Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kompasiana Mengantar Saya Jadi Penulis Buku

7 Oktober 2014   11:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:05 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasiana Mengantar Saya Jadi Penulis Buku

Oleh : Majawati Oen

Dua tahun yang lalu, ketika ketemu Kompasiana, saya bukanlah orang yang tertarik dengan sosial media. Saya hanya menggunakan alat komunikasi untuk sms dan telpon, selebihnya browsing. Laptop dan komputer di rumah hanya untuk kerja, buat soal dan keperluan administrasi pekerjaan saya. Selebihnya browsing dan sesekali kirim email. Suami dan anak saya sudah biasa face book-an dan BBM-an. Saya ngotot, bertahan dengan kejadulan saya. Biarin....!!! Begitu pembelaan saya ketika mereka meminta saya untuk mulai melek dengan dunia sosial media.

Ketemu Kompasiana karena saya suka baca Kompas e-paper. Di situlah saya tanpa sengaja ketemu blog Kompasiana. Saya mulai coba-coba untuk tahu, apa itu Kompasiana? Hari itu juga saya memutuskan mendaftar, meskipun belum tahu dengan jelas nanti mau berbuat apa. Yang saya pahami saat itu, di Kompasiana bisa menulis artikel tetapi tidak dapat bayaran. Bayarannya tidak penting, tetapi bisa menulis adalah kerinduan yang begitu lama di hati saya. Apa yang mau saya tulis? Belum ada gambaran jelas, tapi yang jelas banyak yang ingin saya tuliskan. Menulis di Kompasiana membuat saya merasa seperti menemukan dunia saya yang hilang. Jadi ingat masa-masa di SMP ketika mengirim naskah untuk ditampilkan di mading (majalah dinding) sekolah. Kalau dulu di SMP, naskah harus diseleksi dulu oleh redaksi sehingga tidak semua naskah bisa tampil. Jadi kecewa karena naskah tidak terpilih untuk tampil di mading. Tetapi di Kompasiana beda, apapun tulisan kita bisa tampil. Bagi saya bisa tampil dan saya sendiri sebagai pembaca pertamanya saja, sudah senang sekali! Iya betul, itu yang saya alami. Di awal bergabung, saya suka membaca artikel dan sesekali memberi komentar. Posting tulisan saya yang pertama membuat hati saya deg-degan setengah mati. Begitu saya tekan publish, komputer langsung saya matikan. Ada ketakutan akan reaksi dari pembaca. Pada tulisan kedua, saya gagal memasukkan gambar ke artikel. Maluuu.... rasanya! Ya gimana lagi, sudah terlanjur publish. Akibatnya, saya tidak berani lagi buka Kompasiana sampai lama. Bahkan sampai saya publish tulisan ke-5, tulisan ke-2 itu baru berani saya intip. Tulisan saya yang ke-6 terpilih jadi HL. Waduh ..... gembiranya!!! Nggak ketulungan senengnya. Saya yang penulis angin-anginan ternyata juga bisa tembus HL. Sejak itu hati saya tertantang. Tak bisa dipungkiri, kesempatan tulisan di posisi HL bisa menaikkan adrenalin saya dan juga membuktikan bahwa tulisan saya diapresiasi oleh Admin Kompasiana. Berkesempatan HL membuat tulisan saya mulai dikomentari orang lain dan mendapat vote lebih banyak. Itu luar biasa artinya bagi saya. Sejak itulah keyakinan saya tumbuh, semangat menulis juga makin berkobar di dada.

Kesempatan saya untuk ngompasiana tidak banyak, sehingga membaca artikel para kompasianer lain sangat terbatas. Akibatnya saya terbatas sekali dalam ber-connecting. Tetapi saya selalu membalas komentar yang masuk di tulisan saya. Setiap kali baca tulisan Kompasianer lain hampir selalu saya tinggalkan jejak juga. Posting tulisan boleh dibilang sudah lancar saya lakukan, tetapi connecting juga harus dibangun bila bergabung di Kompasiana. Itu baru saya tahu belakangan. Dengan berconnecting kita bisa mengundang kompasianer lain untuk berkunjung di tulisan kita. Ya, itulah pola di Kompasiana. Hal ini pula saya manfaatkan untuk belajar mengenal tulisan orang lain. Membaca tulisan di Kompasiana ternyata banyak manfaatnya, karena dengan begitu saya makin mengasah diri untuk bisa menulis lebih baik dari waktu ke waktu. Ternyata itu benar dan bisa saya rasakan. Inilah pembelajaran yang saya sendiri alami.

Tak bisa dipungkiri, sebagai penulis pemula ganjaran HL dan TA adalah tempat terhormat. Punya pengaruh besar terhadap animo pembaca pada tulisan kita. Meningkatkan adrenalin kita sesaat. Makin memotivasi untuk menulis. Itulah kesempatan bagi saya untuk semakin memperbaiki diri dalam tulisan-tulisan saya. Berusaha agar tulisan yang saya publish dapat memberi manfaat bagi pembacanya. Sering terjadi juga, saat saya beranggapan tulisan yang saya publish akan mendapat posisi itu, tetapi tidak terjadi, secara manusiawi saya kecewa. Ternyata dengan semakin sering saya mengalami hal itu, ada manfaatnya. Menulis di Kompasiana dapat melatih mental saya untuk lebih gigih menulis dan tidak mudah “mutung”. Ganjaran HL, TA, HI, ter-ter... hanyalah bonus. Tulisan dibaca sedikit orang tak masalah, karena dari yang sedikit itu ternyata banyak yang komentar dan vote, kalau saja yang baca banyak, wah pasti yang komentar dan vote lebih banyak. Begitu cara saya menghibur diri, agar semangat menulis saya tidak kendur.

Ada beberapa kompasianer yang menginspirasi saya, yaitu Pakde Kartono dengan ODOP-nya, One Day One Posting. Saya belum mampu seperti beliau, tetapi ODOP sangat menginspirasi saya untuk rajin menulis. Om Jay dengan judul bukunya Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa yang Terjadi . Terus terang, awalnya saya juga tidak percaya dan kurang mengerti apa maksud dari judul buku itu. Tetapi saya yakin bahwa kalau kita mau menulis setiap hari pasti kemampuan menulis kita akan berkembang. Mbak Ellen Maringka dengan tulisannya yang penuh inspirasi dan rajin sekali posting, seorang penulis yang ramah. Tak heran tulisan Mbak Ellen selalu ramai komentar dan vote. Sayangnya akhir-akhir ini Mbak Ellen jarang posting tulisan. Pak Thamrin Sonata , melalui cerpen beliau, hati saya tergugah untuk menulis fiksi lagi. Pak Tjiptadinata Effendi adalah teman pertama saya, dan beliau yang meminta saya menjadi teman. Benar-benar saat itu saya merasa terbalik, seharusnya saya yang lebih muda dan penulis baru yang memintanya menjadi teman. Beliau juga kompasianer yang rendah hati dan suka berbagi. Pak Berhane adalah penulis humor yang sering sekali tulisannya saya baca, membuat saya sejenak terkekeh dengan artikelnya yang menyegarkan pikiran. Dari tulisan beliau, saya jadi ketularan menulis di kanal humor.  Tentunya ada banyak kompasianer lain juga yang menginspirasi saya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih rekan-rekan, kebersamaan di Kompasiana adalah sarana saya untuk belajar menulis dengan lebih baik dari waktu ke waktu. Sungguh tanpa saya sadari sepenuhnya, 2 tahun ini saya telah belajar menulis lebih baik dan mendapat gemblengan menulis secara otodidak.

Tantangan lain sebagai kompasianer adalah harus melek teknologi. Saya tersandung-sandung untuk urusan ini, seringkali jengkel sendiri karena tidak bisa dan tidak paham. Sampai sekarang pun saya masih terus belajar mengejar ketertinggalan ini. Tetapi karena tuntutan akhirnya saya terpaksa belajar,  saya ingin tulisan saya lebih berwarna dan bisa seperti tulisan-tulisan yang lain yang menampilkan foto dan link terkait. Bergabung kompasiana akhirnya menuntut saya untuk lebih melek teknologi meskipun tidak sampai taraf mahir.

Genre tulisan saya, lebih banyak tentang kehidupan anak-anak. Pekerjaan saya sebagai guru membuat saya menulis tentang hal itu seperti menggelinding saja. Istilahnya, sambil menutup matapun jadi. Tidak ada kekhususan saya dalam menulis, apa yang ada di kepala saya bisa langsung saja saya tulis. Tak perlu waktu lama, karena memang saya harus berbagi waktu dengan kegiatan sehari-hari yang cukup padat. Tetapi harus diakui, Kompasiana membuat saya selalu rindu untuk mengintipnya, terutama saat bekerja di depan laptop. Bergabung dengan Kompasiana juga menyuburkan ide saya menulis. Memudahkan saya dengan cepat menuangkan ide dalam tulisan. Tak terasa saya sudah menulis lebih dari 100 artikel. Melihat teman-teman di Kompasiana menjadi penulis buku, jadi muncul keinginan di hati saya mungkin suatu saat saya bisa menulis buku. Bentuknya seperti apa, belum terbayang. Bagaimana bisa menembus penerbit? Rasanya kok masih terlalu jauh dari jangkauan saya. Yang sudah pernah saya lakukan adalah berani mengirim tulisan ke media cetak, dan berhasil tembus.

Pada bulan Mei 2014 saya membaca ada seleksi menulis buku tentang pasangan capres dan cawapres karena mendekati pilpres. Bulan Mei sebenarnya adalah bulan yang sibuk bagi saya, karena bersamaan dengan persiapan Ujian Sekolah untuk murid-murid kelas 6 SD dan Ujian Kenaikan Kelas bagi murid kelas 1 – 5 SD. Agak ragu juga, apa bisa ya? Saya tertarik dengan tantangan itu karena menulis tentang tokoh idola saya Pak Joko Widodo. Hanya saja genre politik bukan bidang saya. Keraguan saya hanya sejenak, sosok Joko Widodo seolah memanggil saya untuk berkontribusi dalam buku tersebut. Kalaupun tidak lolos juga tidak apa-apa karena saya sadar, saya penulis pemula dan ini genre politik yang bukan bidang saya. Ketika mencoba menulis, kok sepertinya mengalir. Senang saya, maka mulailah saya mengikuti berita di TV dan internet tentang perkembangan terakhir menuju pilpres. Akhirnya naskah itu jadi. Saya benar-benar tertolong karena waktu pengumpulan naskah diundur sampai 16 Juni dari awalnya 9 Juni, sehingga ada waktu bagi saya untuk mengedit naskah saya. Naskah akhirnya saya kirim via email kepada Kompasiana dalam waktu yang sudah mepet sekali. Tak disangka saya dapat balasan bahwa filenya tidak ikut terkirim, karena memang saat kirim itu jaringan internet saya lagi tersendat-sendat jadi sering terputus-putus. Untung saya buka email tiap hari sejak naskah saya kirim, biasanya jarang sekali saya buka email. Lalu saya kirim ulang dan dapat balasan bahwa naskah saya sudah diterima.

Sehari sebelum pilpres, 8 Juli 2014, sekitar jam 10 malam. Saat saya buka Kompasiana, ada pengumuman tentang hasil seleksi buku itu. Benar-benar tak disangka naskah saya lolos. Wow..... !!! Rasanya lebih dari HL dan TA. Adrenalin saya benar-benar memuncak. Sampai malamnya sulit tidur, he he he..... Lebay ya! Benar-benar tak menyangka, tulisan saya yang bergenre politik justru lolos. Saya bisa jadi penulis buku kolaborasi, berjajar dengan para penulis yang sudah sering lolos dalam seleksi menulis buku. Bangga, senang, bahagia, kejutan, penuh syukur kepada Tuhan, semua itu memenuhi hati saya. Kabar gembira ini langsung saya sampaikan kepada anak dan suami saya. Saya juga kirim sms ke Mas Ikrom Zain, kompasianer asal Malang yang juga lolos pada seleksi naskah ini. Dia pun terkejut, ya karena kami berdua memang tidak menyangka.

Mengapa saya merasa bangga? Karena naskah saya di buku ini melalui proses seleksi. Yang menentukan tulisan saya layak diterbitkan adalah pihak penyeleksi. Ada penilaian dan bersaing dengan penulis-penulis lain. Bukankah, dengan begitu ada perkembangan dari tulisan saya. Dari yang tadinya hanya sekedar menyalurkan hobi menulis menjadi tulisan yang layak diterbitkan. Mungkin kalau saya tidak bergabung di Kompasiana, kemampuan menulis saya tidak terasah. Mental saya untuk bisa menulis lebih baik, juga tidak tertantang. Inilah buku kolaborasi pertama saya bersama 20 kompasianer lainnya, yang berjudul “Presiden Jokowi Harapan Baru Indonesia” yang diterbitkan oleh penerbit Elex Media Komputindo, salah satu penerbit berskala nasional. Judul artikel saya pada buku tersebut adalah : Duet Jokowi–JK Menyambut Tantangan Merebut Peluang. Buku ini dicetak sebanyak 3000 buku dan dijual secara online di Grazera.com (juga beberapa toko buku online) serta bisa dibeli di TB Gramedia, sejak 29 September kemarin.

[caption id="attachment_346410" align="aligncenter" width="300" caption="Buku Pertama : Presiden Jokowi Harapan Baru Indonesia (sumber foto : Pengelola Kompasiana)"][/caption]

Sharing saya ini hanya bermaksud untuk berbagi kepada para pembaca, terutama yang punya impian menulis buku. Dari pengalaman saya, ternyata jalan untuk menjadi penulis buku butuh perjuangan. Apa yang saya alami, membuktikan bahwa saya mulai benar-benar dari NOL. Bahkan berangkat  di bawah nol, karena sesungguhnya tak pernah terpikir atau punya angan-angan untuk menulis buku. Yang terpenting, jangan berhenti hanya sebatas keinginan, harus ada aksi nyata dan usaha untuk berani mencoba meskipun itu diluar kemampuan kita saat ini. Upaya untuk mencapai cita-cita memang tidak mudah tetapi kalau dilakukan dengan konsisten akhirnya sampai juga. Dengan adanya buku pertama saya ini, yang merupakan buku kolaborasi timbullah cita-cita baru di benak saya : buku pertama akan disusul dengan buku kedua.

Harapan saya benar-benar diberi jalan oleh Tuhan. Suatu hari saya mendapat inbox dari kompasianer Bapak Thamrin Sonata yang mengajak saya untuk menulis buku kolaborasi tentang Pancasila dalam rangka menyambut Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2014. Tentu saja saya sambut dengan senang hati, meskipun saya juga mohon petunjuk karena saya adalah penulis pemula. Beliau menyemangati saya dan memberi keyakinan bahwa saya bisa. Dari sanalah ide menulis mulai saya tuangkan dalam rangkaian kata dan jadilah naskah untuk buku ini. Berbeda dengan penerbitan buku yang pertama melalui seleksi, pada buku kedua kami berbagi biaya menanggung penerbitan buku ini bersama 29 kompasianer lainnya yang beragam suku bangsadan lokasi tempat tinggalnya. Sebuah keindahan dalam keberagaman, kebersamaan, saling melengkapi dan saling berbagi yang menyentuh hati saya. Padahal kami hanya saling mengenal melalui media kompasiana. Tidak pernah saling bertemu, tidak pernah saling dengar suaranya. Segalanya bisa terselesaikan dengan bahasa tulisan dan saling percaya.

Buku kolaborasi kedua berjudul “Pancasila Rumah Kita Bersama” akan dibedah pada acara nangkring bareng yang akan diadakan pada hari Jumat tanggal 10 Oktober 2014, pukul 15.00 di kantor Kompasiana. Pada buku kedua ini artikel saya berjudul : Masihkah Gagal Paham Pancasila?

[caption id="attachment_346233" align="aligncenter" width="300" caption="Buku Kedua : Pancasila Rumah Kita Bersama (sumber foto : Artikel Bpk Thamrin Sonata)"]

1412526018858622535
1412526018858622535
[/caption]

Buku pertama diterbitkan secara komersial untuk dijual kepada khalayak umum, sedangkan buku kedua merupakan buku yang diterbitkan secara self publishing dengan biaya keroyokan dan akan menjadi literasi di Perpustakaan Nasional RI. Keduanya adalah pengalaman yang berbeda bagi saya tentang proses penerbitan sebuah buku.

Akhirnya, tak salah bukan! Bila judul tulisan ini adalah “Kompasiana Mengantar Saya Menjadi Penulis Buku”. Sudah banyak kompasianer yang juga menerbitkan buku, semoga Anda pun akan menjadi salah satunya . Menyusul saya dan rekan-rekan kompasianer yang lain. Bergabung di Kompasiana, telah membuka “pintu lain” dalam kehidupan saya. Sebuah talenta yang selama ini tak pernah terasah. Hari ini tepat 2 tahun saya menjadi kompasianer. Dua tahun di Kompasiana, dua buku terbit. Kedua buku ini menjadi hadiah terindah di ulang tahun kedua saya sebagai kompasianer. Terima kasih Kompasiana dan semoga menyusul buku saya yang ketiga dan seterusnya sebagai wadah berbagi manfaat kepada sesama.

Faktanya : Cita-cita itu harus dikejar, bukan ditunggu datangnya!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun