Anak Muda Haruskah Dipaksa?
(Oleh : Majawati Oen)
Beberapa hari yang lalu, saya menghadiri seminar informasi perguruan tinggi di sebuah hotel di kota Malang. Memang tahun depan anak saya akan kuliah. Dengan beberapa pertimbangan, rencananya akan melanjutkan ke luar kota dan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pilihan pada PTS, antara lain karena kwalitas PTS saat ini tak kalah bagus dengan PTN, proses belajar yang lebih tertib, kenyamanan kampusnya, kelengkapan fasilitasnya dan yang terpenting lulusannya bisa bersaing di dunia kerja. Walaupun saya sendiri lulusan PTN, tetapi untuk anak saya justru saya tertarik dia kuliah di PTS.
Hal-hal yang disampaikan pada seminar tersebut bukan hanya sekedar promosi, tetapi lebih ditekankan bahwa PTS tersebut punya target-target untuk peningkatan kwalitas lulusannya agar mereka bisa menjadi bagian dari dunia kerja yang lebih unggul di saat mereka lulus nanti. Oleh sebab itu pada saat belajar di sana para mahasiswa ini akan dipaksa untuk dapat memenuhi target-target kurikulum yang ditetapkan. Sebagaimana di disampaikan oleh salah satu dosennya, bahwa para mahasiswa pada awalnya akan banyak mengeluh, “Sulit, Pak!” Dan para dosen menjawab,”Kalau kamu tidak bisa, ya tidak lulus!” Akhirnya para mahasiswa dipaksa untuk belajar lebih tekun, mengejar ketinggalannya sampai bisa. Tentu saja mereka tidak mau tidak lulus. Memang mereka akan terpaksa melakukan itu semua. Berdaya upaya mengatasi kesulitannya. Setelah berkali-kali mereka menjadi terbiasa. Apa yang tadinya dianggap sulit, tidak lagi menjadi sulit. Kesulitan itu dengan sendirinya menghilang dan berubah menjadi kemahiran. Bukan hanya secara akademis tetapi perubahan itu juga menyangkut ketrampilan dan sikapnya.
Saat ini anak saya juga belajar di SMU yang menerapkan sistem ketat pada para muridnya. Baik disiplin maupun beban belajar yang cukup berat harus mereka lalui. Pada awalnya memang kepontalan dan sampai menurun kondisi kesehatannya. Tetapi sejalan dengan waktu dia terbiasa juga. Anak-anak ini dipaksa kuat untuk bisa memenuhi tugas-tugas dan kewajibannya. Terkadang saya juga merasa kok seberat itu sih? Apa perlu anak muda dipaksa begitu?
Sedangkan pada mahasiswa, mereka akan mulai bekerja 4 tahun lagi, kalau mereka lulus tepat waktu. Kondisi dunia kerja 4 – 5 tahun mendatang sudah berbeda dengan sekarang. Apalagi perkembangan teknologi sedemikian pesatnya. Tantangan mereka 5 tahun ke depan jauh berbeda daripada hari ini, lebih jauh lagi bedanya dibandingkan dengan zaman orang tuanya. Persaingan makin ketat, mereka bukan hanya dituntut pintar saja. Mereka harus kreatif, inovatif, adaptif dan membangun jaringan pertemanan yang luas. Gemblengan di saat mereka kuliah harus bisa menjamin untuk menjadi sosok pekerja yang berdaya saing di saat lulus nanti. Itulah yang harus disiapkan saat mereka belajardi Perguruan Tinggi. Oleh sebab itu apabila para anak muda ini salah menyikapi masa-masa kuliah dengan pemahaman yang salah, yaitu menganggap masa kuliah adalah masa santai, enak-enaknya belajar dalam waktu singkat lalu pulang atau mengikuti keinginan yang bebas, mereka akan menyesal. Sudah banyak terjadi, anak muda drop out dari Perguruan Tinggi tanpa alasan yang jelas. Berpindah-pindah jurusan atau perguruan tinggi karena merasa tidak cocok.
Dunia kampus memang berbeda dengan dunia sekolah. Mereka mulai merasakan kebebasan dalam mengatur jadwal kuliah dan lebih banyak bisa mengisi waktu dengan hal-hal yang lebih disukainya. Kesempatan memilih lebih besar dibandingkan dengan masa-masa sekolah. Bagaimana orang muda mengartikan kebebasan ini? Itu yang perlu disadari dan tidak disalahgunakan. Tak jarang mahasiswa yang dikirim orang tuanya sampai ke luar negeri pun juga gagal di tengah jalan. Kedewasaan memang berarti pula mendapatkan kebebasan, tetapi salah memaknai kebebasan menjadikan anak muda bukan apa-apa.
Perkembangan zaman saat ini dengan segala fasilitas yang ditawarkan membuat Perguruan Tinggi mulai merangkul para mahasiswanya untuk diajak lebih terlibat dalam kegiatan kampus yang akan memberi pengaruh positif daripada mereka menggunakan kebebasannya secara tidak bertanggung jawab. Tugas-tugas yang banyak dan kewajiban para mahasiswa terlibat dalam kegiatan kampus akan mengurangi dampak pengaruh negatif para mahasiswa menikmati kebebasannya. Para anak muda ini memang usianya sudah dewasa, tetapi godaan yang ada di sekitarnya begitu banyak di zaman sekarang ini. Mereka sudah tak bisa diawasi langsung oleh orang tuanya, apalagi yang berada di luar kota. Oleh sebab itu tuntutan kurikulum, proses belajar dan jaringan pertemanan di perguruan tinggi harus bisa menggembleng dan memberi dampak positif bagi para mahasiswa ini agar mendapatkan manfaat besar selama kuliah dan lulus dengan kwalitas yang berdaya saing.
Ada tujuan di balik semua itu, bahwa tantangan mereka ke depan itu lebih banyak, lebih berat dan lebih sulit. Mereka perlu mendapat tempaan sejak awal. Anak muda tidak bisa hanya dinasihati dan diarahkan. Mereka juga perlu dipaksa dengan aturan-aturan yang mengkondisikan mereka untuk menjadi sosok yang berkwalitas. Bukankah menjadi lebih baik itu ada prosesnya? Menjadi lebih kreatif, lebih gesit, lebih cepat tanggap juga perlu latihan? Salah besar kalau anak muda sekarang justru berleha-leha di masa-masa kuliahnya, menyia-nyiakan waktu dengan hal-hal yang tak bisa mereka ulangi kembali. Ketika sudah lulus sarjana bahkan sudah S2, ijazah sudah di tangan. Mereka baru tersadar bahwa dunia kerja menuntut lebih dari nilai yang berjajar di ijazah itu. Boleh jadi ada koneksi, tetapi di zaman sekarang hal itu tidaklah jadi andalan. Kemajuan teknologi membuat para pencari kerja bisa memilih calon pekerja dari kalangan manapun. Persaingan semakin ketat dan pekerja dituntut untuk bisa memberi kontribusi nyata, cepat, berguna dan unik. Saat ini semakin banyak anak muda kreatif, karena ditunjang fasilitas yang memadai dan kemampuan menjalin hubungan serta peluang lebih luas memasarkan hasil karyanya. Oleh sebab itu makin menjamur anak muda meraih sukses lebih cepat. Siapa cepat, dia dapat. Siapa mau kerja keras, dia maju dan berkembang. Siapa berani, dia meraih peluang. Apakah mereka anak muda yang biasa-biasa saja? Mereka jauh dari biasa-biasa, mereka luar biasa. Mereka melakukan hal-hal yang lebih dari teman-temannya. Memaksa diri untuk disiplin, berani, berkali-kali jatuh bangun, lebih tekun dan mampu mengatasi tekanan-tekanan yang dialaminya.
Jika demikian, haruskah anak muda dipaksa?Bila ingin sukses, mereka harus dipaksa menjalani proses penempaan diri. Bila mereka sadar di awal, mereka akan memaksa diri tanpa harus dipaksa pihak lain. Masalahnya tidak banyak anak muda yang suka memaksa dirinya sendiri. Masih begitu banyak anak muda yang lebih mengedepankan kenyamanan dirinya daripada memikirkan masa depannnya di awal. Saya sependapat jika lingkungan perguruan tinggi perlu mengkondisikan para mahasiswanya untuk terpaksa berbuat lebih. Perguruan Tinggi yang sudah mencanangkan para mahasiswanya bisa menjadi bagian dunia kerja dengan kwalitas patut diperhitungkan memang harus mengkondisikan proses perkuliahan yang kondusif dan menggiring mahasiswanya untuk lebih proaktif meningkatkan diri sejak masih duduk di bangku kuliah.
Sukses tidak datang tiba-tiba
Sukses yang datang tiba-tiba, juga bisa tiba-tiba lenyap
Berkemampuan dan berketrampilan adalah milik abadi
Menjamin sukses lebih mudah diraih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H