Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menghadapi Anak yang Sering Mogok Belajar

4 Mei 2014   17:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_334651" align="aligncenter" width="523" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Seorang murid saya baru saja datang ke ruang les, dia duduk di sebelah saya dan berkata “Aku nanti pulang jam 6, ya?” Saya hanya tersenyum, tidak menjawab. Lalu saya minta dia mengeluarkan buku-bukunya serta tugas-tugas dari sekolah yang harus diselesaikannya. Ada 1 pr dan 2 tugas belajar. “Aku nggak mau belajar, aku mau buat pr thok!” Lalu dia mulai merengek-rengek, wajahnya cemberut, air matanya mau tumpah, tangannya sudah mengepal-ngepal, mau merobek kertas yang jadi bahan belajarnya.......

Kasus di atas adalah salah satu kasus mogok belajar yang kerap terjadi pada anak-anak. Belajar adalah kewajiban anak sekolah. Ada kalanya beban belajar menjadikan anak mogok. Sebuah keadaan dapat membuat anak enggan belajar, karena dirasa membebaninya. Bila hal ini terjadi sekali-sekali, itu masih wajar. Tetapi bagaimana kalau setiap kali belajar selalu mogok? Mogoknya jadi rutinitas. Tentu saja itu merepotkan orang tua, guru dan anak itu sendiri. Tak jarang terjadi tindakan memarahi, menghukum, memaksa belajar. Ada pula yang memberi hadiah sebagaisogokan supaya mau belajar.

Kenali penyebab mogok

Perlu disadari sering mogok belajar pasti ada penyebabnya. Dengan menggali penyebab mogok, dapat dilakukan penanganan yang tepat. Penyebab mogok belajar dapat dibedakan menjadi 2, yaitu penyebab dari dalam diri dan luar diri. Penyebab dari dalam diri, seperti : rasa malas, suasana hati yang berubah-ubah, pemahaman yang lemah, alergi belajar. Penyebab dari luar diri, seperti : kurangnya rasa nyaman dari lingkungan belajar, cara guru atau orang mengajari tidak menyenangkan, penyampaian materi tidak sistematis, kalah saingan.

Penyebab mogok belajar harus diatasi dulu. Penyebab dari dalam biasanya berhubungan dengan kebiasaan belajar yang salah atau kurang tertib saja. Penyebab dari luar memerlukan pengamatan yang lebih menyeluruh. Pada kasus anak tidak nyaman di lingkungan sekolah maka hasrat belajar selalu tidak ada, perlu diatasi dulu apa penyebabnya. Cara guru mengajar tidak menyenangkan, dalam hal ini anak harus diberi bantuan diulang lagidi rumah untuk dapat memahaminya materi pelajaran tersebut, begitu pula dengan penyampaian materi yang tidak sistematis. Memang tidak semua murid bisa langsung paham dengan penjelasan guru di sekolah yang secara klasikal. Hal ini disebabkan daya tangkap murid yang berbeda-beda. Kalah saingan, tak jarang melemahkan semangat anak dalam belajar. Anak yang terbiasa jadi juara kemudian tidak juara, bisa menjadi patah semangat.

Pendekatan persuasif

Mengajak anak berdialog akan penyebab mogok belajar adalah cara pertama yang tepat, disamping pengamatan atas perilakunya. Tindakan memarahi dan menuduh tanpa alasan dan dukungan bukti-bukti justru membuat anak menutup-nutupi masalahnya. Bertanyalah dan dengarkan keluhan permasalahan belajarnya, kemudian diarahkan dengan tindakan-tindakan yang dapat membantunya mengatasi masalah belajarnya. Orang tua atau pendamping belajar harus objektif dalam menyikapi keluhan anak, agar jangan sampai anak justru mengadu domba orang tua dengan guru, misalnya. Hal ini terjadi ada anak-anak yang suka melemparkan kesalahan pada orang lain.

Mematahkan sikap mogok anak

Mogok belajar yang sudah jadi rutinitas memang sulit mengatasinya. Pada anak kecil, usia SD biasanya disertai dengan sikap rewel, seperti menangis keras-keras, marah-marah, membanting barang-barang di sekitarnya. Tak jarang orang tua jadi terpengaruh dengan sikap itu, lalu melakukan daya upaya supaya anaknya tenang dengan menuruti kemauannya. Tanpa disadari, sikap ini justru menjadi pembenaran dan senjata bagi anaknya untuk melanjutkan mogok belajarnya. Bila orang tua tidak segera menyadarinya, sikap ini akan makin berkembang dan mengakibatkan dia menemukan cara-cara yang makin bisa memenuhi keinginannya yang salah itu. Dalam arti anak bisa menyetir orang tua untuk menuruti kemauannya, kalau tidak dia akan makin bertingkah.

Mematahkan sikap mogok, harus dilakukan dengan ketegaran hati dan sikap tegas orang tua / pendamping belajar, serta sebuah kesadaran bahwa perilaku anak sudah mengarah pada tindakan yang merugikan dirinya sendiri.

Tahapan mematahkan sikap mogok belajar :

1.Menerapkan jadwal belajar yang teratur dan waktu belajar yang tidak membebani. Misalnya 2 jam sehari, diupayakan bisa selesai. Kalau tidak selesai harus ada waktu jeda, supaya anak tidak merasa bosan dan tertekan. Lalu bertahap ditingkatkan.

2.Berkomitmen dengan anak untuk menepati jadwal itu, sehingga harus siap apabila muncul sikap penolakan orang tua / pendamping belajar harus bisa bertahan dengan komitmennya.

3.Tidak mudah terpancing dengan perilaku anak untuk melanggar komitmen. Terpancing emosi bisa dalam bentuk marah-marah, mengomel, atau cuek. Bisa juga menyerah dengan keinginan anak, daripada dia rewel, ditunda dulu saja. Pelanggaran komitmen akan berlanjut menjadi tindakan tidak disiplin.

4.Bermuka datar, adalah salah satu cara ampuh untuk meredam anak memancing emosi orang tua / pendamping belajar. Bila emosi muncul, anak merasa berhasil mengalihkan perhatian, tindakannya akan makin menjadi-jadi. Berusahalah tetap bermuka datar di depan anak, sampai selesai belajar.

5.Selalu memotivasi dengan kata-kata yang positif dan meyakinkan anak, bahwa ia akan dapat menyelesaikan tugas belajarnya dalam waktu yang tidak lama.

Konsekuensi berkelanjutan sampai terbentuk sikap permanen

Bukan perkara mudah untuk mengatasi anak yang sering mogok belajar. Apalagi berharap dengan cara-cara instant, sekali tindakan anak langsung berubah. Perubahan perilaku dapat terjadi kalau dibiasakan, oleh sebab itu anak perlu didampingi dan diawasi untuk mencapai perubahan sikap yang sifatnya permanen. Butuh waktu 6 bulan sampai setahun, bahkan lebih untuk mengawal mereka memiliki kesadaran akan tanggung jawab belajarnya. Yang terpenting pula, janganlah mudah memberi hadiah sebagai ganjaran atas perbuatannya. Anak akan menagih dan menagih lagi. Perilakunya berubah ada batas waktunya, yaitu sampai hadiah yang diinginkannya diterima, lalu balik lagi ke perilaku lamanya. Umpannya haruslah penguatan atas perubahan perilaku itu. Buktikan ke anak bahwa dengan bertambahnya tanggung jawab belajarnya, ia menjadi tidak terbebani dalam belajar. Bisa belajar dengan nyaman, hasilnya baik dan tidak terlalu lama. Nyatakan pula bahwa kelak saat naik kelas menjadi tidak kesulitan, dan suatu saat bisa belajar mandiri. Bila ingin memberi hadiah, alasannya bukan karena dia tidak lagi mogok belajar.

Perjalanan untuk mencapai perilaku bertanggung jawab ini biasanya tidaklah mulus, pasti ada saat-saat mereka kembali menunjukkan sikap mogoknya. Oleh sebab itu pengawasan dan pendampingan masih harus selalu dilakukan. Orang tua / pendamping belajar jangan sampai kesal dan marah dengan keadaan ini, lalu mengungkit-ngungkit sikap buruk yang muncul lagi ini karena kata-kata itu akan melemahkan anak dan dapat mengembalikan dia ke posisi awal. Tetaplah memotivasi dan angkat semangatnya untuk bangkit kembali. Ketegasan diperlukan, bukan memarahinya.

Menuju belajar mandiri

Ketika kesadaran belajar sudah terbentuk pada diri anak, mogok belajar sudah tidak lagi terjadi saat itulah anak mulai digiring untuk menuju belajar mandiri. Hal ini juga seiring dengan perkembangan umur anak. Anak mulai dapat mengatur jadwal belajarnya sendiri, tanpa pengawasan. Menyiapkan dan mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dengan baik. Waku belajar menjadi efisien dan efektif. Prestasi belajar baik. Ada kalanya, justru orang tua / pendamping belajar yang tidak memberi kesempatan ini kepada anak. Akibatnya anak mempunyai ketergantungan dan tidak percaya diri bahwa ia sudah bisa belajar mandiri. Memang belajar perlu diawasi, tetapi pengawasan yang berlebihan membuat anak tak mempunyai inisiatif. Tak jarang anak jadi terbiasa menunggu perintah belajar dari orang tuanya. Di saat anak sudah sampai pada tahap sanggup belajar mandiri, peran orang tua adalah mengawasi dan mendampingi anak di saat mengalami kesulitan. Pada tahap ini kesadaran belajar sudah harus menjadi alarm di dalam diri anak untuk dapat memenuhi kebutuhan belajarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun