Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pelajaran Mahal dari Kurikulum 2013

7 Desember 2014   13:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52 2095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_381226" align="aligncenter" width="600" caption="Mendikbud Anies Baswedan (sumber foto: Kompas.com)"][/caption]

Sekitar seminggu yang lalu, ada ibu murid saya mengantar anaknya dan menemui saya,"Alhamdulilah Bu, akhirnya..... kurikulum 2013 dihentikan!" katanya pada saya dengan wajah penuh syukur. "Ah, masak!" jawab saya. Lalu sergahnya cepat-cepat,"Iya guru anak saya di sekolah sudah bilang begitu kok. Beritanya juga sudah ramai di koran dan internet!" Tapi saya merasa belum mendapat kejelasan pasti, sehingga saya tak menanggapi lebih lanjut. Baru Jumat malam kemarin, saat menonton TV dan running text tertulis bahwa K13 akan dihentikan, terutama untuk yang masih memberlakukan 1 semester.

Pernyataan ibu tadi sebenarnya juga senada dengan orang tua-orang tua yang lain. K13, tidak istimewa. Sebagai warga negara para murid tentunya manut saja dengan aturan pergantian kurikulum ini. Termasuk institusi sekolah dan para guru yang di garda depan sebagai pengajar. Apalagi saya yang sebagai guru bimbel, harus menerima dengan beragamnya implementasi K13 antar satu sekolah dengan sekolah lainnya. Karena murid-murid saya dari beragam sekolah. Terus terang, saya galau selama tiga semester ini. Apa yang saya ajarkan kepada mereka, sepertinya kok tidak memberi pemahaman yang baik dan melekat. Sebagai guru pasti merasa itu, beban itu bukan karena bukunya, atau beban tugasnya. Tetapi saya merasakan bahwa anak-anak telah dikorbankan dengan pergantian kurikulum kali ini. Hati nurani saya tak bisa bohong. Apa mau protes? Sudah banyak yang protes, juga lewat. Akhirnya, dijalani saja ...... Terus terang, tetapi tidak saya telan mentah-mentah.

Ketika pulang dari acara kompasianival, saat lagi nonton TV. Saya baca running text, Anies Baswedan : Kurikulum 2013 setengah matang. Dalam hati saya berkata, nggak salah kalau saya pun jadi "mabok" mengajarkannya. Anak-anak juga "mules" makan makanan setengah matang. Membaca running text itu saya berharap Pak Menteri akan berbuat sesuatu. Akhirnya kabar itu menjadi jelas, dan sudah diputuskan. Kita tinggal tunggu pelaksanaannya di semester depan. Berikut ini pengalaman saya bersama K13 selama tiga semester.

Apa kesan murid tentang K13?

Untuk murid-murid SD, hampir merata mereka suka dengan penerapan K13 di sekolah, dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Alasannya : karena banyak mainnya. Maksudnya jadi sering membuat percobaan, lalu hampir sering bawa peralatan. Bagi anak-anak, kondisi ini menyenangkan karena mereka tidak bosan dan tidak dituntut belajar dengan lebih banyak metode ceramah. Mereka bisa berdiskusi, mempraktekkan beberapa percobaan, mengamati, membuat laporan dan sebagainya. Hal ini sebenarnya merupakan keunggulan K13, karena menggunakan pendekatan yang membuat siswa lebih aktif dan mengalami.

Penerapan K13 yang beragam dan sesuai selera

Pada semester ganjil ini, penerapan K13, jauh lebih baik dibanding pada awalnya di semester ganjil tahun ajaran 2013-2014. Memang untuk SD menggunakan pendekatan Tematik, tetapi menurut pengamatan saya, agak dipaksakan. Pemetaan antar bidang studi juga masih ada dan tidak jelas ini termasuk PKn atau IPS? Ini IPA atau IPS? Ini IPA tapi untuk soal BI? Pelajaran matematika juga sangat sedikit soal-soalnya. Guru benar-benar harus mencari tambahan materi pelajaran di luar. Muridnya juga demikan, jadilah anak-anak SD akrab dengan internet. Tidak salah, tetapi dengan luasnya materi di internet jawaban yang di dapat berbeda-beda, justru makin membingungkan. Saya di bimbel bisa memantau bahwa antar sekolah sangat beragam dan sesuai selera sekolah dalam menerapkan K13. Ada yang membuat rangkuman, ada yang memakai bantuan LKS, ada juga yang apa adanya saja. Benar-benar runyam dan kepontalan di semester pertama. UTS diujikan per bidang studi, ada juga yang per tema. UAS diujikan per tema.

Raport tanpa deretan angka

Raport tanpa deretan angka, hanyalah deskripsi tentang perkembangan belajar murid. Orang tua murid saya banyak yang mengeluh, tidak mengerti. Seberapa bisa ya anaknya? Apa bedanya yang bisa dan tidak. Tidak adanya ukuran yang jelas sebenarnya sangat merugikan murid. Raport tanpa deretan angka juga membuat guru memanipulasi, bisa atau tidaknya kan tidak jelas batasannya. Mau asal-asalan evaluasi juga tak masalah. Ini terjadi, murid saya nilainya bagus, padahal kalau diperiksa, ulangannya ternyata banyak yang salah. Paraf dari guru tanda “betul”. Tanpa ada penilaian yang bisa diukur, yang jadi korban adalah muridnya.

Materi terlalu luas, tetapi penjelasan singkat, dangkal dan lompat-lompat

Demi tematik, akibatnya materi disajikan yang ada hubungannya tetapi secara singkat. Penjelasannya begitu minim, kalau guru tidak mencari materi tambahan benar-benar membuat murid hanya “sekedar kenalan” dengan bahan ajarnya. Pada anak SD mereka masih belum bisa diberlakukan untuk mencari bahan ajar sendiri. Ada banyak pertanyaan di buku yang tidak ada jawabannya di materi ajar. Buku K13 untuk SD jadi seperti gaya mahasiswa belajar, menuntut cari jawaban di luar buku paket. Demi tematik pula, materi jadi lompat-lompat, karena membahas cahaya, maka juga dikenalkan mata. Memang tidak salah, tetapi gabungan yang dipaksakan ini membuat keilmuan terbelah dan tidak nyambung.

Pemahaman siswa rendah

Penerapan K13 di SD membuat pemahaman siswa atas suatu materi begitu rendah. Kenal kulit-kulitnya saja, sebentar lupa. Latihan soal juga sangat minimal sekali, sementara bahan ajar sudah naik kelas. Maksudnya, ada materi kelas 6 yang sudah diturunkan ke kelas 4, seperti diagram. Bahan yang luas, waktu yang terbatas materi yang dangkal berakibat anak pahamnya setengah-setengah. Ada banyak kali ketika kembali ke materi sebelumnya, mereka lupa. Meskipun pemahaman rendah tak terlalu nampak di raport karena penilaian deskriptif. Ini terjadi pada penilaian pelaksanaan tahun didik 2013-2014. Pada tahun ajaran ini pelaksanaan evaluasi jauh lebih baik, karena sekolah sudah pakai penilaian angka yang lebih terukur secara jelas, meskipun saya juga belum tahu apakah raport semester ini masih menggunakan penilaian deskriptif lagi atau tidak. Beberapa sekolah juga mulai menggabungkan K13 dengan KTSP, ide ini saya nilai lebih baik. Karena hal-hal yang penting dipahami lebih ditonjolkan dan murid akan terbantu memahaminya. Apakah sudah ada pembenahan? Tidak tahu juga, tetapi itulah yang saya pantau dari tugas-tugas para murid dan sistem penilaian.

Pelajaran mahal dari K13

Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak generasi muda berbakat. Prestasi anak-anak Indonesia itu luar biasa. Sebagian dari mereka juga menjadi juara-juara di ajang olimpiade yang diselenggarakan secara internasional. Alangkah sayangnya bila potensi itu tidak terwadahkan secara baik. Kurikulum memang harus dikembangkan sesuai kebutuhan dan zamannya, tetapi jangan dengan cara “coba-coba” seperti ini. Anak-anak akan menjadi korban atas kurikulum yang tidak tepat. Akhirnya ada masa, di mana mereka menjadi mengalami alpa atas perbedaan dengan generasi sebelum dan sesudahnya. Akankah negara bertanggung jawab? Biaya besar yang dikeluarkan untuk perubahan kurikulum harus menjadi jaminan bahwa perubahan kurikulum ini memang sudah dikaji secara matang akan dan dapat diambil manfaatnya oleh peserta didik di masanya nanti. Pengembang kurikulum harus diduduki oleh orang-orang yang kompeten dan peduli pada pendidikan secara  independen dan memperjuangkan kemajuan pendidikan di Indonesia secara bertanggung jawab. Tanpa bisa diintervensi oleh pihak-pihak yang berpengaruh, tetapi tidak paham aspek pendidikan secara berkelanjutan. Peserta didik yang dikorbankan, padahal dana APBN untuk pendidikan sudah digelontorkan begitu besar. Dengan kejadian ini, bagaimana negara mempertanggungjawabkannya. Bukan saja nilai uangnya, tetapi secara moral kepada para peserta didik juga patut diperhitungkan.

Selamat bekerja Pak Anies Baswedan, saya dan sebagian besar guru, orang tua serta para murid mendukung langkah Anda. Kurikulum 2013 idenya cukup bagus, tetapi masih perlu dimatangkan agar dapat dipetik manfaatnya oleh siswa. Semoga dalam kepemimpinan Anda, pendidikan di Indonesia mengalami pencerahan. Kami menggantungkan harapan itu di pundak Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun