individual. Setiap kejadian juga akan tersimpan dalam memori anak, aksi dan reaksi yang dianggap bisa memenuhi keinginannya akan dilakukan berulang-ulang. Oleh sebab itu apabila keadaan ini juga mendapat respon yang sama berulang-ulang, maka akan muncul perkembangan tingkah laku. Celakanya kalau perilaku negatif yang berkembang!

Tidak ada arahan yang tegas
Sejak kecil anak harus sudah dibiasakan dengan “ya” dan “tidak” secara konsisten. Ketika Orang tua atau pengasuh seringkali berubah-ubah dalam pola pengasuhan, maka anak anak labil. Dia tidak bisa membedakan mana yang “ya” dan “tidak”. Anak akan mencoba-coba, apakah yang tadinya “ya” bisa berubah tidak, begitu pula sebaliknya. Terlebih-lebih bila hal ini terjadi berulang dan ada contoh dari sikap orang tua yang disaksikannya, meskipun kasus tersebut tidak berhubungan dengannya. Dengan demikian tidak ada pijakan yang pasti, bahwa kalau “ya” tidak akan berubah menjadi “tidak”, begitu pula sebaliknya. Segalanya bisa dinegosiasikan, bergantung seberapa kuat bisa memberi pengaruh kepada pengambil keputusan.

Pernah mendapat perlakuan yang sama atau contoh dari lingkungan
Perilaku kekerasan seringkali timbul karena anak yang bersangkutan pernah mendapat perlakuan yang sama. Ketika dia pernah mendapat pukulan, di saat yang berbeda dalam situasi yang sama ia cenderung bersikap yang sama. Itulah pelajaran pertama yang ia dapatkan dalam mereaksi suatu keadaan. Ketika ia melakukan kesalahan yang dipukul pantatnya, sangat memungkinkan ketika dia mendapati orang lain melakukan kesalahan juga dilakukan hal yang sama. Tetapi belum tentu pukulan itu dijatuhkan di pantat, bisa pada bagian tubuh yang lain. Spontanitas melakukan pukulan akan sangat terlihat bahwa, memukul orang lain adalah sebagai bentuk balasan atau hukuman atas kesalahannya. Oleh sebab itu, ada kalanya orang tua menepis tangan anak karena ia akan memegang benda panas atau membahayakan dirinya perlu ada penjelasan kenapa orang tua seakan-akan memukul anaknya. Ini berbeda dengan anak yang kerap mendapat hukuman pukulan, sikapnya menjadi siaga terhadap orang di sekitarnya dan ringan tangan memukul orang-orang di sekitarnya yang dianggap melakukan kesalahan kepadanya. Pengalaman saya, ketika saya menghampiri murid saya karena dia salah mengerjakan soal, tiba-tiba kedua tangannya diangkat seolah menangkis dengan melindungi kepalanya. Lha.... saya tercengang! Memang dia salah mengerjakan soal tersebut, tetapi saya tidak sedang marah apalagi berniat memukulnya. Saya hanya ingin menjelaskannya dari arah belakang karena lebih mudah menuliskan searah dengannya. Ternyata belakangan saya tahu, bahwa dia memang kerap mendapat pukulan di kepala dari ayahnya.
Bisa jadi juga kebiasaan menonton film atau main game yang banyak mempertontonkan tindakan kekerasan, sehingga ada kalanya anak ingin meniru action tersebut dan timbul kepuasan atas pukulan yang disarangkan kepada lawannya.

Kenali perkembangan anak secara cermat
Sebagai Orang tua, wajib mengenali perkembangan anaknya secara cermat. Perubahan sikap, tingkah laku, pola pikir dan kebiasaan harian dan pertemanannya harus tidak lepas dari perhatian Orang tua. Mungkin bahkan lebih dari yang saya tuliskan di atas, hal-hal yang harus dicermati Orang Tua. Pembiaran dalam waktu lama dan dianggap wajar-wajar saja akan berkembang menjadi pola tingkah laku yang permanen, yang sulit diubah. Tak jarang Orang tua sampai kewalahan mengatasi anaknya, sudah “ditaklukkan” oleh anaknya. Ketika perubahan itu dikenali sejak awal, maka proses pengamatan dan cara mengatasinya bisa dilakukan sejak awal. tingkah laku negatif itu tidak punya kesempatan berkembang.

Setiap masa perkembangan punya pola sendiri-sendiri, begitu pula dengan penyimpangannya. Jangan sampai orang tua kecolongan, dengan menganggap perilaku menyimpang anak sebagai hal-hal yang wajar-wajar saja. Ada sebagian anak yang saya lihat perilakunya menyimpang karena kurangnya perhatian Orang tua. Mereka menjalani kehidupan bersekolah, berteman, belajar dengan asisten rumah tangga dan sopir yang bisa dikendalikannya. Semua kebutuhannya terpenuhi melebihi anak pada umumnya, padahal usianya masih kecil. Bukan berarti sebagai Orang Tua harus menemani anak setiap saat, tetapi panduan yang benar, arahan yang tepat sesuai dengan perkembangan anak harus menjadi pola asuh yang dijadikan pedoman oleh anak dalam menjalani kehidupannya. Kualitas pertemuan Orang tua dan anak harus menjadi kesempatan memasukkan nilai-nilai yang bisa menjadi pegangan anak dalam bersikap di lingkungannya. Apa jadinya bila saat bertemu sudah jarang, dan saat ketemu anak dicueki, dikritik habis-habisan, dimarahi dan bahkan dipukul.

Penjelasan dan berdialog dengan anak sangat penting
Putusnya komunikasi anak dan Orang tua, seringkali terjadi karena maksud baik orang tua tak tersampaikan secara benar. Ketika seorang anak kecil melihat setrika sebagai barang yang bisa digerakkan ke sana- ke mari untuk melicinkan pakaian digunakan oleh orang dewasa, seringkali muncul keinginannya untuk memegang, mencobanya. Nampaknya kok gampang dan asyik ya! Saat ia memegang bagian panasnya tanpa banyak bertanya, spontan tangan anak itu akan ditepiskan. Sakit? Iya tentu saja. Bisa jadi ia menangis karena sakit, kaget dan tidak senang karena dilarang. Apakah ini kekerasan? Tidak. Tetapi tanpa ada penjelasan dari orang dewasa, mengapa ia tadi dilarang memegang, tangannya ditepiskan sampai sakit. Maka anak tidak mengerti, bahwa tindakannya membahayakan dirinya sendiri. Oleh sebab itu apabila dengan terpaksa Orang tua melakukan tindakan kekerasan kepada anak, harus ada penjelasan yang bisa diterimanya!
Hal ini berbeda dengan oang tua yang tanpa ba...bi....bu.... selalu menyelesaikan masalah-masalah dengan anaknya hanya dengan satu cara, dipukuli. Inilah kekerasan yang sesungguhnya. Mungkin saat anak itu kecil, ia tak berdaya dan hanya menangis. Tetapi nanti pada saatnya tubuhnya tumbuh dewasa, jangan keheranan bila balasan itu akan diterima oleh Orang tua, dan siapa saja yang dianggap mengundang amarahnya. Karena itulah cara penyelesaian masalah yang pernah diajarkan Orang tua kepadanya.

Kekerasan anak pada Orang tua harus dihentikan
Pada kasus anak masih kecil dan punya kebiasaan memukul, selagi masih memungkinkan diatasi Orang tua sendiri, haruslah segera dihentikan. Ada banyak literasi dan tips yang bisa dicoba oleh Orang tua bergantung pada kasusnya. Pada tulisan ini saya tidak membahas cara mengatasinya, karena pembahasan akan panjang dan bergantung pada kasusnya. Bukanlah cara yang tepat menghentikan kebiasaan anak memukul dengan menuruti kemauannya dulu. Karena sejalan dengan waktu kemauannya akan makin berkembang, sehingga yang terjadi justru kebiasaan memukulnya makin menjadi-jadi. Sementara, apabila Orang tua sudah tidak mampu lagi mengatasi anak tersebut, ada baiknya segera berkonsultasi ke psikolog agar bantuan segera diberikan kepada anak tersebut. Pembiaran akan menuai masalah ketika anak menjadi makin besar dan keinginan-keinginannya makin kompleks. Yang terpenting Orang tua harus punya kesadaran untuk segera mengubah pola asuhnya, demi perkembangan kepribadian anaknya menjadi lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun