Jangan Remehkan Teman Sepermainan dan Lingkungan Sosial Anak!
Oleh : Majawati Oen
Kasus Emon, seorang pedofilia asal Sukabumi yang menggegerkan dengan melakukan perbuatan kejahatan seksual pada anak-anak di bawah umur sungguh memprihatinkan. Bukan satu atau dua anak, tetapi mencapai ratusan anak mengaku sebagai korbannya. Anak-anak di lingkungan kota Sukabumi terlibas dengan kejahatan seksual yang dilakukan Emon. Tempat dia melakukan perbuatan itu di suatu pemandian air panas Lio Santa. Betapa hebatnya Emon menggiring anak-anak ke tempat itu dan tidak ada yang memberi laporan ke orang tuanya sampai jumlahnya begitu banyak baru terbongkar.
Tayangan Indonesia Lawyer Club dari TV One, hari Selasa malam saya ikuti pembahasannya. Emon juga sempat ditampilkan secara live untuk diwawancari oleh Karni Ilyas. Ada yang menarik dari wawancara itu, yaitu, ketika Emon ditanya, “Sejak kapan dia mulai disodomi dan siapa yang menyodomi?” Emon menjawab,”Saya mengalaminya saat umur 10 tahun oleh teman saya. Teman saya itu umurnya 28 tahun.” Anak umur 10 tahun berteman dengan orang berumur 28 tahun? Pertemanan semacam apa itu?
Bedakan dengan kasus di bawah ini
Kasus pertama :
Si A berumur 9 tahun, kelas 4 SD. Anak ini tiba-tiba jadi suka membantah orang tuanya, tidak mau belajar di rumah. Sukanya main ke rumah tetangga, yang suka mengajak dia bermain futsal. Hampir sehari-hari dia ke rumah tetangganya ini, padahal latihan futsal hanya dilakukan seminggu sekali di hari Sabtu. Lalu pada hari lainnya apa kegiatan Si A di sana? Ibunya baru menyadari ada yang tidak beres ketika suatu saat ada tayangan di TV yang beradegan agak berbau porno, lalu A bisa kenal istilah-istilahnya yang lebih pantas dikenal oleh orang dewasa. Ternyata setelah didesak oleh ibunya, Si A sudah pernah melihat film porno di sana. Teman Si A memang sudah setingkat SMA, dan rumahnya jadi tempat ngumpul bersama teman-temannya yang usia SMA.
Kasus kedua :
Seorang ibu mempunyai anak perempuan kelas 1 SD berumur 6 tahun bernama Si B, suatu hari dia tiba-tiba mendapat surat dari sekolah agar menemui kepala sekolah, karena anaknya kedapatan mencuri di pedagang mainan di luar sekolah. Ibunya kaget bukan main, kok bisanya anaknya sampai mencuri? Selidik punya selidik, ternyata dia berteman dengan anak di kelasnya yang memang suka melakukan hal yang sama. Mengambil barang orang lain, tetapi teman Si B sudah berpengalaman, dia tak pernah ketahuan. Apa motivasinya Si B sampai mencuri, karena dia tertarik dengan keahlian temannya itu. Kok bisa ya, nggak ketahuan? Asyik bisa dapat mainan tanpa bayar.
Kasus ketiga :
Si C adalah anak kelas 2 SD, dia termasuk anak yang sedang-sedang saja di kelas. Tetapi Si C mudah bergaul, temannya banyak. Dia suka ngobrol di kelas, sampai sering kena hukum oleh gurunya. Ibunya memantau teman-teman Si C, selalu ditanya kamu suka berteman dengan siapa di sekolah? Ibunya mengarahkan Si C untuk berteman dengan teman yang bisa memacu semangat belajarnya dan juga membantunya mengendalikan kebiasaan suka bicaranya. Sejak kelas 2 SD Si C berada di lingkungan teman-teman yang memberi pengaruh positif padanya. Hasilnya prestasi Si C di sekolah bagus, karena dia selalu bersaing dengan teman-teman dekatnya. Cara belajar dan sikap belajar di kelas terpengaruh dengan teman-temannya yang pandai itu, hal ini memberi pengaruh dia lebih memperhatikan guru mengajar di kelas dan mengurangi kebiasaan ngobrolnya.
Kasus di atas sungguh terjadi, bukan hanya karangan. Hanya nama yang tidak saya tuliskan. Teman dekat di masa anak-anak itu pengaruhnya besar. Ada yang berpengaruh positif, ada juga yang negatif. Yang pasti pengaruhnya besar sekali. Anak lebih nyaman diberitahu temannya daripada orang tuanya. Yang bahaya adalah, kalau pengaruh negatif yang ditularkan. Begitu cepat menyusup dan biasanya anak tak berani terus terang dengan orang tua kalau sampai terjadi sesuatu yang sifatnya pribadi. Selagi masih bisa ditanggung, mereka akan diam. Anak-anak SD juga rawan dengan ancaman, rasa takut dan menurut masih mendominasi.
Teman sepermainan dan lingkungan sosial anak harus berada dalam pantauan orang tua. Orang tua tidak perlu membatasi anaknya bergaul dengan teman-temannya, tetapi memantau dan mengarahkan anak-anak bergaul dengan teman-teman bermainnya sehari-hari adalah cara yang paling bisa diandalkan untuk menjauhkan anak dari pengaruh negatif dan tindakan kejahatan. Dengan meremehkan teman sepermainan anak dan lingkungan sosialnya bisa menjadi pintu masuk anak terjebak pada pola perilaku yang menyimpang, sikap yang buruk dan terancam tindakan kejahatan.
Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan orang tua dalam memantau teman sepermainan anak dan lingkungan sosialnya :
- Waspadai bila anak rutin bermain dengan teman yang beda usianya lebih atau kurang dari 5 tahun dengan usianya. Rawan untuk mendapat perlakuan yang kurang layak atau sebaliknya melakukan perbuatan yang tidak layak.
- Anak dibiasakan berpamitan dan memberitahukan secara jelas tempat yang dituju saat bermain.
- Ada batasan waktu bermain, di mana ia harus pulang ke rumah sesuai aturan orang tua.
- Ada sanksi apabila ada pelanggaran atas point b dan c.
- Mengetahui situasi tempat anak bermain dan dipastikan aman untuk anak. Ada banyak kejadian anak bermain ke rumah temannya, bahkan sampai tidur siang di sana. Ternyata terjadi pelecehan seksual oleh ayah temannya. Kalau bermain di tempat umum,orang-orang seperti apa yang sering berada di sana.
- Jika anak berada dalam pengawasan orang lain, selama orang tua bekerja harus dipastikan bahwa orang tersebut tidak akan membahayakan anak dan diusahakan tidak menitipkan pada lawan jenisnya serta pada kondisi hanya berdua.
- Perhatikan perilaku, suasana hati anak di saat akan berangkat bermain dan baru pulang bermain. Apakah ceria atau murung?
- Secara berkala orang tua, terutama ibu harus mengkontrol kondisi fisik anaknya. Untuk segera mengetahui apabila ada perubahan yang disembunyikan.
- Sebisa mungkin tidak membiarkan anak usia SD sudah punya akun sosmed yang sebenarnya ada batasan umur hanya untuk yang dewasa. Bila sudah terjadi, harus diawasi dan bisa diacces oleh orang tua.
- Berilah uang jajan secukupnya, sehingga dia bisa membeli jajanan yang diinginkan. Tak jarang hanya karena tak punya uang mereka terjebak oleh kejahatan karena ingin mendapatkan uangnya. Uang jajan perlu bagi anak-anak dalam jumlah yang pantas. Uang jajan yang berlebihan juga membahayakan anak.
- Waspadai anak yang konsumtif. Pergaulan dengan teman-teman yang lebih dari kondisi sosial ekonomi keluarganya membuat anak melakukan perbuatan-perbuatan untuk mendapatkan uang secara instant, bahkan berani menjual diri.
- Ikut sertakan anak pada kegiatan seni atau olah raga yang sesuai dengan bakat dan minatnya, untuk mengisi waktu dan mengasah bakatnya. Hal ini juga berguna untuk meredam gejolak negatif dalam dirinya. Disamping itu mereka menjadi punya teman-teman dengan hobi yang sama.
- Membiasakan bersikap terbuka di dalam keluarga, berani mengungkapkan permasalahan kepada orang tua atau saudara adalah salah satu cara preventif kejahatan menyerang anak-anak.
- Anak-anak juga rentan dengan stimulus seksual yang simpatik. Cara-cara halus yang tidak menakutkan anak menjadi jalan masuk untuk kejahatan seksual. Kasus ini yang seringkali menjadi rahasia anak, karena merasa tidak tersakiti tetapi mereka telah dilecehkan.
- Seimbangkan hidup dengan kegiatan keluarga secara terencana, seperti pergi beribadah bersama, jalan-jalan, makan bersama dan lain-lain. Saat ini karena masing-masing anggota keluarga punya kesibukan masing-masing, sehingga setiap orang punya kegiatan sendiri-sendiri. Serumah tapi tak saling tahu.
Bila dicari mungkin masih banyak lagi, tetapi semoga dengan terbongkarnya kasus Emon di Sukabumi orang tua menjadi waspada dan mau peduli pada tumbuh kembang anaknya. Teman sepermainan dan lingkungan sosial perlu menjadi perhatian orang tua dan dikondisikan yang bisa membawa pengaruh positif kepada anak-anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H