Guru-guru di Jatim Mulai Bosan Mengajar di Sekolah
Oleh : Majawati Oen
Tangan ini sudah gatal ingin menulis tentang fenomena ini. Tetapi apa daya, waktunya tidak kompromi. Jadi disimpan saja di hati sampai punya kesempatan santai duduk di depan laptop. Saya baca beritanya di Harian Jawa Pos beberapa hari yang lalu, bahwa guru-guru di Jatim banyak yang mengajukan pensiun dini. Beberapa alasan yang mengemuka adalah karena tunjangan yang diterima sudah mencukupi untuk membuka usaha. Jadi guru-guru ini mulai tertarik berwiraswasta. Apalagi yang mengajukan rame-rame, berarti kan rombongan. Ada yang salah kalau mau ganti profesi? Ya iya, karena mereka adalah guru-guru PNS yang ada aturannya boleh pensiun bila usianya sudah 50 tahun lebih dan masa kerjanya 20 tahun. Itu aturan lama, yang baru masih sedang disusun.
Fenomena ini membuat Mendikbud, Anies Baswedan angkat bicara “Jangan rusak dunia pendidikan, jika niatnya ingin ekonomi (mencari uang) jangan jadi guru.” Gubernur Jawa Timur, Soekarwo juga menolak pengajuan pensiun dini guru-guru ini, karena mereka bisa mengajukan pensiun dini bila ada surat keterangan dokter karena sakit sehingga tidak mampu lagi mengajar.
Ternyata gelombang pensiun dini sudah menggejala sebelum berita ini santer disebarkan media. Salah satu penyebabnya disinyalir adalah tunjangan sertifikasi yang diterima para guru-guru ini lumayan besar sehingga cukup untuk menjadi modal usaha. Lho, kenapa jadi terbelokkan begitu tujuannya ya....? Bukankah ketika gaji semakin tinggi maka loyalitas kerja makin meningkat? Ya itu kan teorinya, terbukti salah satunya pada kasus tunjangan untuk guru-guru justru menuai masalah. Bagaimana nanti dengan masa depan remunerasi gaji pegawai pajak? Apakah juga akan menuai nasib yang sama? Akan ditinggalkan rame-rame juga?
Sekitar 2 tahun yang lalu, saya berkesempatan kumpul-kumpul dengan teman-teman guru semasa sekolah dan kuliah. Terus terang saya merasa terasing diantara mereka, teman-teman saya itu rata-rata adalah guru dan kepala sekolah SD sampai SMU. Ada juga yang bekerja di kedinasan pemerintah sebagai PNS non guru. Saya terasing karena tidak paham dengan pembicaraan mereka tentang tunjangan-tunjangan dan cara-cara untuk dapat mencapai kenaikan pangkat. Ternyata caranya beragam, mulai dari legal sampai illegal. Jadinya cuma mesam-mesem sebagai pendengar. Mulai dari di tempat kita reuni sampai mengantar pulang dalam perjalanan di mobil, pembicaraan yang berhubungan dengan upaya mendapatkan tunjangan dan kendala-kendala serta solusi mendapatkannya diulas habis dan menjadi perbincangan gayeng diantara mereka. Saya seperti obat nyamuk, karena saya memang mengajar di bimbel, yang diluar jalur pemerintahan. Sama sekali tidak mengerti jalur pembicaraan itu. Pembicaraan teman-teman guru ini sungguh ekstrem di telinga saya, karena mereka benar-benar sudah berambisi mengejar duit. Tidak ada satupun kelakar tentang murid-murid atau curhat tentang kesulitan mengajar.
Dulu ketika setelah baru lulus kuliah saya sempat mengajar di sekolah swasta, gajinya memang kecil. Tetapi saya merasakan suasana yang berbeda dengan zaman teman-teman guru saya ini. Zaman itu, ketika kami berada di ruang guru, yang dibahas selalu murid-muridnya atau sistem-sistem penanganan masalah-masalah di sekolah. Pembicaraan tentang gaji dan tunjangan sepertinya tak pernah saling dibicarakan. Sekarang para guru dengan vulgar bercerita tentang deretan angka-angka fantastis yang bisa diraup dengan pekerjaan sebagai guru. Kalau mendengar pembicaraan mereka, memang kesejahteraan guru meningkat tajam, khususnya untuk guru-guru yang bekerja sudah lumayan lama dan dapat melampaui sertifikasi dengan tangkas. Bahkan para lulusan guru yang masih gres, pernah saya tanya saat wawancara mencari guru di bimbel saya, terang-terangan menjawab karena tergiur dengan tunjangannya.
Dari murid-murid saya dan orang tuanya, saya juga sering mendapat keluhan karena guru di sekolah anak mereka mulai asal-asalan mengajar di kelas. Sering kelas ditinggal hanya diberi tugas. Bahkan saat ulangan. Di saat UTS/UAS kalau murid kesulitan atau materi belum diajarkan, jawabannya akan diberitahu. Kasus seperti ini marak, pemberian materi tidak sampai tuntas diajarkan. Murid-murid banyak yang tidak mengerti, karena itu mereka menjadi butuh les. Kalau ada murid yang menonjol, jawabannya langsung dijadikan acuan untuk anak-anak yang lain. Terkadang guru juga salah memberikan penjelasan. Sebagian guru-guru yang sudah mendekati usia pensiun, menunjukkan sikap menyabar-nyabarkan diri untuk menunggu pensiun. Meskipun hati dan pikirannya sudah tidak betah di sekolah lagi. Beban sertifikasi sudah tak mampu dikejar oleh mereka, karena gemblengan menuntaskan sertifikasi menuntut mereka belajar kembali sementara usia yang sudah makin bertambah membuat daya adaptasi mereka makin turun. Sementara guru muda-muda yang masih energik akan lebih bisa mengikuti program sertifikasi, masih kuat untuk kuliah lagi, meskipun itu juga menyita waktu. Mereka harus pandai-pandai membagi waktu antara kerja dan tuntutan profesi. Meskipun program sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja guru, pada kenyataannya di lapangan mereka sampai sudah kelelahan saat mengajar di depan kelas. Tetapi karena ini hal wajib dan ada tunjanganya, maka diuber juga.
Dari paparan saya di atas, inilah fenomena yang sedang terjadi pada guru-guru kita. Mereka dituntut belajar dengan aturan yang ditentukan oleh negara, sementara pengawasan mengajar di sekolah-sekolah kurang sekali. Jangankan dari diknas, kepala sekolah saja mungkin sudah jarang supervisi kok! Mungkin untuk jabatan kepala sekolah juga seabreg tuntutan-tuntutan untuk memperoleh tunjangan sertifikasinya. Di sinilah yang saya anggap seperti mengejar umpan, tetapi tak pernah mendapatkan hasil tangkapan. Saya kira sangat jelas tujuan dari program sertifikasi adalah agar guru-guru makin profesional mengajar sehingga dapat menghasilkan anak didik yang berkualitas. Kenyataannya sekarang guru-guru jadi semangat (sebagian terpaksa) mengikuti program sertifikasi untuk mendapatkan kompensasinya. Betapa beratnya kerja double-double, harus belajar, harus mengajar, harus mengikuti prosedur birokrasi. Setelah kerja keras mereka dianggap cukup untuk kerja lainnya yang dianggap menguntungkan dan tidak memberatkan tentunya mereka menjadi berpikir untuk pindah profesi saja. Itu manusiawi!
Apa bisa orang dipaksa loyal pada pekerjaannya? Apa bisa karena gaji besar mereka menjadi setia pada pekerjaannya? Sebuah kenyamananlah yang membuat guru-guru di zaman dulu setia pada pekerjaannya sampai tua, meskipun gajinya kecil. Mereka merasa bebas mengajar, mendidik para murid dengan prinsip-prinsip yang diyakininya dengan benar. Loyalitas dan tanggung jawab mengajar para guru-guru zaman guru tidak dinilai dengan uang, tetapi kepuasan ketika murid-murid itu menjadi bisa. Memang guru-guru zaman dulu terkenal galak dan disiplin, tetapi proses belajar-mengajar dapat mencapai tujuannya. Sebuah loyalitas dan tanggung jawab profesi tidak bisa disuap dengan uang. hal itu akan muncul dalam diri seseorang karena panggilan moralitasnya. Penghasilan yang besar adalah penunjangnya, jangan dibalik.
Apakah para guru-guru ini ingin merusak pendidikan dan hanya mencari materi semata? Saya yakin tidak. Mereka sudah mengenyam pendidikan guru dan mengajar di sekolah, tentu saja profesi itu dijalaninya dengan sadar dan kesungguhan bahwa menjadi guru adalah cita-citanya. Jika pada akhirnya di tengah jalan mereka berniat beralih profesi itu wajar. Yang menjadi tidak wajar adalah mereka rame-rame mau pensiun dini. Ada apa ini? Saya yakin, mereka tahu saat dulu memilih profesi guru resikonya seperti apa? Mereka juga pasti sudah mengukur nanti gajinya berapa? Kalau sekarang para guru ini memanfaatkan tunjangan sertifikasi yang mereka terima untuk beralih profesi, seharusnya pemerintah khususnya yang mengurusi kepegawaian guru mulai refleksi diri. Adakah yang salah dengan program yang mereka buat untuk guru-guru ini?
Apa jadinya kalau murid-murid di Jatim diajar oleh para guru yang dihambat pensiun dininya? Saya khawatir murid-murid menjadi korban “asal mengajar” oleh para guru-guru ini. Jika saja seorang guru mengajar 25 murid, saat ini ada sekitar 300 guru yang mengajukan pensiun dini, maka ada 7.500 murid yang akan menjadi korban “asal mengajar” Belum lagi kalau mereka mengajar paralel. Sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan terpaksa, akan dilakukan setengah-setengah. Mungkinkah selama ini yang dikeluhkan oleh para murid-murid saya dan orang tuanya juga termasuk dalam kategori “terpaksa mengajar”?
Dari kejadian ini, ada banyak pembelajaran bagi bangsa ini. Sebuah niat baik saja tidak cukup, harus memikirkan banyak sisi baik dan buruknya. Dan bagaimana sebuah tujuan dapat mencapai sasarannya dengan tepat. Sangat penting bagi suatu institusi mengadakan uji kelayakan, pengamatan dan pengawasan yang berkesinambungan atas kebijakan yang diambil jangan sampai di belakang hari justru berimplikasi negatif karena penerima kebijakan tidak sama memaknainya dengan tujuan luhur dari dibuatnya kebijakan tersebut. Sebagai institusi juga harus bisa “ngemong” para pegawainya, sehingga mereka bukan dipacu untuk sejahtera secara finansial saja, tetapi juga ditumbuhkan rasa memiliki dan mencintai pekerjaannya. Memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Apalagi Indonesia negara besar, ada banyak anak bangsa yang punya kemampuan manajerial yang bagus. Pasti bisa. Jangan sampai generasi muda kita dikorbankan karena berada dalam didikan “bukan pendidik”.
Salam untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik
Sumber rujukan :
1. http://www.jpnn.com/read/2015/03/18/293019/Guru-Ajukan-Pensiun-Dini-Rame-Rame,-Ada-Apa-nih
2. http://www.antaranews.com/berita/485547/soekarwo-tolak-pensiun-dini-guru-karena-mau-wiraswasta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H