Ketika ingin menulis ini, saya teringat dengan Albert Camus. Pada ‘Pendahuluan’ bukunya yang berjudul “Pemberontak”, ia menulis,
Para penjahat itu kini bukan lagi anak-anak yang nakalnya minta ampun, yang memakai dalih cinta untuk dimaafkan. Tetapi sebaliknya, penjahat-penjahat itu adalah orang-orang dewasa dan mereka memiliki alibi yang sempurna: filsafat yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan – bahkan untuk mengubah pembunuh-pembunuh itu menjadi hakim-hakim.
Sore itu, setelah menunggu sejak usai Jum’atan, akhirnya saya berkesempatan bertatap wajah dengan Imam Nahrowi; pria yang bagi penikmat, pecinta, pelaku, dan tentunya pengurus sepak bola Indonesia, adalah pemeran watak. Tak banyak tampil, tak sering berkomentar, tetapi selalu membawa sebungkus permen karet.
Gelembung yang asyik dimainkan di mulut ia tawarkan. Seperti karakter “Lupus”, ia pun menyenangkan. Sore itu, ia berkemeja batik lengan pendek berwarna hijau tua. Dengan pembawaannya yang tenang dan kalem khas anak-anak pesisir, pria kelahiran Bangkalan, Madura itu tegas ingin menata-kelolo sepak bola Indonesia.
PSSI yang telah ia bekukan sejak 17 April _walau segala upaya dinyatakan dan dilakukan untuk mengubah ketetapan itu_ tak lagi ia anggap. “Indonesia Memanggil” begitu judul yang ia ucap untuk 17 pria yang ia percaya menjadi Tim Transisi. Meminjam judul novel Suparto Brata, ‘Tak Ada Nasi Lain’ untuk posisi sepak bola nasional.
Andrea “Nahrawi” Pirlo itu lihai memberi umpan. Andres Iniesta-nya Kemenpora itu cerdik mengolah bola. Ia pun berlaku “Zlatan Ibrahimovic” bagi pemerintah; mencipta gol dengan caranya sendiri. Tetapi jangan lupa pula, Imam “Suarez” Nahrawi juga antagonis berwajah manis yang tahan dicerca.
Saya jadi teringat dengan tulisan ‘status’ seorang teman di media sosial Faceboook. Dengan lugasnya teman saya ini berkata, “Gusdur saja dilawan.” Sebagai generasi Nahdliyin, ia pun sempat dianggap sebagai ke-kiri-kiri-an.
Sementara itu, di suatu siang yang terang, tanpa petir, tanpa angin, tanpa hujan, PSSI memutuskan memberhentikan kompetis ISL (Indonesia Super League) 2015. Keadaan kahar atau kerennya disebut force majeur, jadi dalih shohih. Mengejutkan bagi semuanya, tetapi akhirnya klub-klub ISL satu suara dengan keputusan buatan itu.
Di siang lainnya yang terik, Senayan mendapat surat dari Swiss. FIFA, induk organisasi sepak bola dunia, mengingatkan Indonesia. Sanksi “embargo” sepak bola Indonesia di pentas internasional diperingatkan. Tetapi Senayan tak kunjung teduh, meski hari mulai gelap. Bahkan saat hujan sekalipun.
Watak para petinggi PSSI sudah seperti Komisi Displin mereka sendiri, dalam kasus sepak bola gajah. Sidang singkat, klub dihukum, manajemen aman, pemain dan pelatih disanksi seumur hidup, sementara oktor wataknya tak tersentuh sama sekali hingga kini. Aktor watak itu seperti kentut, kata mereka. Ada baunya tapi tak berwujud.
Memahami keinginan Menpora dan PSSI tentu tak mudah. Mereka adalah sekumpulan filosofis absur, surealis, juga metafis. Mereka benar, karenanya mereka bertahan. Meminjam sindiran Camus, mereka ini adalah sekumpulan, “Aku memberontak – maka aku ada!”
Memahami mereka memang tak mudah. Jangankan Jusuf Kalla, BJ Habibi hingga Albert Einstein sekali pun, mungkin tak bisa memahaminya. Akhirnya, saya bingung untuk mengakhiri tulisan ini. Dan saya kembali teringat dengan Albert Camus. Dari novel “Orang Asing”, pria Prancis kelahiran Aljazair itu menulis,
“... Seakan-akan kemarahan yang luar biasa itu telah mencuci diriku dari kejahatan, mengosongkan diriku dari harapan. Di hadapan malam yang penuh tanda dan bintang itu, untuk pertama kali aku membuka diriku pada ketakacuhan lembut dunia ini.”
Semoga saja, filsafat pembunuhan bukan dialektika mereka.
Lenteng Agung, 20 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H